Sabtu, 08 Desember 2012

Kultur Politik Personalitik


Kultur Politik Personalitik
Ulil Abshar-Abdalla ;   Politisi Partai Demokrat
JARINGNEWS.COM, 30 November 2012


Belum ada perubahan yang berarti menuju kepada kultur politik yang lebih berorientasi program.

JAKARTA, Jaringnews.com - Kultur politik kita cenderung masih 'personal'. Personalisasi politik ini, tampak, misalnya dalam percakapan yang hangat akhir-akhir ini tentang siapa yang akan menjadi presiden mendatang pada 2014. Perhatian publik banyak disedot oleh isu 'siapa' ketimbang 'apa' yang ditawarkan oleh orang atau kandidat politik bersangkutan.

Personalisasi politik juga tampak dalam setiap pilkada, kongres, munas, atau muktamar partai atau ormas. Pertanyaan tentang siapa yang akan menjadi gubernur, bupati atau ketua umum mendatang jauh lebih menyita perhatian dan diskusi dalam perhelatan politik seperti itu.

Yang hilang dalam kultur politik yang personal ini tentu saja adalah perdebatan tentang kebijakan makro. Yang lebih menonjol adalah perdebatan tentang person atau orang, bukan model dan alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh person itu.

Saya ingin membandingkan dengan AS sebagai contoh kasus saja. Di AS, politik yang personal jelas ada. Kandidat politik, terutama presiden dan gubernur negara bagian, tampil dalam 'prosesi kampanye' seperti sebuah ikon superstar dalam pop-culture. Acara-acara seperti konvensi partai juga dirancang begitu rupa sehingga menyerupai sebuah konser musik yang penuh gebyar.

Konvensi partai di AS enak kita tonton sebagai sebuah pertunjukan. Pidato-pidato yang disampaikan oleh tokoh-tokoh politik dalam perhelatan seperti itu juga mirip dengan sebuah 'show'yang memikat. Masih ingat pidato Michelle Obama di Democrat National Convention, Charlotte, North Carolina, September yang lalu?

Tetapi, meski ciri personal dalam politik AS sangat menonjol, perdebatan tentang kebijakan jauh lebih penting dan mendominasi kampanye politik di AS ketimbang tokohnya sendiri. Tokoh hanyalah personalisasi dari sebuah ide atau kebijakan tertentu yang diperdebatkan di ruang publik.

Para pengamat politik biasanya juga akan membahas opsi-opsi kebijakan yang ditawarkan oleh masing-masing kandidat. Kita ingat setelah Obama atau Romney menyampaikan pidato penerimaan sebagai kandidat resmi kepresidenan dalam acara puncak konvensi partai mereka masing-masing, beberapa stasiun TV besar di AS akan mengundang sejumlah pengamat untuk memperdebatkan pilihan kebijakan yang diajukan oleh kandidat bersangkutan.

Dengan kata lain, walaupun politik AS punya karakter personal yang kuat, serta sentuhan budaya pop yang kental, pada analisa terakhir tetap saja pilihan kebijakan kandidat tertentu yang menjadi fokus perhatian, bukan tokohnya sendiri.
Ini jelas berbeda dengan kultur politik kita. Ambil contoh: publik sekarang ini memperdebatkan sejumlah nama sebagai bakal calon presiden mendatang. Ada nama-nama seperti Aburizal Bakrie, Prabowo Subianto, Jusuf Kalla, Mahfud MD, Sri Mulyani, dan lain-lain. Kita tak tahu persis apakah tokoh-tokoh itu mewakili 'mazhab kebijakan' tertentu yang jelas. Apakah perbedaan yang mendasar antara tokoh-tokoh itu dari sudut pilihan-pilihan kebijakan yang akan mereka ambil manakala mereka akan terpilih menjadi presiden kelak?

Karena tokoh-tokoh yang diperdebatkan publik itu tak mewakili suatu mazhab kebijakan yang jelas, terutama di bidang ekonomi dan kebijakan sosial atau kesejahteraan, akhirnya diskusi publik pindah ke isu karakter personal tokoh-tokoh itu, bagaimana rekam jejak mereka di masa lampau, bagaimana gaya dan langgam personalnya, dan seterusnya.

Meskipun kultur politik personal ini tak seluruhnya negatif, tetapi saya juga menganggapnya sebagai bahaya dalam kerangka pendidikan politik publik dalam jangka panjang. Kultur ini harus pelan-pelan diimbangi dengan kultur lain yang 'less personalistic', yang kurang terlalu personal.

Tak mudah menggeser kultur politik yang personal semacam ini di negeri kita. Kelemahan dalam kultur politik kita ini juga sudah disadari sejak lama oleh para pelaku politik di Indonesia. Tetapi hinga sekarang belum ada perubahan yang berarti menuju kepada kultur politik yang lebih, misalnya, berorientasi program.

Yang menarik, Orde Baru dulu sebetulnya ingin mengubah kultur politik menjadi lebih 'program oriented', berlawanan dengan kultur politik sebelumnya di era Orde Lama yang cenderung ideologis dan karena itu mudah menimbulkan tabrakan ideologi dan ketegangan sosial.

Upaya Orba ini sangat berhasil, tetapi dengan harga yang mahal: politik sebagai proses negosiasi dalam masyarakat dihilangkan sama sekali, digantikan oleh komando dan rekayasa terpusat.

Saya cemas karena kultur politik personal ini bukan melemah tapi kian menguat sekarang. Di tengah-tengah berkecamuknya korupsi, praktik politik uang, arah perubahan politik yang mencemaskan, kekacauan sosial, masyarakat kemudian mencari seorang 'figur kuat' yang mirip dengan Ratu Adil.

Popularitas Prabowo saat ini, misalnya, saya kira tak terlepas dari kecenderungan kultur politik yang kian personalistik ini. Kultur ini kurang sehat, dan pelan-pelan memang harus diimbangi dengan kultur politik yang lebih mengarah kepada perdebatan kebijakan. Karena hanya dengan begitulah publik akan mendapatkan pendidikan politik yang baik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar