Minggu, 16 Desember 2012

Krisis Konstitusi Mesir


Krisis Konstitusi Mesir
Hasibullah Satrawi ;  Alumnus Al-Azhar, Kairo;
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
MEDIA INDONESIA, 15 Desember 2012


HARI ini Mesir akan menyelenggarakan referendum atas draf konstitusi baru. Penyelenggaraan referendum kali ini berjalan dalam suasana politik yang sangat panas mengingat draf konstitusi dan penyelenggaraan referendum sempat menimbulkan konflik yang sangat tajam, khususnya antara kelompok islamis dan nasionalis.

Dari perspektif kelompok oposisi dan kalangan nasionalis, penyelenggaraan referendum kali ini bisa disebut sebagai upaya paksa dari pemerintah untuk mengesahkan rancangan konstitusi baru. Sebagaimana dimaklumi, krisis politik Mesir mutakhir bermula dari dekrit presiden yang dikeluarkan Presiden Mursi pada 21 November 2012. Dekrit itu memuat beberapa poin kontroversial yang memancing reaksi keras dari kalangan nasionalis dan sekuler. Salah satunya ialah penegasan bahwa dewan konstituante tak dapat dibubarkan lembaga mana pun, termasuk oleh Mahkamah Konstitusi.

Dari perspektif pemerintah dan kelompok islamis, penyelenggaraan referendum kali ini bisa disebut sebagai kekalahan. Sebagaimana dimaklumi, kelompok oposisi pada awalnya berkeras menolak draf konstitusi baru dan penyelenggaraan referendum. Namun karena pemerintah berkeras dengan sikapnya untuk menyelenggarakan referendum pada hari ini, kelompok oposisi tidak mempunyai pilihan lain kecuali `ikut serta' dalam referendum ini dengan pilihan `menolak' draf konstitusi.

Krisis Konstitusi

Apa yang terjadi di Mesir dalam beberapa hari terakhir tak lain ialah krisis konstitusi meng ingat konstitusi baru revolusi pascalengsernya Hosni Mubarak belum terbentuk sampai sekarang. Sementara itu, beberapa lembaga dan aparat negara sudah ada dan `mendahului lahirnya' konstitusi baru yang akan dijadikan sebagai pijakan bersama. Termasuk di antaranya ialah lembaga kepresidenan dan lembaga kehakiman (termasuk juga Mahkamah Konstitusi yang sampai sekarang tidak mau direformasi oleh pihak mana pun terkecuali oleh kalangan internal MK sendiri).

Di sinilah letak krusial krisis politik yang terjadi di Mesir. Kesadaran akan pentingnya merampungkan konstitusi baru sebenarnya sempat menguat beberapa saat setelah Mubarak lengser. Hal itu bisa dilihat dari adanya perdebatan publik yang sempat memanas sebelum pelaksanaan pemilu presiden tentang perampungan draf konstitusi ini; apakah draf konstitusi akan dirampungkan sebelum atau sesudah pilpres?

Persoalannya ialah wacana tentang perumusan konstitusi saat itu terjadi di saat tiap pihak disibukkan kepentingan politik untuk menjadi bagian dari pemerintahan Mesir pascaMubarak. Kalangan islamis yang cukup kuat, contohnya, menginginkan agar perumusan konstitusi ditunda dahulu agar jadwal pelaksanaan pilpres berjalan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan Dewan Agung Militer saat itu (23 dan 24 Mei 2012).

Kepentingan politis dari sikap kelompok islamis tersebut sudah bisa ditebak. Mereka lebih memilih pelaksanaan pilpres daripada da perumusan draf konstitusi baru karena dari segi kekuatan politik, kelompok islamis dipastikan akan berhasil memenangi pilpres bila diadakan sesuai dengan jadwal, alias tidak diundur.

Bila itu terjadi, kelom pok islamis akan mendapatkan kemenangan berlipatlipat. Di satu sisi mereka berhasil memenangi pilpres dan pemilihan legislatif yang diadakan sebelumnya (walaupun hasil pemilu legislatif itu hasil pemilu legislatif itu kemudian dibatalkan MK). Di sisi lain, dengan kemenangan ini, kelompok islamis bisa ini, kelompok islamis bis mendominasi perumusan konstitusi. Hingga mereka bisa meru muskan konstitusi baru yang sesuai dengan paham dan keyakinan mereka. Itulah yang terjadi kemudian seperti terlihat dari krisis politik mutakhir.

Kelompok nasionalis dan sekuler mempunyai kepentingan politis yang kurang lebih sama. Karena sadar kalah kuat dari kelompok islamis secara politik, kelompok nasionalis dan sekuler menghendaki perumusan konstitusi didahulukan didahulukan atas pelaksanaan pilpres. Dengan penundaan seperti itu, kelompok islamis bisa berbenah diri untuk menyiapkan kekuatan-kekuatan politik. Hingga pada momen pilpres mereka tidak dikalahkan secara mudah seperti terjadi sebelumnya pada momen pemilihan legislatif.

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Kelompok islamis sejauh ini telah berhasil menjalankan hampir semua agenda mereka di pentas politik Mesir pascaMubarak. Pilpres pun digelar sebelum perumusan konstitusi dan Mursi yang tak lain ialah kader Ikhwan Muslimin pun berhasil menjadi presiden pertama Mesir pasca-Mubarak.

Konstitusi Ikhwan Muslimin

Salah satu pembahasan paling sensitif dalam draf konstitusi baru ialah Pasal 2. Pasal itu terkait dengan kedudukan hukum Islam dalam ketatanegaraan Mesir. Kelompok islamis yang diwakili Ikhwan Muslimin, salafi, Jamaah Islamiyah, dan lainnya (termasuk Presiden Mursi) menghendaki agar hukum Islam dicantumkan secara eksplisit dalam konstitusi baru: syariat Islam adalah satu-satunya sumber hukum dalam ketatane garaan Mesir. Sebaliknya kelompok nasionalis dan sekuler menghendaki syariat Islam tidak dicantumkan secara eksplisit dalam konstitusi: nilai-nilai syariat Islam menjadi salah satu sumber hukum dalam ketatanegaraan Mesir.

Di kalangan dewan konstituante baru yang dibentuk Presiden Mursi, pembahasan tentang pasal itu tidak mencapai titik temu. Akhirnya anasir kelompok nasionalis dan sekuler (termasuk dari kelompok Kristen Koptik) mengundurkan diri dari keanggotaan dewan konstituante pada 18 November 2012. (As-Sharq Al-Awsat, 19/11). Peristiwa itu bersamaan dengan panas-panasnya konflik bersenjata antara Israel dan Hamas di Palestina. Peristiwa pemunduran diri kelompok nasionalis di atas pun hampir absen dari pemberitaan media, khususnya media-media di Tanah Air.

Pada 21 November 2012, sesaat setelah berhasil mendamaikan Hamas dan Israel, Mursi mengeluarkan dekrit yang memantik gejolak politik hebat seperti sekarang itu. Alih-alih menengahi dua kelompok yang berbeda pandangan tersebut, melalui dekritnya Mursi justru mengamankan draf konstitusi baru yang oleh kalangan oposisi dianggap sebagai konstitusi `Ikhwan Muslimin'.

Kurang lebih itulah yang membuat kelompok nasionalis dan sekuler melakukan aksi perlawanan secara mati-matian seperti sekarang. Mereka sangat kecewa terhadap sikap Mursi yang justru lebih menampakkan diri sebagai `kader' Ikhwan Muslimin daripada sebagai negarawan yang berdiri di atas semua kepentingan masyarakat Mesir di semua kelompok, agama, keyakinan, dan pemikirannya.

Sikap Mursi mutakhir itu semakin mempertebal keraguan di kalangan kelompok nasionalis dan sekuler di Mesir: bahwa Mursi akan lebih tampil sebagai sosok negarawan daripada sebagai kader Ikhwan Muslimin, bahwa Mursi akan lebih tampil sebagai seorang presiden yang hanya tunduk kepada konstitusi, bukan justru menjadi kepan jangan tangan dan tunduk pada mursyid Ikhwanul Muslimin.

Oleh karenanya, hampir bisa dipastikan, kelompok nasionalis dan sekuler Mesir akan semakin keras melawan pemerintahan Mursi ke depan. Terlepas apa pun hasil referendum nanti. Di satu sisi, karena persoalan itu terkait dengan keberlangsungan kebangsaan Mesir. Di sisi lain, karena itu dianggap sebagai momentum pertarungan terakhir setelah mereka kalah telak dalam momen-momen sebelumnya, seperti momen pemilihan legislatif dan pemilihan presiden.

Padahal, kelompok nasionalis dan sekuler selama ini kerap merasa sebagai pemilik `saham terbesar' dalam revolusi yang berhasil menggulingkan Mubarak mengingat merekalah yang pertama kali melakukan aksi tersebut. Sebaliknya, Ikhwan Muslimin (apalagi salafi) hanya di barisan belakang (kecuali di fase-fase terakhir) mengingat selama ini mereka dijadikan sebagai musuh utama rezim Mubarak dan kerap dilabeli sebagai kelompok ekstremis, bahkan dinyatakan sebagai organisasi terlarang.

Sebagai pijakan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara, konstitusi ialah hal paling mendasar. Konstitusi sejatinya menjadi rujukan bersama dan pemersatu seluruh anak bangsa, apa pun agama, suku, aliran, dan keyakinannya.
Oleh karenanya, pembahasan tentang konstitusi sejatinya dilakukan melalui jalur dialog dan kesepahaman, bukan justru melalui gerakan jalanan dan kekuatan. Itulah yang saat ini terjadi di Mesir. Apa pun hasil referendum nanti, bukan tidak mungkin konstitusi ini justru akan memorak-porandakan kesatuan masyarakat Mesir ke depan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar