Industrialisasi
Tanpa Kawasan Industri
Muhammad Syarkawi Rauf ; Kepala
Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Bisnis Fakultas Ekonomi Universitas
|
KOMPAS,
03 Desember 2012
Transformasi yang terjadi
pada perekonomian nasional kita tidak berjalan secara normal, dari negara
agraris ke negara industri, kemudian jasa. Transformasi yang terjadi bersifat
langsung, dari negara agraris ke negara perdagangan dan jasa, tanpa melewati
fase industrialisasi secara matang.
Bahkan,
dalam beberapa tahun terakhir terjadi gejala deindustrialisasi yang ditandai
oleh menurunnya peran sektor industri dalam perekonomian nasional.
Pola
pergeseran struktural seperti ini juga terjadi di sejumlah daerah di kawasan
timur Indonesia (KTI), khususnya Kota Makassar dan Provinsi Sulawesi Selatan,
yaitu dari daerah agraris langsung ke daerah perdagangan dan jasa. Makassar
sebagai sentra bisnis utama KTI sangat didominasi oleh lapangan usaha
perdagangan, hotel, dan restoran serta sektor keuangan.
Salah
satu mengapa pola transformasi berjalan tak normal seperti negara lain adalah
karena perekonomian nasional tak mampu mengembangkan sektor industri
pengolahan, khususnya industri berbasis sumber daya alam (SDA) berorientasi
ekspor.
Daerah-daerah
di KTI sejak awal tak memiliki platform pengembangan industri dan juga
kawasan industri yang fokus membangun rantai pasokan global dengan industri
negara lain, seperti Malaysia, China, Jepang, Singapura, dan Korea Selatan.
Perekonomian KTI bahkan terjebak dalam sindrom penyakit Belanda, lewat
eksploitasi SDA secara besar-besaran yang dibarengi kemerosotan sektor
manufaktur dan kemiskinan tinggi.
Lemahnya
pengembangan kawasan industri di KTI menggiring perekonomian regional ke
dalam perangkap nilai tambah (value-added
trap). Hal ini tampak pada lemahnya kemampuan dunia usaha menyesuaikan
dengan regulasi pembatasan ekspor komoditas non-olahan. Sebagai contoh,
kawasan industri Makassar (Kima) yang diorientasikan menjadi kawasan industri
terintegrasi (integrated industrial
estate) terbesar KTI hanya diisi oleh kegiatan perdagangan.
Kegiatan
manufaktur di Kima hanya sebatas menghasilkan barang dengan rantai nilai yang
pendek. Kima belum memiliki industri (jika ada jumlahnya kecil) yang menghasilkan
produk akhir yang bisa langsung digunakan konsumen (end user). Kima juga tak
fokus mengembangkan kelompok industri, baik industri berbasis SDA maupun
teknologi tinggi.
Bisnis
utama Kima sama dengan bisnis lahan pemakaman San Diego Hills Memorial Park
di Karawang atau bahkan lebih buruk. Kima hanya fokus pada penjualan tanah
kavling industri, penyewaan bangunan pabrik siap pakai, dan gudang.
Supporting business hanya sebatas penyewaan alat berat, rumah susun untuk
pekerja, automotive centre, ditambah unit bisnis baru pencucian mobil.
Kondisi
ini sangat kontras dengan Bayan Lepas Free Industrial Zone (FIZ) di Penang,
Malaysia. Pengembangannya sudah memasuki tahap keempat sejak pertama kali
dikembangkan tahun 1970-an. FIZ Penang memilih fokus pada pengembangan
kawasan industri berbasis teknologi tinggi. Tujuannya, menjadikan Penang
perekonomian nomor tiga terbesar di Malaysia setelah Selangor dan Johor.
Hingga
fase keempat pengembangan FIZ Penang, jumlah perusahaan terus bertambah dan
semakin fokus pada industri teknologi tinggi. Perusahaan multinasional
berbasis teknologi tinggi, seperti Dell, Sony, Intel, DHL Exel, Motorola, dan
Fuji, sudah menjadikan FIZ Penang sebagai basis produksi global untuk ekspor
ke Asia dan kawasan lainnya.
Kisah
sukses kawasan industri Penang tak terlepas dari kemampuannya mengembangkan
rantai pasokan global dalam pola intra- industry trade (IIT) atau perdagangan
dalam industri yang sama. IIT di Penang berkembang secara vertikal (tahap
produksi yang berbeda) dengan industri sejenis di negara lainnya, seperti
Jepang, Taiwan, China, dan Korsel.
Pemerintah
sejatinya telah memperkenalkan kebijakan baru melalui Rencana Induk
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Kebijakan ini
bertujuan untuk mengakselerasi proses transformasi ekonomi nasional ke arah
industri berbasis SDA untuk daerah di luar Jawa dan industri teknologi tinggi
untuk daerah-daerah di Pulau Jawa.
Kebijakan
MP3EI mendorong aktivitas ekonomi dengan prinsip business not as usual.
Fokusnya pada pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru di luar Jawa.
Sebanyak 14 dari 34 pusat pertumbuhan yang akan dipercepat pengembangannya
terdapat di KTI dengan aktivitas utama menghasilkan komoditas pertambangan,
pertanian, perikanan, dan kehutanan olahan dengan nilai tambah tinggi.
Strategi
sama juga pernah dilakukan China, yaitu mendorong berkembangnya 12 kota yang
setara Singapura sebagai pusat pertumbuhan. Pemerintah China memulai dengan
membangun Shenzen sebagai zona ekonomi khusus. Keberhasilan Shenzen kemudian
menjadi contoh sukses untuk direplikasi di kota-kota lain di China.
Industrialisasi di KTI sulit terwujud tanpa upaya sungguh-sungguh
mengembangkan kawasan industri terintegrasi di empat koridor ekonomi yang
ada. Contohnya, kawasan industri Makassar yang 60 persen sahamnya dimiliki
Kementerian BUMN harus didukung infrastruktur dasar memadai, seperti jalan,
listrik, lembaga riset, jasa penyedia tenaga kerja, lembaga pelatihan,
pembiayaan, pemasaran, dan transportasi laut.
Dengan
demikian, hilirisasi memang sukses mengurangi ekspor produk non-olahan.
Namun, lagi-lagi industrinya bukannya mendekati bahan baku, seperti kakao
yang banyak terdapat di Sulawesi, melainkan lebih memilih Batam yang dekat ke
Singapura dan Malaysia. Alasannya belum berubah, biaya membangun pabrik di
Makassar sangat mahal karena terkait angkutan laut yang tak efisien, defisit
listrik, keterbatasan ketersediaan input, dan kondisi Kima yang buruk.
Idealnya, KTI yang luasnya lebih dari separuh Indonesia didukung SDA melimpah
yang memiliki lima kawasan industri terintegrasi dengan level produksi
berbeda- beda. Setiap kawasan industri terhubung satu sama lain sehingga
membentuk vertical intra-industry trade dalam rantai pasokan regional dengan
merek dagang KTI, seperti Celebes corn, Moluccas tuna, Celebes cocoa, dan
Toraja coffee. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar