Sabtu, 08 Desember 2012

Agama dan Infrastruktur


Agama dan Infrastruktur
Said Aqil Siradj ;   Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 
SINDO, 07 Desember 2012


Dewasa ini, pembangunan infrastruktur merupakan keniscayaan. Tumbuhnya sebuah kota sering diukur dengan percepatan pembangunan infrastruktur. Pembangunan jalan raya, jaringan drainase, jaringan listrik, rumah sakit atau sekolah menjadi sederet kebutuhan infrastruktur bagi kemakmuran. 

Sekarang ini bahkan muncul kebutuhan untuk mewujudkan apa yang disebut ”infrastruktur hijau”akibat krisis lingkungan dan pemanasan global. Di sisi lain, pembangunan infrastruktur kerap tidak efisien, salah sasaran, dan tak jarang terjadi “persitegangan” antara pemerintah dan rakyat. Dalam kasus pembangunan infrastruktur di Jakarta, misalnya, kerap muncul amatan telah menimbulkan persoalan sosial seperti kemacetan dan banjir. Ada pakar yang kemudian mengusulkan agar pembangunan infrastruktur di Jakarta sementara dihentikan. 

Identitas Peradaban 

Gustave Le Bon dalam The World of Islamic Civilization (1974) menulis, “Jika menaklukkan sebuah kota, yang pertama dilakukan muslim adalah mendirikan masjid dan sekolah.” Dua bangunan itu adalah aktualisasi visi Islam tentang pentingnya pembangunan infrastruktur yang berbasiskan dimensi spiritualitas, rasionalitas, dan intelektualitas. Dua wujud infrastruktur ini adalah dua pilar peradaban yang tahan bantingan sejarah. 

Dalam sejarahnya, pembangunan infrastruktur telah menjadi perhatian besar Nabi Muhammad. Pada masa Nabi, bangunan infrastruktur seperti sumur, jalan raya, pasar, pos dan lainnya dibangun dan diperbaiki. Sejarah mencatat, yang pertama dilakukan oleh Nabi ketika tiba di Madinah adalah membangun infrastruktur bangunan berupa Masjid Nabawi. Di masjid itu pula syiar Islam bergaung,dan akhirnya menjadi pusar peradaban di Kota Madinah kala itu. 

Dalam sebuah riwayat diwartakan,suatu kali seorang sahabat meminta Nabi untuk mengintervensi harga karena telah terjadi kenaikan harga barang. Nabi mengatakan tak mungkin intervensi terhadap harga. Lalu yang dilakukan Nabi adalah mengatur distribusi barang, memperbaiki infrastruktur supaya arus barang normal. Dengan pasokan yang normal,segala sesuatu di pasar akan kembali pada titik keseimbangan. 

Nabi dalam hal ini memperhatikan pentingnya infrastruktur demi kelancaran lalu lintas perdagangan. Kebijakan itu diteruskan oleh Khalifah Umar yang membangun dua kota dagang,yakni Basrah sebagai pintu masuk ke Romawi dan Kufah sebagai pintu masuk ke Persia. Umar juga membangun kanal laut, sehingga orang yang hendak membawa gandum ke Kairo bisa menyeberang laut dan tak perlu naik unta. Biaya bisa ditekan. 

Hampir sepertiga anggaran untuk belanja infrastruktur. Dengan infrastruktur, kemungkinan inflasi dapat dikurangi. Pembangunan infrastruktur dalam sejarah peradaban Islam bisa dilihat dari kegemilangan pembangunan di Baghdad dan Cordoba, dua metropolitan dunia yang berkembang sangat pesat di zaman kejayaan Islam. Sejarawan Barat, Philip K Hitti (1960), menulis tentang pembangunan jalan-jalan di kedua metropolis Islam itu yang digambarkannya begitu licin berlapiskan aspal.

Seni dalam pembangunan infrastruktur jalan telah berkembang pesat di tanah-tanah Islam. Bermil-mil jalan di Kota Cordoba, pusat khilafah Islam di Spanyol, begitu mulus dilapisi aspal. Langkah Nabi Muhammad yang kemudian diteruskan oleh para sahabat dan para khalifah Islam ini membuktikan bahwa selain integritas moral, diperlukan juga penerapan teknologi pembangunan infrastruktur yang tepat guna untuk menyelesaikan berbagai masalah yang ada di masyarakat. 

Fikih Infrastruktur 

Bagaimana sejatinya infrastruktur dikemudikan? Pembangunan infrastruktur masuk kategori kebijakan publik. Dalam konteks ini, acuan fikih dalam merumuskan kebijakan publik adalah menegakkan kemaslahatan dan menghindarkan kemafsadatan (kerusakan). Fikih sebagai sebuah disiplin ilmu keislaman yang mengatur tata kehidupan manusia tidak hanya bercorak vertikal, melainkan horizontal dengan merambah ke berbagai persoalan kekinian.

Pentingnya pemikiran fikih infrastruktur (fiqh altandzimiyah) ini dalam rangka meneropong dinamika pembangunan infrastruktur terkait dengan tujuan utama untuk memberikan kenyamanan masyarakat. Al-Syathibi dalam kitab al- Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah (1989) telah merumuskan bahwa suatu kebijakan publik harus menyangkut hajat hidup umat, baik yang bersifat dharuriyyat (kebutuhan primer), hajiyyat (kebutuhan sekunder) maupun tahsiniyyat (kebutuhan tersier).

Maslahat dan mafsadat yang menjadi acuan hukum adalah yang muhaqqaqah atau nyata, bukan yang mauhumah atau hanya praduga. Jika kemaslahatan itu menyangkut ranah publik, kemaslahatan itu harus berupa kemaslahatan umum (al-maslahah al-ammah), tidak boleh hanya berlaku untuk satu pihak.Kemaslahatan inilah yang menjadi pedoman (mabadi’) fikih infrastruktur. Dalam patokan secara fikih, sebuah proyek pembangunan infrastruktur haruslah tidak berakibat menimbulkan keresahan warga (tarwi’ al-‘ammah). 

Pembangunan sebuah infrastrukturtidaklahberdirisendiri, sebab tak jarang selalu mengandung kompleksitas persoalan lingkungan, politik, ekonomi, dan faktor lain yang mengiringi sebuah proyek. Sebuah proyek pembangunan infrastruktur bisa saja dihukumi haram, karena proyek tersebut mengandung aspek maslahat dan mafsadat, tapi aspek mafsadat-nya lebih dominan, sehingga tidak mampu mengalahkan keberadaan mafsadat yang lebih nyata yang ditimbulkan. 

Maka prinsip menghindari mafsadat harus didahulukan, sesuai dengan kaidah: dar’u al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalihpun harus mengacu pada kaidah fikih: idzaa hashala dzararun min fardhi min afraadhil mubahi yumnaghu dzalika fardhu, apabila terjadi bahaya (kerusakan) akibat bagian di antara satu satuan yang mubah, maka satu itu saja yang dilarang. Negara bertanggung jawab penuh dalam pembangunan proyek-proyek infrastruktur seperti pembuatan jalan, irigasi, bendungan, dan sebagainya sesuai dengan prinsipprinsip keseimbangan. 

Menyitir Ibnu Taimiyah (1988), kebutuhan negara yang terkait dengan rakyat adalah menyantuni fakir miskin, penguatan hukum dan peradilan, dana pensiun,gaji pegawai negara, pembangunan infrastruktur, dan kesejahteraan umum. Kebijakan dalam pendanaan proyek-proyek sesungguhnya bergantung pada jenis proyek itu sendiri, apakah termasuk sektor privat ataukah sektor publik. Jika proyek-proyek pembangunan itu termasuk sektor privat, negara hanya memberikan bantuan kepada pelaku proyek dan menyediakan infrastrukturnya saja.

Jika proyek itu termasuk sektor publik, pendanaan untuk proyek-proyek semacam ini membutuhkan pengkajian yang mendalam. Walhasil, di sinilah pentingnya peranan pemerintah dengan berlandaskan sepenuhnya pada tujuan kemaslahatan publik, cita-cita keadilan dan kesadaran moralitas yang adiluhung. Hal telah digariskan kaidah fikih: tasharruf alimam ‘ala al-ra’iyyah manuth bi al-maslahah. Yaitu kewajiban pemerintah adalah menjamin ketenteraman warganya dengan melaksanakan pembangunan infrastruktur yang membawa kemaslahatan sesuai dengan derajat kepentingan yang dihadapi warganya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar