Politikus
(Bukan) Wakil Rakyat
Tantri Setyaningsih ; Pegiat
Literacy Circle Fishum UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta |
SUARA
KARYA, 06 Desember 2012
Para politisi yang
saat ini duduk di DPR dan pemerintahan semakin menjadi sorotan masyarakat.
Alasan utamanya adalah hilangnya karakter politik dari diri para politisi.
Lakon politik yang mereka mainkan tidak lagi berorientasi kepentingan rakyat,
tetapi kepentingan pribadi, kelompok dan partainya. Pragmatisme politik
seringkali didahulukan dalam menghadapi berbagai masalah kebangsaan.
Fenomena di atas
bukanlah isapan jempol belaka. Berdasarkan survei Lembaga Survei Indonesia
(LSI) yang dilakukan pada 12-15 November 2012 menyatakan bahwa kinerja
anggota DPR buruk. Menurut hasil survei itu, mayoritas publik Indonesia
menganggap anggota DPR hanya bekerja untuk kepentingan diri dan golongannya
(69,55 persen). Hanya 22,76 persen yang menganggap anggota DPR bekerja untuk
kepentingan rakyat.
Jelas fenomena
tersebut menjadi pukulan telak bagi kita selaku masyarakat. Selama ini kita
menganggap para politisi yang ada di DPR adalah orang-orang yang
memperjuangkan kepentingan rakyat, namun kenyataannya tak jauh beda dari
kumpulan orang-orang yang hanya mengejar "isi perut". Setidaknya
kita sekarang dapat menilai bahwa DPR bukan lagi orang-orang yang mewakili
rakyat, tetapi mewakili kepentingan dirinya. Mereka tidak pantas lagi disebut
sebagai wakil rakyat. Pragmatisme politik sungguh sudah mengakar kuat dalam
diri para politisi.
Sugguh jagad politik
bangsa ini sudah kacau dan tidak jelas. Kita tidak bisa membayangkan
bagaimana jadinya bangsa ini beberapa tahun ke depan jika kondisi tersebut
terus dibiarkan. Bangsa yang katanya gemah ripah loh jinawi ini akan menjadi
bangsa yang benar-benar bangkrut karena kekayaannya dikuras habis oleh para
politisi koruptif. Pada gilirannya, bukan mustahil jika kemudian bangsa ini
dicap sebagai "bangsa gagal". Sungguh memperihatinkan!
Kalau dicermati,
kebobrokan para politisi sebenarnya tak lepas dari rekrutmen politik
(political recrutment) yang salah. Untuk menjadi kepala daerah saja misalnya,
mereka harus punya budget yang sangat besar. Memang tidak dipungkiri di era
pemilu langsung ini, tanpa uang hampir mustahil seorang calon bisa meraih
kemenangan. Tetapi implikasinya, setelah terpilih, bukan sesuatu yang
mustahil jika mereka tersangkut korupsi. Alasannya untuk mengembalikan modal
pemilu hanya menggerogoti uang negara, melakukan korupsi.
Namun, mentalitas itu
bukan sesuatu yang mustahil merubahnya jika serius dan dilakukan dengan
kerja. Untuk itu, ada beberapa hal perlu dilakukan mengembalikan kultur
politik dan jiwa politisi yang telah hilang itu. Pertama, masyarakat harus
melakukan kontrol. Partisipasi masyarakat bisa membatasi ruang gerak politisi
untuk melakukan hal-hal yang destruktif. Masyarakat perlu bersatupadu
mengontrol DPR agar jangan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan
kepentingan masyarakat.
Selama ini, pergerakan
masyarakat cenderung lamban dan stagnan terhadap tindak-tanduk dan akal bulus
politisi. Hal itu bisa dimaklumi karena rendahnya kesadaran politik dan
kesadaran hukum masyarakat. Namun kini, dengan dukungan dan majunya media
massa, masyarakat akan mendapatkan banyak informasi tentang perpolitikan
bangsa. Paling tidak masyarakat dapat memanfaatkan media untuk mengontrol
sepak terjang para politisi.
Kedua, partai politik
perlu melakukan evaluasi bahwa selama ini fungsi utamanya belum berjalan
sebagaimana mestinya. Kalau kita lihat, partai politik kini sudah berubah
menjadi tempat dan kendaraan orang untuk memburu kekuasaan. Akibatnya, tidak
heran jika kemudian partai politik memiliki citra negatif di mata masyarakat.
Atas dasar inilah partai politik harus kembali kepada fungsi utamanya sehingga
ruh partai benar-benar punya peran signifikan dalam pembangunan bangsa.
Ketiga, pembenahan
hukum menuju supremasi hukum yang tegas dan berkeadilan. Siapa yang bersalah
harus dihukum sesuai dengan keadilan hukum. Bahkan politisi pun kalau
bersalah harus dihukum sesuai aturan hukum yang berlaku. Hukum sebagai aturan
bersama harus ditaati secara kolektif. Hukum harus dijunjung tinggi sebagai
panglima dan dijadikan sebagai alat untuk menata kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa yang lebih baik, aman dan tenteram. Setiap individu harus
diperlakukan sama di mata hukum, tidak tajam ke bawah atau tumpul ke atas.
Penegakan hukum itu
dapat dimulai dari keteladanan pemimpin. Politisi adalah bagian dari pemimpin
bangsa ini. Kalau politisi mampu memulai supremasi hukum dengan tegas, dengan
sendirinya masyarakat akan ikut menegakkan hukum. Kondisi hukum kita sudah
sangat parah karena politisi bangsa ini kurang memberikan contoh yang baik
kepada masyarakat. Banyak kebobrokan yang terjadi hanya karena penegakan
hukum yang tidak tegas oleh aparat penegak hukum dan politisi bangsa ini.
Keempat, ikhtiar untuk
mengembalikan jiwa politisi tidak akan terwujud apabila tidak ada kemauan
kuat dari politisi itu sendiri. Peran masyarakat hanyalah sebagai pendorong
ke fungsi yang sebenarnya. Selama ini, bangsa kita mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan berbagai masalah, termasuk masalah politisi yang kerap
menyimpang. Hal itu terjadi karena tidak adanya tekad dan kemauan yang kuat
dari para politisi untuk berbenah. Padahal, jika mereka punya tekad kuat
untuk berubah semua masalah akan teratasi dengan mudah.
Dengan demikian, modal
dasar untuk mengubah perilaku politisi harus bermula dari komitmen mereka
sendiri. Paling tidak komitmen tersebut dapat dimulai dengan cara membangun
planning yang baik tentang masa depan bangsa. Artinya, para politisi harus
punya agenda besar dalam membangun bangsa, kemudian berjuang dengan idiologi
politik yang benar dan manaati hukum yang ada. Pragmatisme politik juga harus
dikesampingkan, dan lebih mendahulukan kepentingan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar