Geostrategi
Indonesia
Daoed Joesoef ; Alumnus
Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne Paris
|
KOMPAS,
03 Desember 2012
Geostrategi adalah adik
kembar dari geopolitik. Keduanya bagian integral dari geografi umum. Orang
yang merasa terpanggil memimpin suatu komunitas, mengatur (govern) sebuah
negara, perlu mengetahui dan memanfaatkan bantuan dari geografi dalam
bertindak. Terutama ketika memilih dan menerapkan suatu politik, lebih-lebih
sejak metode dan peralatan ilmiah modern memungkinkan orang mengetahui persis
bumi dengan segala aspeknya.
Intervensi
manusia adalah konkretisasi suatu kemauan politik yang, bila perlu, berbentuk
aksi militer. Bukankah perang, menurut Clausewitz, adalah lanjutan dari
politik (jalan damai) dengan cara/alat lain, sedangkan Vo Nguyen Guap
berpendapat, politik (damai) adalah lanjutan dari perang dengan cara/alat
lain. Vietnam Selatan secara definitif ditaklukkan oleh Vietnam Utara bukan
di medan pertempuran, melainkan di meja perundingan.
Suatu
strategi adalah keseluruhan keputusan-keputusan kondisional yang menetapkan
tindakan-tindakan yang harus dijalankan guna menghadapi setiap keadaan yang
mungkin terjadi. Jadi, merumuskan suatu strategi berarti memperhitungkan
semua situasi yang mungkin dihadapi dan sejak sekarang menetapkan tindakan
yang akan dipilih kelak guna menangani setiap kemungkinan tersebut.
Membuat
studi dan kemudian konsep geopolitik dan geostrategi merupakan suatu
keniscayaan berhubung sejarah mencatat adanya negara yang bertahan selama
berabad-abad dan ada pula yang runtuh. Dengan kata lain, di setiap negara,
ada ikatan-ikatan yang mengukuhkan (ketentuan-ketentuan sentripetal) dan
tekanan-tekanan yang cenderung membubarkan (kekuatan-kekuatan sentrifugal).
Asia Tenggara merupakan suatu laboratorium yang baik guna mempelajari
geopolitik dan penerapan geostrategi karena ia mirip dengan kawasan Balkan di
Eropa.
Mengingat
keterbatasan ruang tulisan, hanya diketengahkan di sini unsur-unsur pokok
penentu ketahanan nasional karena cukup rawan bagi eksistensi NKRI.
(A)
Globalisasi yang perkembangannya telah dirintis oleh internasionalisasi.
Globalisasi mendorong semua bangsa berpartisipasi secara proaktif dalam
kemajuan teknologi di semua bidang kehidupan. Yang tidak siap akan terpojok
babak belur di sudut ring pertarungan hidup.
(B)
Narasi ”bangsa” bukanlah suatu pengertian deskriptif, tidak menyajikan sebuah
kejadian yang mapan. Natur dari revolusi-45 kita mengukuhkan pengertian
tersebut. Bangsa yang lahir dari revolusi yang unik ini memang abadi karena
ia berupa suatu status nascendi yang permanen, dari naturnya ia selalu in
potensia, tidak pernah in actu. Narasi ”bangsa Indonesia” tidak mengatakan
keadaan, tetapi suatu gerakan, kemauan, usaha kolektif. Jadi, ibarat pesawat
terbang, ia selalu dalam keadaan rawan karena terus-menerus dalam posisi
lepas landas.
(C)
Pola pikir masyarakat di mana pun, lebih-lebih kita karena pembawaan alami
pada zaman kolonial dan perkembangan politik pada zaman merdeka, adalah hasil
ramuan dari empat unsur, yaitu (i) fakta-fakta empiris, (ii) pengertian mitologis
dan religius, (iii) ide politis dan etis, dan (iv) pengutamaan kebiasaan
bernalar (generalisasi natur keilmuan). Dari keempat unsur, hanya satu, yang
keempat, yang konvergen, sedangkan tiga lainnya divergen. Jadi, sangat rawan.
(D)
Pola pembangunan nasional yang direduksi menjadi pembangunan ekonomi dan
berorientasi darat, mengabaikan kemaritiman Tanah Air. Padahal, inti kekuatan
ini bukan hanya berupa angkatan laut yang tangguh. Efektivitas fungsionalnya
memerlukan penyediaan armada berbagai jenis kapal untuk penjagaan pantai,
perdagangan, penangkapan ikan, pengangkutan umum. Di perairan Indonesia
timur, sering terjadi kecelakaan yang fatal karena transportasi lautnya
nyaris semua diserahkan ke pelayaran rakyat.
Kemudian
perlu pula dibangun desa pantai karena penduduk yang berprofesi nelayan
merupakan penjaga efektif pantai selama 24 jam. Namun, bagaimana kita bisa
mengharapkan jasa patriotik tersebut kalau mereka merasa hidupnya tidak lebih
bahagia di alam kemerdekaan.
Pembangunan
jembatan Selat Sunda (JSS) bukanlah impian alami Indonesia. Perencanaan
proyek raksasa ini sebaiknya tidak terpaku pada pertimbangan untung-rugi
berdasarkan financial cost (FC), tetapi opportunity cost (OC), terutama kalau
melibatkan BUMN. OC adalah manfaat yang tidak bisa dinikmati karena
dana/modal dipakai untuk mewujudkan pilihan lain. Kalau kita memilih sebatang
rokok ketimbang sebuah pisang yang sama-sama berharga seribu rupiah (FC),
misalnya, ongkos rokok itu bukan lagi seribu rupiah, tetapi manfaat intrinsik
dari pisang yang kita korbankan (OC).
Maka
dana pembangunan JSS, yang konon menelan ongkos ratusan triliun rupiah (FC),
sebenarnya jauh lebih layak dipakai untuk mengembangkan geoekonomi Indonesia
melalui pembangunan industri perkapalan, pelayaran, serta pelabuhan dan
dermaga yang terkait (OC). Bukankah kita perlu sekali mengukuhkan
konektivitas antarpulau, terutama di Indonesia timur yang selama ini
diabaikan.
Lagi
pula Indonesia, selaku negara maritim, memang harus mengembangkan jaringan
pelayaran nasional demi sekuriti negara-bangsa dan kebangkitan semangat
bahari. Laksamana Cunningham, British first sea lord, menulis dalam
memoarnya, ”It takes a navy three years to build a ship, but it takes a
nation three hundred years to build a tradition.”
Walaupun
dana itu datang dari pengusaha, ajaklah mereka menggiatkan industri
pariwisata. Lalu industri perikanan tuna, tongkol, dan cakalang, lagi-lagi di
kawasan timur. Industrialisasi berbasis tuna, tongkol, dan cakalang ini
sungguh strategis karena pasti memicu ekonomi kawasan: menyerap banyak tenaga
kerja lokal sehingga turut meredam hasrat suku atau daerah memisahkan diri
dari NKRI.
Selain
bertujuan memupus separatisme dengan jalan damai, yaitu melalui pembangunan,
karya kolektif ini perlu pula mengefektifkan penerapan
demokrasi-tak-langsung. Melalui praktik rakyat perlu dibiasakan untuk
menyadari bahwa yang didelegasikan kepada wakilnya di parlemen adalah
”wewenang” mengambil keputusan atas nama rakyat, bukan ”tanggung jawab” atas
kehidupan demokrasi.
Rakyat
masih berhak membuat pilihan mengenai urusan bersama di ruang di mana mereka
hidup. Mereka masih bisa menikmati kebajikan ”demokrasi-langsung” di bumi
tempat mereka berpijak. Maka, pembangunan perlu dilakukan dalam term ruang
sosial, bukan produk nasional bruto. Artinya, pembangunan nasional
berpendekatan budaya.
Ruang
sosial (RS) adalah ruang hidup yang konkret, diciptakan dalam konteks
(pembangunan) suatu komunitas berskala lokal atau nasional. Artinya, kalau
proyek pembangunan berasal dari pusat untuk kepentingan umum, rakyat setempat
harus diajak bicara mengenai manfaat dan mudaratnya, dampak ekologisnya, dan
lain-lain. Dengan diajak bermusyawarah itu, mereka diperlakukan sebagai
human, bukan thing, diwongke.
RS
merupakan juga pementasan dari hubungan-hubungan sosial dan direkayasa oleh
penduduk setempat dalam berbagai derajat intervensi berhubung proyek
pembangunan pada hakikatnya merupakan produk transformasi alam melalui kerja
dan pikiran manusia. Melalui musyawarah yang sangat dimungkinkan terjadi di
suatu komunitas kecil, RS berpeluang tumbuh menjadi learning community
organization yang bermuara pada participatory democracy di aneka bidang:
politik, ekonomi, sosial, budaya, dan perwujudan masyarakat sipil, bagai
Agora pada zaman Yunani Purba, di mana demokrasi masih berlaku secara
langsung.
Pembangunan
nasional berpendekatan budaya ini perlu segera diterapkan di bumi Papua
karena warganya memerlukan lebih daripada sekadar dana dan makanan. Mereka
perlu diakui bermartabat dan selaku itu tidak diperlakukan sebagai ”penonton”
pembangunan dan demokrasi, tetapi sebagai partisipan aktif, turut
bermusyawarah, duduk sama rendah dan tegak sama tinggi. Orang Papua perlu
dibuat bangga menjadi rakyat Indonesia dan bersedia ikut bertanggung jawab
atas ketahanan Tanah Air. Jangan lupa bahwa karena letaknya, Papua menjadi
penanggung pertama gejolak tsunami politik di kawasan Pasifik dan sekaligus
jantung arsipel kita.
Penerapan
pembangunan dalam term ruang sosial di daerah, terutama yang mulai gelisah di
kawasan timur, hendaknya segera menyusul. Pembangunan nasional begini bisa
membuktikan, Pancasila sanggup berfungsi, demokrasi-tak-langsung dapat
berjalan, dan warga diakui bermartabat.
Berdasarkan
gabungan kesimpulan dari geopolitik dan geostrategi, dikaji jenis dan
kualitas alutsista yang tepat guna bagi ketahanan nasional, baik dalam ruang
maupun waktu. Lalu penetapan lokasi pangkalan armada, garnisun marinir di
pulau-pulau perbatasan dan terluar, lapangan pesawat terbang pengintai,
security check point di selat-selat, tempat konsentrasi angkatan darat.
Kalau
Presiden SBY yakin bahwa abad XXI Indonesia menjadi negara jaya karena
percaya pada kelipatan tujuh, dia perlu sadar bahwa Majapahit pada abad XIV
berjaya selaku negara maritim, demikian pula Sriwijaya pada abad VII. Wakil
Presiden Boediono pada Hari Nusantara, 13 Desember 2011, di Dumai, Riau,
menegaskan bahwa laut adalah masa depan Indonesia. Jadi, mengapa tidak
bertindak sesuai dengan ucapan dan keyakinan mumpung masih berkuasa?! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar