Ganjil Genap
Cermin Kekalutan
( Wawancara )
Sugiyanto ; Direktur Eksekutif Masyarakat Pemantau
Kebijakan
Eksekutif Legislatif (Majelis)
|
SUARA
KARYA, 15 Desember 2012
"Jakarta
Baru" di bawah komando Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo tengah terobsesi
menyelesaikan salah satu problem berat Ibu Kota, yakni kemacetan.
Untuk
mengurai kemacetan, mulai 1 Januari 2013 atau paling lambat Maret 2013,
Pemprov DKI dan Polda Metro Jaya berencana memberlakukan kendaraan pribadi
beroperasi di 9 jalan protokol eks three in one (3 in 1), yakni dengan
kebijakan plat nomor polisi (nopol) ganjil genap.
Berbagai
kalangan masyarakat, menyikapi pro kontra rencana tersebut. Sejatinya wacana
ini bukan hal baru, di era Gubernur DKI Sutiyoso dan Gubernur DKI Fauzi Bowo
sudah mengemuka, hanya saja sulit dilaksanakan. Oleh kalangan yang kontra terhadap
kebijakan itu, pemberlakuan pembatasan kendaraan pribadi dengan nopol ganjil
genap, sama saja melanggar hak asasi manusia (HAM).
Alasannya,
Pemprov DKI dan pemerintah pusat belum mampu menyediakan sarana angkutan umum
yang aman, nyaman, dan cepat bagi warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan
Bekasi (Jabodetabek). Jadi, tidak adil apabila warga yang sudah membayar
pajak kendaraan bermotor, dibatasi penggunaannya.
Masyarakat
pengguna kendaraan yang setiap hari melewati jalur ganjil genap tentu akan
protes terhadap kebijakan itu. Mereka jadi kesulitan, khususnya bagi yang
sehari-hari menggunakan kendaraan untuk mencapai tujuan ke kantor di Jl
Sudirman, Jl MH Thamrin, Kuningan, Jl Gatot Subroto, serta warga yang hendak
ke sentra-sentra bisnis melalui 9 jalur tersebut.
Pasangan
Gubernur/Wakil Gubernur DKI Joko Widodo - Basuki Tjahaja Purnama yang
mengusung jargon Jakarta Baru dalam kampanyenya, sempat menyerang lawan
politik, khususnya Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Fauzi Bowo-Prijanto. Joko
Widodo mengatakan, era kepemimpinan Fauzi sudah menghabiskan APBD Rp 140
triliun, namun tidak mampu mengurai kemacetan. Pasangan ini pun berjanji
kepada rakyat bahwa mereka mampu mengurai benang kusut kemacetan.
Nyatanya,
gebrakan yang dilakukan, ingin memberlakukan ganjil genap yang sudah jadi
wacana lama, namun tidak bisa diberlakukan. Terkait rencana pemberlakuan
kebijakan tersebut, wartawan Harian UmumSuara Karya, Yon Parjiyono dan fotografer Annisa Maya mewancarai pengamat perkotaan yang juga Direktur
Eksekutif Masyarakat Pemantau Kebijakan Eksekutif Legislatif (Majelis) Sugiyanto di bilangan Jakarta Pusat, Kamis (13/12) lalu.
Tanggapan
Anda terhadap wacana pembatasan kendaraan pribadi dengan nomor polisi (nopol)
ganjil genap, mulai 1 Januari 2013?
Ya,
wacana pembatasan kendaraan pribadi ganjil genap sudah lama, tetapi tidak
bisa dilaksanakan. Sebab, kalau di timbang-timbang, antara manfaat dan
kerugiannya, lebih banyak kerugiannya. Mengapa mau dipaksakan? Ini bukan
kebijakan yang berani. Bahkan, ini cermin dari kekalutan Joko Widodo,
ternyata setelah jadi Gubernur DKI belum mampu mengatasi masalah kemacetan.
Kendaraan roda empat dan dua bagi warga Jakarta dan sekitarnya bukan lagi
pelengkap, tetapi suatu kebutuhan, menjadi bagian yang tak terpisahkan warga
dalam mencari nafkah sehari-hari. Kalau kemudian dibatasi, ya sama saja
pemerintah membatasi warganya dalam mencari nafkah. Ini sesungguhnya
melanggar HAM, UUD 1945, dan peraturan ini sama saja menzalimi orang-orang
kecil.
Langkah
terobosan seperti apa yang semestinya segera dilakukan?
Pemprov
DKI dan pemerintah pusat harus bersinergi membangun sarana transportasi
massal dan kendaraan pendukung lainnya yang memadahi dulu sebelum
diberlakukan ganjil genap, jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP),
dan pembatasan usia kendaraan. Sekali lagi, saya tekankan, sebelum angkutan
massal dan angkutan pendukung lainnya tersedia secara memadahi, hingga
masyarakat punya alternatif bepergian, tidak bisa diberlakukan pembatasan
ini. Kalau dipaksakan ya tindakan penzaliman. Bahkan akan muncul ekses
sosial, perlawanan dari masyarakat. Kemungkinan melakukan tindak kriminal,
memalsu nopol kendaraannya, dan bagi sekitar 20 persen warga yang mampu akan
membeli mobil baru dengan nopol berbeda. Di sejumlah kota besar di luar negeri,
pemberlakuan ganjil genap gagal.
Menurut
Anda, bagaimana jalan keluar jangka pendek, menengah dan jangka panjang untuk
mengurai kemacetan yang sudah parah ini?
Ya,
Pemprov DKI dan pemerintah pusat kan berkewajiban mengatur Ibu Kota agar bisa
sejajar dengan kota-kota besar di dunia. Tentu harus bersinergi dengan
pemimpin daerah sekitar. Membahas bersama-sama secara intensif sesering
mungkin bagaimana jalan keluarnya. Itu yang harus dilakukan, sambil terus
menambah infrastruktur jalan, membangun sarana transportasi publik,
mewujudkan 15 koridor busway plus feeder-nya, revitalisasi angkutan umum,
percepatan mega proyek mass rapid transit (MRT) jalur Selatan-Utara dan
Timur-Barat, melanjutkan proyek monorel. Kemudian, perlu ada revisi UU
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, agar aparat DKI diberi
kewenangan penegakan hukum, serta mengatur kotanya sendiri.
Proyek-proyek
itu harus menjadi prioritas penyerapan APBD setiap tahunnya. Terkait
pembatasan, ada nggak keberanian dari Joko Widodo memberlakukan aturan yang
tegas, membatasi produksi kendaraan baru di Jakarta. Kalau dia berani membuat
kebijakan itu, angkat topi. Tapi, saya kira dia tak akan berani, karena
pendapatan asli daerah (PAD) DKI terbesar masih dari sektor pajak kendaraan
bermotor.
Masyarakat
juga bisa mogok membayar pajak kendaraan, karena pada saat membayar pajak itu
kan kendaraan dapat digunakan setiap hari, sepanjang tahun. Nah kalau
dibatasi operasinya, tentu ya pajak kendaraannya harus dikurangi separuhnya.
Itu baru tindakan yang adil, tidak menzalimi masyarakat. Apakah Pemprov DKI
mau?
Ada
saran lain untuk mengurai kemacetan Jakarta yang pada jam-jam tertentu sudah
sampai di jalan-jalan lingkungan, bahkan gang-gang kecil?
Jadi,
sekarang ini, Joko Widodo fokus saja pada revitalisasi angkutan umum. Coba
lihat, ribuan bus reyot, ribuan bemo/bajaj tak layak operasi masih berada di
jalan-jalan Jakarta. Ini Ibu Kota, kalau tidak ditertibkan, bagaimana mungkin
tidak macet.
Bagaimana
masyarakat mau naik angkutan umum kalau kondisinya seperti itu. Banyak sekali
bus yang sudah bobrok, tetap dibiarkan melayani penumpang. Celakanya, bus-bus
itu kok masih lolos uji KIR. Kemudian, di dalam angkutan umum sangat tidak
nyaman, ada copet, pengamen yang memaksa minta uang. Inilah fakta di lapangan
yang mesti segera dibenahi, agar warga Jakarta dan sekitarnya mau kembali ke
angkutan umum, tidak menggunakan mobil pribadi dalam beraktivitas
sehari-hari.
Menurut
Anda, apa fokus yang lain dalam upaya mengurai kemacetan yang mesti dilakukan
Pemprov DKI?
Saya
kira yang mendesak direvitalisasi adalah angkutan kereta api Jabodetabek,
dari Jakarta-Bogor, Bekasi-Tangerang. Pemprov DKI, pemda sekitar, Kementerian
Perhubungan harus duduk bersama secara intensif, membuat kebijakan
memperbaiki angkutan kereta api. Saat ini sudah ada langkah perbaikan, namun
belum signifikan. Kapasitas kereta api harus dioptimalkan dengan menambah
gerbong, membangun jalan fly over dan underpas yang dilewati kereta api. Bila
hal itu dilakukan secara simultan, maka kemacetan di Jakarta akan dapat
terurai. Dalam jangka waktu pendek, Joko Widodo harus membangun jalan-jalan
baru, mengoptimalkan jalan yang sudah ada, menertibkan parkir liar yang
menganggu lalu lintas dan lain-lain.
Bagaimana
dengan masalah lain yang terkait dengan kemacetan?
Masalah banjir, perumahan dan sampah harus segera mendapat
perhatian yang ekstra dari Joko Widodo. Kalau terjadi banjir, di titik-titik
tertentu, kemacetan panjang terjadi, bahkan pengendara bisa terjebak
kemacetan semalaman. Kalau saja Joko Widodo-Basuki mampu mengurai kemacetan
dan mengatasi masalah lain di Jakarta, 40 persen saja sudah bagus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar