Jumat, 07 Desember 2012

Makna Pengakuan Palestina


Makna Pengakuan Palestina
Anna Yulia Hartati ;   Dosen Hubungan Internasional FISIP
Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang
SUARA MERDEKA, 06 Desember 2012



PALESTINA akhirnya memperoleh status baru dari PBB yang semula entitas pemantau menjadi negara pemantau nonanggota. Dengan demikian, negara itu memiliki status pengamat di PBB seperti Vatikan. Status ini menunjukkan bahwa masyarakat internasional melalui Sidang Majelis Umum PBB di New York AS mengakui Palestina.

Sebuah perjalanan panjang, dimulai sejak 1974 ketika Majelis Umum PBB mengakui PLO sebagai perwakilan bangsa Palestina dan mendapat hak ikut sidang-sidang khusus pembahasan Palestina.

Perjalanan itu berpuncak pada 29 November 2012, ketika 193 negara anggota PBB menggelar voting dengan hasil 138 negara setuju, 9 negara menolak termasuk AS dan Israel, dan 41 negara abstain termasuk Jerman.

Meskipun bukan anggota penuh, Palestina berhak untuk bergabung bersama badan-badan PBB, termasuk dalam Mahkamah Kejahatan Internasional (SM, 01/12/12).
Mekelberg, pakar Pusat Kajian Chatham House di London memperkirakan untuk jangka pendek, hasil pemungutan suara di PBB tak akan banyak mengubah bobot politik antara Israel dan Palestina. Ada kemungkinan status pengamat ini segera diikuti status keanggotaan penuh.

Ada beberapa makna yang tersirat dari pengakuan yang diberikan PBB. Pertama; pengakuan de facto, yang diberikan berdasarkan fakta bahwa pemerintahan dari negara itu eksis.  Deklarasi kemerdekaan negara Palestina pada November 1988 pun diakui oleh PBB dalam Majelis Umum melalui Resolusi 43/177. Hal ini merupakan langkah tepat di tengah agresi beruntun Israel sejak beberapa pekan lalu.

Kedua; pengakuan ini mengantarkan Palestina ke pengakuan de jure, yang baru dapat diberikan bila negara-negara yang hendak memberi pengakuan percaya bahwa negara yang akan diakui secara de jure itu telah memenuhi kualifikasi menurut hukum internasional (Malcolm N Shaw; 1997).

Pemenuhan kualifikasi itu, yakni menyangkut efektivitas. Hal ini menjadi tantangan Palestina yang dalam perjalanannya harus menguasai secara efektif, baik secara formal maupun secara substansial, wilayah dan rakyat yang berada di bawah jurisdiksinya.

Kemudian, regularitas, dalam arti bahwa sebagian besar atau seluruh rakyat Palestina telah memberi dukungan sepenuhnya terhadap negara yang baru lahir. Hal ini tidak bisa diragukan lagi bahwa apa yang diinginkan rakyat Palestina adalah merdeka secara berdaulat penuh dan rakyat sudah jenuh dengan konflik yang melanda negerinya. Ekslusivitas, yakni ada kesediaan dari pihak Palestina untuk menghormati kaidah-kaidah hukum internasional.

Kejahatan Israel

Ketiga; hasil voting setuju dalam Majelis Umum yang dinyatakan oleh 138 dari 193 negara, mengindikasikan ada dukungan dari negara-negara lain demi keterwujudan Palestina yang berdaulat penuh. Hal ini merupakan awal yang baik, walaupun AS dan Israel menyatakan sikap tidak setuju dengan alasan Palestina seharusnya mengambil langkah negosiasi bilateral untuk menyelesaikan sengketa batas negara dengan Israel, seperti ditetapkan dalam Kesepakatan Damai Oslo 1993, dasar berdirinya otoritas Palestina.

Mereka menilai Palestina melanggar kesepakatan dengan Israel, yaitu upaya damai seharusnya diselesaikan dengan jalan bilateral antara Israel dan Palestina, tidak melalui jalan unilateral.

Keempat; peningkatan status Palestina di PBB bukan sekadar langkah simbolis mendapat pengakuan kedaulatan melainkan juga peningkatan peran Palestina dalam forum internasional, dan ini yang paling ditakuti Israel. Dengan status baru itu, posisi Palestina setara dengan Vatikan. Sebelumnya, Swiss pernah menjadi negara pengamat nonanggota selama lebih dari 50 tahun dan baru menjadi anggota tetap tahun 2002.

Kelima; pengakuan kali ini membuat posisi tawar Palestina terhadap Israel meningkat. Palestina bisa menjadi anggota dari badan-badan PBB. Selain itu, yang paling ditakutkan Israel, negara tersebut bisa bergabung dengan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).

Dengan keanggotaan di ICC, Palestina bisa mengajukan gugatan terhadap kejahatan Israel di Gaza dan Tepi Barat. Palestina juga bisa menyeret Israel ke ICC atas kejahatan perang. Sebelumnya, pada April lalu, ICC menolak permintaan Palestina untuk menyelidiki Perang Gaza tahun 2008-2009 karena tidak dianggap sebagai negara.

Tiap negara mempunyai hak untuk memperjuangkan eksistensinya, tidak terkecuali Palestina. Palestina memilih PBB sebagai jalan menuju kedaulatan adalah sebuah keharusan karena secara militer ia kalah dari Israel. Bila menempuh upaya diplomatik, dipastikan tidak akan membuahkan hasil nyata karena realitasnya permukiman Israel terus berkembang pesat. Harapan muncul ketika jalan terbuka melalui PBB. Semoga Palestina ke depan menjadi lebih baik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar