Sabtu, 15 Desember 2012

Politik Remis


Politik Remis
Mohammad Nasih ;  Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan 
FISIP UMJ; Wakil Rektor STEBANK Islam Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Jakarta
SINDO, 15 Desember 2012



Dalam politik, terdapat berbagai kepentingan yang saling berinteraksi. Terlebih dalam negara demokrasi, lembaga politik kenegaraan formal menjadi semacam melting pot dari ber-bagai kekuatan politik yang berbeda. 

Dalam konteks Indonesia, lembaga politik kenegaraan yang paling menggambarkan sebagai melting pot itu adalah DPR. Di DPR terdapat kekuatan-kekuatan atau blok-blok kekuatan politik dari yang menempatkan diri sebagai oposan, mitra kritis, sampai yang 100% pro kepada pemerintah. Karena itu, DPR menjadi bak medan tarik-menarik antara satu kekuatan politik dan kekuatan politik lainnya. Tarik-menarik itu terjadi dalam konteks untuk menegakkan kebenaran atau sekadar untuk mencari simpati konstituen atau rakyat secara keseluruhan.

Tujuannya tidak lain adalah agar dalam pemilu berikutnya mendapatkan dukungan yang lebih besar, sehingga bisa meraih kemenangan yang lebih gemilang. Para politikus selalu memanfaatkan kesempatan untuk bisa tampil secara optimal dalam menunjukkan keberpihakan kepada mayoritas rakyat. Kekuatan politik tertentu sebisa mungkin bahkan membuat berbagai momentum untuk bisa tampak lebih menonjol dibandingkan kekuatan politik lainnya. 

Bisa dengan cara yang murni positif tanpa motif untuk menjatuhkan kekuatan politik lain, namun bisa juga dengan cara yang berimplikasi menjatuhkan kekuatan politik lain. Konteks yang kedua biasanya terjadi jika ada kekuatan politik yang dianggap menyelewengkan kekuasaan. Jika terjadi penyelewengan kekuasaan, lawan politik akan secara cepat menampilkannya ke permukaan dan berusaha mengambil keuntungan,baik dalam konteks untuk sekadar mengurangi dukungan pemilih kepada lawan politik tersebut maupun untuk secara sekaligus mengalihkan dukungan konstituen lawan politik kepada partai politik sendiri. 

Namun,tidak sedikit penyikapan kritis terhadap kasus penyelewengan kekuasaan yang terjadi di DPR berakhir tidak jelas. Kasus yang awalnya disikapi dengan sangat antusias oleh para politisi di lembaga legislatif, kemudian hilang secara tiba-tiba. Bahkan, politisi yang menjadi inisiator dalam mengangkat kasus ke permukaan, kemudian “balik kanan” dan menganggap bahwa pembicaraan mengenai masalah yang pernah membuatnya berada di garda depan dalam inisiasi telah tidak lagi relevan. 

Suasana akan kembali tenang seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Inilah yang sering kali menyebabkan publik kecewa.Pasalnya, kasus-kasus yang tadinya menimbulkan perdebatan yang sangat keras, kemudian mengalami antiklimaks tanpa hasil sama sekali. Padahal, biaya yang harus digunakan untuk melakukan tarik-menarik kepentingan tersebut sedemikian mahal. Inilah yang menyebabkan negara justru mengalami kerugian berlipat. Kerugian pertama disebabkan oleh kasus yang sedang dibicarakan. Dan, kerugian kedua disebabkan oleh aktivitas membicarakannya yang hanya bisa dilakukan dengan biaya. 

Saling Sandera 

Sering kali, kritisisme yang disebabkan oleh penyelewengan kekuasaan terjadi pada politisi di level “bawah”.Kritisisme itu kemudian hilang ketika mereka harus berhadapan dengan para petinggi partai sendiri yang ternyata memiliki kepentingan, karena kemudian diketahui bahwa para elite tersebut ternyata juga terlibat dalam kasus yang sedang disuarakan atau karena telah melakukan deal politik dengan elite partai yang sedang dikritisi. 

Dengan kata lain, kritisisme yang muncul di awal terjadi sering kali karena politisi di level bawah belum memahami konstelasi yang sesungguhnya. Awalnya, mereka berkalkulasi bahwa dengan mengungkap sebuah kasus penyelewengan kekuasaan yang sedang menjadi perhatian publik luas akan mendatangkan keuntungan politik, di samping karena memang ada panggilan tanggung jawab sebagai wakil rakyat.

Namun, ketika usaha mereka kemudian berbenturan dengan kepentingan elite dalam partai sendiri, mereka tidak memiliki daya lagi untuk melanjutkannya. Mereka tidak memiliki pilihan lain, selain mengikuti instruksi dari pemimpin tertinggi dalam struktur kepemimpinan partai politik.Atau,sikap kritis ditunjukkan hanya untuk meningkatkan posisi tawar pada kekuatan dominan dalam rumpun kekuasaan eksekutif untuk sekedar mengamankan atau menambah bagian kekuasaan. 

Ketidakjelasan penanganan sebuah kasus di DPR terjadi karena memang sengaja dikaburkan atau bahkan di-hentikan sama sekali. Jika penanganannya dilanjutkan,semua kekuatan politik yang sedang beradu kekuatan akan mengalami kerugian lebih besar. Mereka akan sama-sama kehilangan muka, karena penyelewengan-penyelewengan yang mereka lakukan tampil di permukaan. Ibarat peribahasa Jawa “tiji tibeh, mati siji mati kabeh” (jika ada satu yang mati, maka akan mati semua). 

Sebuah kekuatan politik tidak akan rela begitu saja dikorbankan. Kekuatan yang pertama kali dijatuhkan akan menyeret kekuatan politik lain yang juga terlibat tetapi justru membongkar penyelewengan kekuasaan atau memiliki kasus penyelewengan yang lain. Daripada semuanya hancur, maka lebih baik kasus yang sedang dibicarakan itu dipetieskan. 

Dengan demikian,semuanya akan tetap selamat dan bisa tetap bertahan dalam titik kesetimbangan dengan porsi kekuasaan masing-masing. Barter kasus juga sudah menjadi sebuah kelaziman. Apabila ada satu atau lebih kekuatan politik berusaha untuk membongkar kasus tertentu, kekuatan politik tersebut akan diserangdengankasuslainyang melibatkan kekuatan politik tersebut. Dengan demikian, pihak yang awalnya menunjukkan sikap keras,akan mulai melemah dan kemudian tidak bisa lagi melanjutkan upaya pembongkaran kasus penyelewengan kekuasaan. 

Jika dilanjutkan maka kedua belah pihak akan sama-sama mengalami “kesulitan”. Terjadi proses saling sandera antara kedua belah pihak,sehingga yang kemudian dipilih adalah semacam prinsip “win-win solution”. Semua “diselesaikan secara adat”. Sayangnya, “adat” yang digunakan untuk menyelesaikan masalah adalah adat yang diwarnai persekongkolan jahat. 

Ibarat permainan catur, semua manuver politik yang ekstrem sekalipun pada akhirnya hanya akan menghasilkan babak yang disebut “remis”, yakni babak yang tidak ada pihak yang kalah maupun menang. Dalam babak itu, rakyat tidak lagi menjadi fokus perhatian politisi. Yang penting, para elite politik tetap aman berada dalam kekuasaan. 

Masingmasing kekuatan politik memiliki kunci mati untuk menghalangi langkah lawan politik dalam membongkar penyelewengan kekuasaan yang pernah terjadi. Pada akhirnya, semua hanya berhenti pada tataran wacana untuk mendapatkan simpati sebagai kekuatan politik yang kritis. Namun, wacana-wacana tersebut kemudian hilang tanpa bekas dan tidak memiliki implikasi signifikan untuk perbaikan. Wallahu a’lam bi al-shawab. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar