Manufaktur dan
Indonesia 2025
Sjamsu Rahardja ; Ekonom Senior
di
|
KOMPAS,
03 Desember 2012
Belum lama ini berbagai
media memberitakan investasi Foxconn, perusahaan raksasa Taiwan yang
memproduksi iPhone dan iPad, sebesar 10 miliar dollar AS selama lima tahun di
Indonesia.
Berita
ini di satu sisi mencerminkan besarnya peluang sektor manufaktur negara ini
dalam membantu mencapai Visi Ekonomi Indonesia 2025 sebagai negara
berpendapatan tinggi. Namun, berita ini juga mengingatkan pentingnya
memperbaiki iklim usaha di sektor manufaktur dalam rangka menjaga daya saing
dan daya tarik investasi sektor manufaktur Indonesia.
Tidaklah
berlebihan jika revitalisasi sektor manufaktur dianggap menentukan tingkat
pencapaian visi Indonesia 2025. Selain menjadi sumber lapangan pekerjaan
formal, geliat sektor manufaktur juga mendorong modernisasi dan pertumbuhan
sektor jasa. Manfaat pertumbuhan sektor manufaktur juga dirasakan oleh para
konsumen dan perusahaan-perusahaan pemasok dalam negeri. Keberhasilan dalam
meningkatkan nilai tambah di dalam negeri di sektor pertanian ataupun pertambangan
juga bergantung pada daya tarik sektor manufaktur bagi investor, baik lokal
maupun internasional, besar ataupun kecil.
Beragam
peluang dan tantangan ini menjadi basis kajian Bank Dunia dalam laporan Indonesia’s Manufacturing Sector: Characteristics,
Performance and Challenges. Kajian ini melukiskan kondisi sektor
manufaktur Indonesia yang penuh potensi, tetapi harus terus dijaga. Meski
dihadapkan pada krisis ekonomi global, sektor manufaktur bergeliat cukup kuat
setelah terpuruk selama 10 tahun lebih akibat krisis finansial Asia 1997.
Produk
domestik bruto sektor manufaktur semester I-2012, di luar migas, tumbuh 6,1
persen dan merupakan capaian cukup tinggi. Kinerja yang baik ini tak lepas
dari peran investasi asing langsung (FDI) di sektor manufaktur, yang nilainya
meningkat 2,2 miliar dollar AS atau 67 persen dalam semester I-2012.
Indonesia
kini semakin dilirik produsen asing sebagai basis produksi pilihan di Asia
Tenggara. Seiring meningkatnya biaya satuan buruh di China, daya tarik Indonesia
sebagai basis produksi berbiaya rendah kian terpancar. Indonesia pun semakin
terlihat sebagai pasar konsumen yang menjanjikan karena stabilitas
pertumbuhan ekonomi terjaga dan populasi kelas menengah kian membesar. Di
Indonesia, investor melihat kesempatan emas meningkatkan top line dan bottom
line mereka, yakni memproduksi barang dengan biaya murah, kemudian menjualnya
ke pasar yang sangat besar.
Tiap
produsen manufaktur pasti mendambakan produksi barang berkualitas tinggi
dengan biaya rendah. Namun, keinginan ini akan kandas jika barang yang
diproduksi tidak bisa dipasarkan ke konsumen secara efisien. Kendala
infrastruktur dan logistik perdagangan akan menjadi hambatan besar dalam
upaya mengintegrasikan pabrik-pabrik di Indonesia dengan mata rantai pasokan
(supply chain) global. Kendala-kendala ini makin terasa di luar Jawa, bahkan
hingga membatasi pilihan lokasi untuk membangun pabrik.
Kenaikan
biaya satuan buruh di China, saat ini, bisa menjadi peluang bagi Indonesia
untuk merebut lebih banyak investasi pabrikan manufaktur internasional.
Namun, sejumlah masalah di sektor ketenagakerjaan bisa menjatuhkan daya tarik
Indonesia. Di antaranya, ketidakpastian penerapan undang-undang tenaga kerja,
tingginya biaya yang dibutuhkan untuk merekrut atau memberhentikan seorang
pekerja, serta ketidakpastian definisi upah minimum. Pembatasan alih daya
(outsourcing) dalam pekerjaan manufaktur di Indonesia juga memunculkan tanda
tanya karena tren proses manufaktur di dunia adalah menggunakan rantai pasok
komponen yang sebagian produksinya dialihdayakan ke pabrikan-pabrikan lain
yang sebagian besar perusahaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di
dalam negeri.
Di
tengah meningkatnya sentimen positif investasi sektor manufaktur Indonesia,
ketidakpastian ini dapat menggerus daya tarik Indonesia, terutama bagi calon
investor baru di sektor manufaktur yang pada gilirannya mengancam pembukaan
lapangan kerja baru.
Jika
Indonesia berambisi masuk daftar kekuatan ekonomi sepuluh besar dunia sebelum
2025, dengan kemajuan sosial yang sepadan, Indonesia harus lebih jeli
memanfaatkan persediaan sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA)
yang dimiliki secara berlimpah. Indonesia selazimnya juga mulai menaiki mata
rantai nilai (value chain) manufaktur dengan mendorong klaster industri
manufaktur dan meningkatkan daya saing sektor jasa-jasa.
Namun,
yang perlu diutamakan pemerintah dalam menghidupkan kembali sektor manufaktur
adalah mengubah orientasi dari kebijakan jangka pendek ke peningkatan daya saing.
Memang, kebijakan jangka pendek, seperti pemberian subsidi sektoral dan
insentif pajak, menjadi opsi untuk menjaga ketertarikan investor sektor
manufaktur.
Namun,
pada akhirnya, upaya konsisten dalam memperbaiki iklim usaha terbukti lebih
ampuh untuk memperkuat sektor manufaktur, terutama jika Indonesia
berkeinginan meningkatkan rantai nilai sektor ini. Keberhasilan dalam
menggaet beberapa investor manufaktur besar sebaiknya segera diikuti dengan
perbaikan kepastian iklim usaha bagi semua pelaku usaha, baik kecil maupun
besar, yang terlibat di sektor manufaktur di Indonesia. Masuknya FDI ke
sektor manufaktur juga diharapkan meningkatkan aktivitas
perusahaan-perusahaan lokal sebagai pemasok maupun konsumen.
Selain
itu, masuknya FDI dengan teknologi terkini diharapkan meningkatkan
produktivitas sektor manufaktur nasional. Selain itu, pembenahan manajemen
transportasi dan peningkatan kualitas kehidupan sosial dan kemasyarakatan di
klaster-klaster manufaktur, seperti di Jababeka, Surabaya, dan daerah lain, akan
membantu meningkatkan produktivitas sektor ini, menarik pekerja-pekerja yang
berkualitas, serta memfasilitasi proses inovasi. Untuk mencapai itu semua,
pemerintah pusat dan daerah sama-sama berperan penting dalam mewujudkan
potensi ini.
Dengan
memperbaiki infrastruktur, memperkuat sistem logistik, memperjelas
rambu-rambu regulasi, dan mendorong peningkatan mutu modal manusia, pabrikan
manufaktur di Indonesia dapat menjadi bagian dari jaringan produksi dan mata
rantai pasokan global. Reformasi regulasi dapat mempermudah dan menambah
kepastian jalannya usaha. Investasi dan peningkatan kualitas pendidikan
lanjutan dapat meningkatkan kualitas tenaga kerja. Investor juga harus yakin
bahwa aturan main yang berlaku tidak akan berubah tiba-tiba dan merugikan mereka.
Tentu
saja, langkah-langkah tersebut dengan sendirinya tidak akan mengubah sektor
manufaktur begitu saja, tetapi akan memupuk iklim usaha yang lebih bersahabat
guna mendorong transformasi struktural. Persoalan-persoalan yang kini tengah
melanda sektor manufaktur dapat diatasi dengan kebijakan industrial yang
tepat, iklim usaha yang lebih baik, dan investasi yang lebih terarah. Dengan
itu, sektor manufaktur dapat mendorong pertumbuhan ekonomi ke level 7-8
persen sebagaimana ditargetkan dalam visi 2025. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar