Krisis
Konstitusi Mesir
Hasibullah Satrawi ; Alumnus Al-Azhar, Kairo;
Pengamat Politik Timur Tengah
dan Dunia Islam
|
MEDIA
INDONESIA, 15 Desember 2012
HARI ini Mesir akan menyelenggarakan referendum atas draf
konstitusi baru. Penyelenggaraan referendum kali ini berjalan dalam suasana
politik yang sangat panas mengingat draf konstitusi dan penyelenggaraan
referendum sempat menimbulkan konflik yang sangat tajam, khususnya antara
kelompok islamis dan nasionalis.
Dari perspektif kelompok oposisi dan kalangan nasionalis,
penyelenggaraan referendum kali ini bisa disebut sebagai upaya paksa dari
pemerintah untuk mengesahkan rancangan konstitusi baru. Sebagaimana
dimaklumi, krisis politik Mesir mutakhir bermula dari dekrit presiden yang
dikeluarkan Presiden Mursi pada 21 November 2012. Dekrit itu memuat beberapa
poin kontroversial yang memancing reaksi keras dari kalangan nasionalis dan
sekuler. Salah satunya ialah penegasan bahwa dewan konstituante tak dapat
dibubarkan lembaga mana pun, termasuk oleh Mahkamah Konstitusi.
Dari perspektif pemerintah dan kelompok islamis,
penyelenggaraan referendum kali ini bisa disebut sebagai kekalahan. Sebagaimana
dimaklumi, kelompok oposisi pada awalnya berkeras menolak draf konstitusi
baru dan penyelenggaraan referendum. Namun karena pemerintah berkeras dengan
sikapnya untuk menyelenggarakan referendum pada hari ini, kelompok oposisi
tidak mempunyai pilihan lain kecuali `ikut serta' dalam referendum ini dengan
pilihan `menolak' draf konstitusi.
Krisis Konstitusi
Apa yang terjadi di Mesir dalam beberapa hari terakhir tak
lain ialah krisis konstitusi meng ingat konstitusi baru revolusi
pascalengsernya Hosni Mubarak belum terbentuk sampai sekarang. Sementara itu,
beberapa lembaga dan aparat negara sudah ada dan `mendahului lahirnya'
konstitusi baru yang akan dijadikan sebagai pijakan bersama. Termasuk di
antaranya ialah lembaga kepresidenan dan lembaga kehakiman (termasuk juga
Mahkamah Konstitusi yang sampai sekarang tidak mau direformasi oleh pihak
mana pun terkecuali oleh kalangan internal MK sendiri).
Di sinilah letak krusial krisis politik yang terjadi di
Mesir. Kesadaran akan pentingnya merampungkan konstitusi baru sebenarnya
sempat menguat beberapa saat setelah Mubarak lengser. Hal itu bisa dilihat
dari adanya perdebatan publik yang sempat memanas sebelum pelaksanaan pemilu
presiden tentang perampungan draf konstitusi ini; apakah draf konstitusi akan
dirampungkan sebelum atau sesudah pilpres?
Persoalannya ialah wacana tentang perumusan konstitusi
saat itu terjadi di saat tiap pihak disibukkan kepentingan politik untuk
menjadi bagian dari pemerintahan Mesir pascaMubarak. Kalangan islamis yang
cukup kuat, contohnya, menginginkan agar perumusan konstitusi ditunda dahulu
agar jadwal pelaksanaan pilpres berjalan sesuai dengan jadwal yang telah
ditentukan Dewan Agung Militer saat itu (23 dan 24 Mei 2012).
Kepentingan politis dari sikap kelompok islamis tersebut
sudah bisa ditebak. Mereka lebih memilih pelaksanaan pilpres daripada da
perumusan draf konstitusi baru karena dari segi kekuatan politik, kelompok
islamis dipastikan akan berhasil memenangi pilpres bila diadakan sesuai
dengan jadwal, alias tidak diundur.
Bila itu terjadi, kelom pok islamis akan mendapatkan
kemenangan berlipatlipat. Di satu sisi mereka berhasil memenangi pilpres dan
pemilihan legislatif yang diadakan sebelumnya (walaupun hasil pemilu
legislatif itu hasil pemilu legislatif itu kemudian dibatalkan MK). Di sisi
lain, dengan kemenangan ini, kelompok islamis bisa ini, kelompok islamis bis
mendominasi perumusan konstitusi. Hingga mereka bisa meru muskan konstitusi
baru yang sesuai dengan paham dan keyakinan mereka. Itulah yang terjadi
kemudian seperti terlihat dari krisis politik mutakhir.
Kelompok nasionalis dan sekuler mempunyai kepentingan
politis yang kurang lebih sama. Karena sadar kalah kuat dari kelompok islamis
secara politik, kelompok nasionalis dan sekuler menghendaki perumusan
konstitusi didahulukan didahulukan atas pelaksanaan pilpres. Dengan penundaan
seperti itu, kelompok islamis bisa berbenah diri untuk menyiapkan kekuatan-kekuatan
politik. Hingga pada momen pilpres mereka tidak dikalahkan secara mudah seperti
terjadi sebelumnya pada momen pemilihan legislatif.
Namun, nasi sudah menjadi bubur. Kelompok islamis sejauh ini
telah berhasil menjalankan hampir semua agenda mereka di pentas politik Mesir
pascaMubarak. Pilpres pun digelar sebelum perumusan konstitusi dan Mursi yang
tak lain ialah kader Ikhwan Muslimin pun berhasil menjadi presiden pertama
Mesir pasca-Mubarak.
Konstitusi Ikhwan Muslimin
Salah satu pembahasan paling sensitif dalam draf
konstitusi baru ialah Pasal 2. Pasal itu terkait dengan kedudukan hukum Islam
dalam ketatanegaraan Mesir. Kelompok islamis yang diwakili Ikhwan Muslimin,
salafi, Jamaah Islamiyah, dan lainnya (termasuk Presiden Mursi) menghendaki
agar hukum Islam dicantumkan secara eksplisit dalam konstitusi baru: syariat
Islam adalah satu-satunya sumber hukum dalam ketatane garaan Mesir.
Sebaliknya kelompok nasionalis dan sekuler menghendaki syariat Islam tidak
dicantumkan secara eksplisit dalam konstitusi: nilai-nilai syariat Islam
menjadi salah satu sumber hukum dalam ketatanegaraan Mesir.
Di kalangan dewan konstituante baru yang dibentuk Presiden
Mursi, pembahasan tentang pasal itu tidak mencapai titik temu. Akhirnya
anasir kelompok nasionalis dan sekuler (termasuk dari kelompok Kristen
Koptik) mengundurkan diri dari keanggotaan dewan konstituante pada 18
November 2012. (As-Sharq Al-Awsat, 19/11). Peristiwa itu bersamaan dengan
panas-panasnya konflik bersenjata antara Israel dan Hamas di Palestina.
Peristiwa pemunduran diri kelompok nasionalis di atas pun hampir absen dari
pemberitaan media, khususnya media-media di Tanah Air.
Pada 21 November 2012, sesaat setelah berhasil mendamaikan
Hamas dan Israel, Mursi mengeluarkan dekrit yang memantik gejolak politik
hebat seperti sekarang itu. Alih-alih menengahi dua kelompok yang berbeda
pandangan tersebut, melalui dekritnya Mursi justru mengamankan draf
konstitusi baru yang oleh kalangan oposisi dianggap sebagai konstitusi
`Ikhwan Muslimin'.
Kurang lebih itulah yang membuat kelompok nasionalis dan
sekuler melakukan aksi perlawanan secara mati-matian seperti sekarang. Mereka
sangat kecewa terhadap sikap Mursi yang justru lebih menampakkan diri sebagai
`kader' Ikhwan Muslimin daripada sebagai negarawan yang berdiri di atas semua
kepentingan masyarakat Mesir di semua kelompok, agama, keyakinan, dan
pemikirannya.
Sikap Mursi mutakhir itu semakin mempertebal keraguan di
kalangan kelompok nasionalis dan sekuler di Mesir: bahwa Mursi akan lebih
tampil sebagai sosok negarawan daripada sebagai kader Ikhwan Muslimin, bahwa
Mursi akan lebih tampil sebagai seorang presiden yang hanya tunduk kepada
konstitusi, bukan justru menjadi kepan jangan tangan dan tunduk pada mursyid
Ikhwanul Muslimin.
Oleh karenanya, hampir bisa dipastikan, kelompok
nasionalis dan sekuler Mesir akan semakin keras melawan pemerintahan Mursi ke
depan. Terlepas apa pun hasil referendum nanti. Di satu sisi, karena
persoalan itu terkait dengan keberlangsungan kebangsaan Mesir. Di sisi lain,
karena itu dianggap sebagai momentum pertarungan terakhir setelah mereka
kalah telak dalam momen-momen sebelumnya, seperti momen pemilihan legislatif
dan pemilihan presiden.
Padahal, kelompok nasionalis dan sekuler selama ini kerap
merasa sebagai pemilik `saham terbesar' dalam revolusi yang berhasil
menggulingkan Mubarak mengingat merekalah yang pertama kali melakukan aksi
tersebut. Sebaliknya, Ikhwan Muslimin (apalagi salafi) hanya di barisan belakang
(kecuali di fase-fase terakhir) mengingat selama ini mereka dijadikan sebagai
musuh utama rezim Mubarak dan kerap dilabeli sebagai kelompok ekstremis,
bahkan dinyatakan sebagai organisasi terlarang.
Sebagai pijakan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara,
konstitusi ialah hal paling mendasar. Konstitusi sejatinya menjadi rujukan
bersama dan pemersatu seluruh anak bangsa, apa pun agama, suku, aliran, dan
keyakinannya.
Oleh
karenanya, pembahasan tentang konstitusi sejatinya dilakukan melalui jalur
dialog dan kesepahaman, bukan justru melalui gerakan jalanan dan kekuatan.
Itulah yang saat ini terjadi di Mesir. Apa pun hasil referendum nanti, bukan
tidak mungkin konstitusi ini justru akan memorak-porandakan kesatuan
masyarakat Mesir ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar