Kultur Politik
Personalitik
Ulil Abshar-Abdalla ; Politisi
Partai Demokrat
|
JARINGNEWS.COM,
30 November 2012
“Belum ada perubahan yang berarti
menuju kepada kultur politik yang lebih berorientasi program.”
JAKARTA, Jaringnews.com - Kultur politik kita cenderung masih 'personal'.
Personalisasi politik ini, tampak, misalnya dalam percakapan yang hangat
akhir-akhir ini tentang siapa yang akan menjadi presiden mendatang pada 2014.
Perhatian publik banyak disedot oleh isu 'siapa' ketimbang 'apa' yang
ditawarkan oleh orang atau kandidat politik bersangkutan.
Personalisasi politik juga tampak dalam setiap pilkada,
kongres, munas, atau muktamar partai atau ormas. Pertanyaan tentang siapa
yang akan menjadi gubernur, bupati atau ketua umum mendatang jauh lebih
menyita perhatian dan diskusi dalam perhelatan politik seperti itu.
Yang hilang dalam kultur politik yang personal ini tentu
saja adalah perdebatan tentang kebijakan makro. Yang lebih menonjol adalah
perdebatan tentang person atau orang, bukan model dan
alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh person itu.
Saya ingin membandingkan dengan AS sebagai contoh kasus
saja. Di AS, politik yang personal jelas ada. Kandidat politik, terutama
presiden dan gubernur negara bagian, tampil dalam 'prosesi kampanye' seperti
sebuah ikon superstar dalam pop-culture.
Acara-acara seperti konvensi partai juga dirancang begitu rupa sehingga
menyerupai sebuah konser musik yang penuh gebyar.
Konvensi partai di AS enak kita tonton sebagai sebuah pertunjukan.
Pidato-pidato yang disampaikan oleh tokoh-tokoh politik dalam perhelatan
seperti itu juga mirip dengan sebuah 'show'yang memikat. Masih
ingat pidato Michelle Obama di Democrat National Convention, Charlotte, North
Carolina, September yang lalu?
Tetapi, meski ciri personal dalam politik AS sangat
menonjol, perdebatan tentang kebijakan jauh lebih penting dan mendominasi
kampanye politik di AS ketimbang tokohnya sendiri. Tokoh hanyalah
personalisasi dari sebuah ide atau kebijakan tertentu yang diperdebatkan di
ruang publik.
Para pengamat politik biasanya juga akan membahas
opsi-opsi kebijakan yang ditawarkan oleh masing-masing kandidat. Kita ingat
setelah Obama atau Romney menyampaikan pidato penerimaan sebagai kandidat
resmi kepresidenan dalam acara puncak konvensi partai mereka masing-masing,
beberapa stasiun TV besar di AS akan mengundang sejumlah pengamat untuk
memperdebatkan pilihan kebijakan yang diajukan oleh kandidat bersangkutan.
Dengan kata lain, walaupun politik AS punya karakter
personal yang kuat, serta sentuhan budaya pop yang kental, pada analisa
terakhir tetap saja pilihan kebijakan kandidat tertentu yang menjadi fokus
perhatian, bukan tokohnya sendiri.
Ini jelas berbeda dengan kultur politik kita. Ambil
contoh: publik sekarang ini memperdebatkan sejumlah nama sebagai bakal calon
presiden mendatang. Ada nama-nama seperti Aburizal Bakrie, Prabowo Subianto,
Jusuf Kalla, Mahfud MD, Sri Mulyani, dan lain-lain. Kita tak tahu persis
apakah tokoh-tokoh itu mewakili 'mazhab kebijakan' tertentu yang jelas.
Apakah perbedaan yang mendasar antara tokoh-tokoh itu dari sudut
pilihan-pilihan kebijakan yang akan mereka ambil manakala mereka akan
terpilih menjadi presiden kelak?
Karena tokoh-tokoh yang diperdebatkan publik itu tak
mewakili suatu mazhab kebijakan yang jelas, terutama di bidang ekonomi dan
kebijakan sosial atau kesejahteraan, akhirnya diskusi publik pindah ke isu
karakter personal tokoh-tokoh itu, bagaimana rekam jejak mereka di masa
lampau, bagaimana gaya dan langgam personalnya, dan seterusnya.
Meskipun kultur politik personal ini tak seluruhnya
negatif, tetapi saya juga menganggapnya sebagai bahaya dalam kerangka
pendidikan politik publik dalam jangka panjang. Kultur ini harus pelan-pelan
diimbangi dengan kultur lain yang 'less personalistic', yang
kurang terlalu personal.
Tak mudah menggeser kultur politik yang personal semacam
ini di negeri kita. Kelemahan dalam kultur politik kita ini juga sudah
disadari sejak lama oleh para pelaku politik di Indonesia. Tetapi hinga
sekarang belum ada perubahan yang berarti menuju kepada kultur politik yang
lebih, misalnya, berorientasi program.
Yang menarik, Orde Baru dulu sebetulnya ingin mengubah
kultur politik menjadi lebih 'program oriented', berlawanan
dengan kultur politik sebelumnya di era Orde Lama yang cenderung ideologis
dan karena itu mudah menimbulkan tabrakan ideologi dan ketegangan sosial.
Upaya Orba ini sangat berhasil, tetapi dengan harga yang
mahal: politik sebagai proses negosiasi dalam masyarakat dihilangkan sama
sekali, digantikan oleh komando dan rekayasa terpusat.
Saya cemas karena kultur politik personal ini bukan
melemah tapi kian menguat sekarang. Di tengah-tengah berkecamuknya korupsi,
praktik politik uang, arah perubahan politik yang mencemaskan, kekacauan
sosial, masyarakat kemudian mencari seorang 'figur kuat' yang mirip dengan
Ratu Adil.
Popularitas Prabowo saat ini, misalnya,
saya kira tak terlepas dari kecenderungan kultur politik yang kian
personalistik ini. Kultur ini kurang sehat, dan pelan-pelan memang harus
diimbangi dengan kultur politik yang lebih mengarah kepada perdebatan
kebijakan. Karena hanya dengan begitulah publik akan mendapatkan pendidikan
politik yang baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar