Pejabat dan
Tubuh Perempuan
Jaleswari Pramodhawardani ; Peneliti
LIPI dan Dewan Penasihat
The Indonesian
Institute
|
KOMPAS,
07 Desember 2012
Selaput dara perempuan di negeri ini
ternyata bisa mengubah cepat nasib perempuan. Pekan ini publik kita diguncang
oleh pemberitaan mengenai Bupati Garut Aceng Fikri yang mempersoalkan
keutuhan selaput dara mantan istrinya yang hanya dinikahi selama empat hari.
Perdebatan publik sekitar
kontrol keperawanan (virginity) perempuan daripada kontrol diri sendiri telah
dianalisis dalam konteks yang berbeda di sejumlah media massa.
Para perempuan pun
tercekat karena pejabat publiknya selama dua tahun terakhir ini membuat
pernyataan yang mengejutkan tentang tubuh mereka. ”Kaum hawa yang menggunakan
sarana transportasi angkutan umum saat bepergian hendaknya tidak menggunakan
rok mini. Hal ini agar tidak memancing orang berlaku asusila kepada perempuan
itu,” kata mantan Gubernur DKI Jakarta pada 16 September 2011.
Bukan itu saja, pada tahun
yang sama, Pemerintah Kabupaten Aceh Barat juga mengeluarkan pernyataan
kontroversial dalam menegakkan peraturan daerah syariah atau qanun. Menurut
Bupati Aceh Barat, seperti dikutip harian The Jakarta Globe (The Jakarta
Globe: They are asking to get raped), perempuan yang tidak berpakaian sesuai
syariah seperti minta diperkosa.
Menjadi perempuan di negeri
yang konon menjamin keadilan semua warga negaranya dalam konstitusinya ini
memang tidak mudah. Sebab, antara cita-cita dan fakta kerap berjarak.
Kendati Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia disepakati sebagai dasar
filosofis dan sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia, pada
kenyataannya banyak kebijakan pusat dan daerah bertentangan dengannya, yaitu
mendiskriminasi perempuan, warga negara yang juga wajib dilindungi negara
sesuai amanah konstitusi. Diskriminasi itu tidak hanya termaktub dalam
teks-teks kebijakan, tetapi juga sikap dan ucapan para pelayan publiknya,
terutama dalam ranah hak atas tubuh dan seksualitas perempuan.
Pada pertengahan 1990-an,
serangkaian cerita bunuh diri gadis-gadis SMA muncul di koran-koran Turki.
Plot cerita yang lebih kurang sama dengan Indonesia. Sebelumnya, pihak
sekolah melalui argumen penegakan prinsip-prinsip etika sekolah telah
menghubungi keluarga mereka untuk memperingatkan tentang perilaku ”tidak
sopan” anak perempuan mereka.
Perilaku yang dilabeli
sebagai nilai kebajikan. Solusi yang direkomendasikan kepada keluarga adalah
memeriksa kesopanan putri mereka melalui ”pemeriksaan keperawanan”.
Gadis-gadis menolak kontrol keperawanan ini dengan cara bunuh diri.
Insiden ini menghasilkan
diskusi publik dan kampanye dalam jangka panjang, sebagai dampak dari narasi
melodramatis yang digunakan oleh media. Namun, semua ini justru semakin
meneguhkan pengakuan dari fakta bahwa pemeriksaan keperawanan telah menjadi
praktik umum di Turki. Bisa jadi mereka melakukan ini kepada perempuan dengan
label yang mereka kenakan, yaitu bertentangan dengan nilai kebajikan atau
kesopanan.
Perlakuan ini diamini juga
oleh para ahli kesehatan profesional di lembaga-lembaga publik yang sebagian
besar melakukan uji keperawanan meskipun tidak ada peraturan hukum tentang
ini.
Jalan yang telah dibuka
melalui diskusi-diskusi di ruang publik cukup menarik. Insiden tragis ini
rupanya membagi nurani publik menjadi dua kelompok. Sisi ”tradisional”
mendukung pemeriksaan keperawanan sebagai mekanisme pengendalian kebajikan
perempuan dan kelompok ”modern” di sisi lain menganggap kontrol keperawanan
ini sebagai tanda kegagalan Turki menjadi ”modern”.
Perdebatan ini mencapai
klimaksnya melalui penerbitan wawancara dengan menteri negara. Mewakili
dirinya sendiri yang perempuan, menteri mendukung pemeriksaan keperawanan dan
menyelaraskan dirinya sebagai ”tradisionalis”. Dalam pandangannya,
pemeriksaan keperawanan adalah masalah moralitas publik, jauh lebih penting
daripada kematian beberapa gadis.
Wawancara ini mendapatkan
kritik pedas dari sejumlah kelompok politik, dan pada tahun 1999 amandemen
hukum yang menyebut dibutuhkan persetujuan perempuan dalam pemeriksaan
keperawanan gagal. Perubahan ini jelas dipengaruhi wacana antagonistik dan
hubungan kekuasaan yang terjalin dalam matriks politik masyarakat Turki, dulu
dan sekarang.
Peran negara pun
dipertanyakan. Negara sebagai penjaga adat dan tradisi ternyata ikut
berkontribusi merepresi seksualitas perempuan. Diskusi tentang uji
keperawanan di publik telah kehilangan ruangnya setelah amandemen hukum
gagal. Di sisi lain, ini juga menunjukkan bahwa seolah-olah pemeriksaan
keperawanan akan berakhir dalam praktik setelah terjadi perubahan dalam hukum.
Meskipun semua debat,
kritik, dan kampanye telah berevolusi dalam ruang seksualitas perempuan, baik
di Indonesia maupun Turki, tetapi jarang memasukkan analisis seksualitas
sebagai sebuah situs penindasan perempuan.
Dengan kata lain, ruang
untuk diskusi dibangun dalam batas-batas aman (mainstream) wacana politik
identitas jender. Itu adalah wacana modernisasi di mana identitas perempuan
dikonfigurasi sebagai ”aktor atau bidak simbolis” (Kandiyoti, 1988) dari
proyek ”westernisasi”.
Dalam konteks ini, perlu
meletakkan perempuan, sebagai identitas aseksual, yang telah dikerahkan di
ruang publik sebagai profesional, pendidik, dan simbol transformasi budaya.
Kesucian seksual perempuan karena itu menjadi kondisi yang terus-menerus direproduksi
di publik secara benderang.
Intinya, apa yang telah
dikatakan semua diskusi tentang kontrol keperawanan perempuan ini
sesungguhnya telah dibatasi oleh kontrol konotasi politik ”kemurnian seksual
perempuan” oleh budaya patriarkal, baik di Indonesia maupun di Turki
”modern”.
Perdebatan seksualitas
perempuan selama ini kerap terjebak sekitar hubungan dominasi lembaga
patriarkal atau politik. Persoalan keperawanan bukan hanya sekadar dominasi
laki-laki terhadap perempuan. Hal yang tersisa dan kurang diuraikan adalah
peran hubungan sosial dalam skema perdebatan ini.
Diperlukan analisis yang
dapat menjangkau relasi sosial di ranah yang privat, suatu bentuk lain dari
sejumlah praktik disiplin pada seksualitas perempuan, yang dibentuk di
jaringan mikro dan makro relasi kekuasaan. Mungkin dari sana kita dapat
melihat wajah kekuasaan yang sesungguhnya, yang menyelinap dan direproduksi
secara terus-menerus tidak hanya di wilayah privat, tetapi juga di ranah
publik yang mengejawantah dalam kitab- kitab undang-undang, qanun, ataupun
dalam pikiran, sikap, dan tindakan pejabat publik, juga masyarakatnya. ●
|
Tulisan ini antara isi dan judul gak nyambung...dari judul seolah-olah akan ada analisis tentang perempuan yang terperangkap dalam politik patriarkhal pejabat. Ternyata isinya tentang masalah seksualitas dan virginitas.
BalasHapusbetul, ga nyambung, maksudnya apa//
BalasHapus