Jumat, 07 Desember 2012

Politikus (Bukan) Wakil Rakyat


Politikus (Bukan) Wakil Rakyat
Tantri Setyaningsih ;   Pegiat Literacy Circle Fishum UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta
SUARA KARYA, 06 Desember 2012

  
Para politisi yang saat ini duduk di DPR dan pemerintahan semakin menjadi sorotan masyarakat. Alasan utamanya adalah hilangnya karakter politik dari diri para politisi. Lakon politik yang mereka mainkan tidak lagi berorientasi kepentingan rakyat, tetapi kepentingan pribadi, kelompok dan partainya. Pragmatisme politik seringkali didahulukan dalam menghadapi berbagai masalah kebangsaan.
Fenomena di atas bukanlah isapan jempol belaka. Berdasarkan survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan pada 12-15 November 2012 menyatakan bahwa kinerja anggota DPR buruk. Menurut hasil survei itu, mayoritas publik Indonesia menganggap anggota DPR hanya bekerja untuk kepentingan diri dan golongannya (69,55 persen). Hanya 22,76 persen yang menganggap anggota DPR bekerja untuk kepentingan rakyat.
Jelas fenomena tersebut menjadi pukulan telak bagi kita selaku masyarakat. Selama ini kita menganggap para politisi yang ada di DPR adalah orang-orang yang memperjuangkan kepentingan rakyat, namun kenyataannya tak jauh beda dari kumpulan orang-orang yang hanya mengejar "isi perut". Setidaknya kita sekarang dapat menilai bahwa DPR bukan lagi orang-orang yang mewakili rakyat, tetapi mewakili kepentingan dirinya. Mereka tidak pantas lagi disebut sebagai wakil rakyat. Pragmatisme politik sungguh sudah mengakar kuat dalam diri para politisi.
Sugguh jagad politik bangsa ini sudah kacau dan tidak jelas. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya bangsa ini beberapa tahun ke depan jika kondisi tersebut terus dibiarkan. Bangsa yang katanya gemah ripah loh jinawi ini akan menjadi bangsa yang benar-benar bangkrut karena kekayaannya dikuras habis oleh para politisi koruptif. Pada gilirannya, bukan mustahil jika kemudian bangsa ini dicap sebagai "bangsa gagal". Sungguh memperihatinkan!
Kalau dicermati, kebobrokan para politisi sebenarnya tak lepas dari rekrutmen politik (political recrutment) yang salah. Untuk menjadi kepala daerah saja misalnya, mereka harus punya budget yang sangat besar. Memang tidak dipungkiri di era pemilu langsung ini, tanpa uang hampir mustahil seorang calon bisa meraih kemenangan. Tetapi implikasinya, setelah terpilih, bukan sesuatu yang mustahil jika mereka tersangkut korupsi. Alasannya untuk mengembalikan modal pemilu hanya menggerogoti uang negara, melakukan korupsi.
Namun, mentalitas itu bukan sesuatu yang mustahil merubahnya jika serius dan dilakukan dengan kerja. Untuk itu, ada beberapa hal perlu dilakukan mengembalikan kultur politik dan jiwa politisi yang telah hilang itu. Pertama, masyarakat harus melakukan kontrol. Partisipasi masyarakat bisa membatasi ruang gerak politisi untuk melakukan hal-hal yang destruktif. Masyarakat perlu bersatupadu mengontrol DPR agar jangan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
Selama ini, pergerakan masyarakat cenderung lamban dan stagnan terhadap tindak-tanduk dan akal bulus politisi. Hal itu bisa dimaklumi karena rendahnya kesadaran politik dan kesadaran hukum masyarakat. Namun kini, dengan dukungan dan majunya media massa, masyarakat akan mendapatkan banyak informasi tentang perpolitikan bangsa. Paling tidak masyarakat dapat memanfaatkan media untuk mengontrol sepak terjang para politisi.
Kedua, partai politik perlu melakukan evaluasi bahwa selama ini fungsi utamanya belum berjalan sebagaimana mestinya. Kalau kita lihat, partai politik kini sudah berubah menjadi tempat dan kendaraan orang untuk memburu kekuasaan. Akibatnya, tidak heran jika kemudian partai politik memiliki citra negatif di mata masyarakat. Atas dasar inilah partai politik harus kembali kepada fungsi utamanya sehingga ruh partai benar-benar punya peran signifikan dalam pembangunan bangsa.
Ketiga, pembenahan hukum menuju supremasi hukum yang tegas dan berkeadilan. Siapa yang bersalah harus dihukum sesuai dengan keadilan hukum. Bahkan politisi pun kalau bersalah harus dihukum sesuai aturan hukum yang berlaku. Hukum sebagai aturan bersama harus ditaati secara kolektif. Hukum harus dijunjung tinggi sebagai panglima dan dijadikan sebagai alat untuk menata kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang lebih baik, aman dan tenteram. Setiap individu harus diperlakukan sama di mata hukum, tidak tajam ke bawah atau tumpul ke atas.
Penegakan hukum itu dapat dimulai dari keteladanan pemimpin. Politisi adalah bagian dari pemimpin bangsa ini. Kalau politisi mampu memulai supremasi hukum dengan tegas, dengan sendirinya masyarakat akan ikut menegakkan hukum. Kondisi hukum kita sudah sangat parah karena politisi bangsa ini kurang memberikan contoh yang baik kepada masyarakat. Banyak kebobrokan yang terjadi hanya karena penegakan hukum yang tidak tegas oleh aparat penegak hukum dan politisi bangsa ini.
Keempat, ikhtiar untuk mengembalikan jiwa politisi tidak akan terwujud apabila tidak ada kemauan kuat dari politisi itu sendiri. Peran masyarakat hanyalah sebagai pendorong ke fungsi yang sebenarnya. Selama ini, bangsa kita mengalami kesulitan dalam menyelesaikan berbagai masalah, termasuk masalah politisi yang kerap menyimpang. Hal itu terjadi karena tidak adanya tekad dan kemauan yang kuat dari para politisi untuk berbenah. Padahal, jika mereka punya tekad kuat untuk berubah semua masalah akan teratasi dengan mudah.
Dengan demikian, modal dasar untuk mengubah perilaku politisi harus bermula dari komitmen mereka sendiri. Paling tidak komitmen tersebut dapat dimulai dengan cara membangun planning yang baik tentang masa depan bangsa. Artinya, para politisi harus punya agenda besar dalam membangun bangsa, kemudian berjuang dengan idiologi politik yang benar dan manaati hukum yang ada. Pragmatisme politik juga harus dikesampingkan, dan lebih mendahulukan kepentingan rakyat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar