Makna
Pengakuan Palestina
Anna Yulia Hartati ; Dosen
Hubungan Internasional FISIP
Universitas
Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 06 Desember 2012
PALESTINA akhirnya memperoleh status baru
dari PBB yang semula entitas pemantau menjadi negara pemantau nonanggota.
Dengan demikian, negara itu memiliki status pengamat di PBB seperti Vatikan.
Status ini menunjukkan bahwa masyarakat internasional melalui Sidang Majelis
Umum PBB di New York AS mengakui Palestina.
Sebuah perjalanan panjang, dimulai sejak
1974 ketika Majelis Umum PBB mengakui PLO sebagai perwakilan bangsa Palestina
dan mendapat hak ikut sidang-sidang khusus pembahasan Palestina.
Perjalanan itu berpuncak pada 29 November
2012, ketika 193 negara anggota PBB menggelar voting dengan hasil 138 negara
setuju, 9 negara menolak termasuk AS dan Israel, dan 41 negara abstain
termasuk Jerman.
Meskipun bukan anggota penuh, Palestina
berhak untuk bergabung bersama badan-badan PBB, termasuk dalam Mahkamah
Kejahatan Internasional (SM, 01/12/12).
Mekelberg, pakar Pusat Kajian Chatham House di London memperkirakan
untuk jangka pendek, hasil pemungutan suara di PBB tak akan banyak mengubah
bobot politik antara Israel dan Palestina. Ada kemungkinan status pengamat
ini segera diikuti status keanggotaan penuh.
Ada beberapa makna yang tersirat dari
pengakuan yang diberikan PBB. Pertama; pengakuan de facto, yang diberikan berdasarkan fakta bahwa pemerintahan
dari negara itu eksis. Deklarasi kemerdekaan negara Palestina pada
November 1988 pun diakui oleh PBB dalam Majelis Umum melalui Resolusi 43/177.
Hal ini merupakan langkah tepat di tengah agresi beruntun Israel sejak
beberapa pekan lalu.
Kedua; pengakuan ini mengantarkan Palestina
ke pengakuan de jure, yang baru dapat diberikan bila negara-negara yang
hendak memberi pengakuan percaya bahwa negara yang akan diakui secara de jure
itu telah memenuhi kualifikasi menurut hukum internasional (Malcolm N Shaw;
1997).
Pemenuhan kualifikasi itu, yakni menyangkut
efektivitas. Hal ini menjadi tantangan Palestina yang dalam perjalanannya
harus menguasai secara efektif, baik secara formal maupun secara substansial,
wilayah dan rakyat yang berada di bawah jurisdiksinya.
Kemudian, regularitas, dalam arti bahwa
sebagian besar atau seluruh rakyat Palestina telah memberi dukungan
sepenuhnya terhadap negara yang baru lahir. Hal ini tidak bisa diragukan lagi
bahwa apa yang diinginkan rakyat Palestina adalah merdeka secara berdaulat
penuh dan rakyat sudah jenuh dengan konflik yang melanda negerinya.
Ekslusivitas, yakni ada kesediaan dari pihak Palestina untuk menghormati
kaidah-kaidah hukum internasional.
Kejahatan
Israel
Ketiga; hasil voting setuju dalam Majelis
Umum yang dinyatakan oleh 138 dari 193 negara, mengindikasikan ada dukungan
dari negara-negara lain demi keterwujudan Palestina yang berdaulat penuh. Hal
ini merupakan awal yang baik, walaupun AS dan Israel menyatakan sikap tidak
setuju dengan alasan Palestina seharusnya mengambil langkah negosiasi bilateral
untuk menyelesaikan sengketa batas negara dengan Israel, seperti ditetapkan
dalam Kesepakatan Damai Oslo 1993, dasar berdirinya otoritas Palestina.
Mereka menilai Palestina melanggar
kesepakatan dengan Israel, yaitu upaya damai seharusnya diselesaikan dengan
jalan bilateral antara Israel dan Palestina, tidak melalui jalan unilateral.
Keempat; peningkatan status Palestina di
PBB bukan sekadar langkah simbolis mendapat pengakuan kedaulatan melainkan
juga peningkatan peran Palestina dalam forum internasional, dan ini yang
paling ditakuti Israel. Dengan status baru itu, posisi Palestina setara
dengan Vatikan. Sebelumnya, Swiss pernah menjadi negara pengamat nonanggota
selama lebih dari 50 tahun dan baru menjadi anggota tetap tahun 2002.
Kelima; pengakuan kali ini membuat posisi
tawar Palestina terhadap Israel meningkat. Palestina bisa menjadi anggota
dari badan-badan PBB. Selain itu, yang paling ditakutkan Israel, negara
tersebut bisa bergabung dengan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).
Dengan keanggotaan di ICC, Palestina bisa
mengajukan gugatan terhadap kejahatan Israel di Gaza dan Tepi Barat.
Palestina juga bisa menyeret Israel ke ICC atas kejahatan perang. Sebelumnya,
pada April lalu, ICC menolak permintaan Palestina untuk menyelidiki Perang
Gaza tahun 2008-2009 karena tidak dianggap sebagai negara.
Tiap negara mempunyai hak untuk
memperjuangkan eksistensinya, tidak terkecuali Palestina. Palestina memilih
PBB sebagai jalan menuju kedaulatan adalah sebuah keharusan karena secara
militer ia kalah dari Israel. Bila menempuh upaya diplomatik, dipastikan
tidak akan membuahkan hasil nyata karena realitasnya permukiman Israel terus
berkembang pesat. Harapan muncul ketika jalan terbuka melalui PBB. Semoga
Palestina ke depan menjadi lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar