Minggu, 16 Desember 2012

PLTN Terapung, Listrik, atau Chernobyl II?


PLTN Terapung, Listrik, atau Chernobyl II?
Rutta Ginting ;  Mahasiswa pada Program Bachelor
Jurusan Electrical Engineering Tomsk Polytechnic University, Rusia
MEDIA INDONESIA, 15 Desember 2012


INDONESIA saat ini sedang mengalami krisis energi listrik. Sedikitnya 30% rakyat Indonesia saat ini belum menikmati listrik. Buktinya yaitu banyaknya pemadaman listrik di berbagai daerah. Untuk menutupi kekurangan energi tersebut, pemerintah Indonesia sudah menyiapkan Peraturan Presiden No 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang berisi strategi untuk menjamin keamanan energi di Indonesia. Kebijakan itu merumuskan Indonesia pada 2025 akan mengurangi konsumsi energi fosil dan menggantinya dengan energi terbarukan, salah satunya penggunaan nuklir.

Bila melihat impian Indonesia untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), sejak enam tahun yang lalu pemerintah Rusia siap membantu mendanai dan mewujudkannya. Tidak tanggung-tanggung, Rusia menawari Indonesia proyek emas mereka: pembangkit listrik tenaga nuklir terapung.

PLTN terapung ialah pembangkit listrik generasi terbaru yang dibangun di atas galangan kapal sehingga dapat berpindah pindah lokasi. Gagasan dasarnya yaitu sebagai pemasok energi listrik di lokasi-lokasi tersulit di dunia yang kekurangan energi listrik. PLTN terapung itu terdiri dari dua reaktor kecil yang akan menghasilkan 70 megawatt (Mw) listrik dan 300 Mw sumber tenaga panas sehingga cukup untuk menerangi lebih dari 35 ribu rumah tangga.

Proyek dengan nama Akademik Lomonosov itu direncanakan akan selesai pada akhir 2012 dan mulai bekerja pada 2013. Harga listrik yang dihasilkan PLTN terapung itu bisa 2-3 kali lebih murah daripada PLTN darat. Pelanggan hanya membayar biaya pembangunan gardu listrik dan fasilitas keselamatan. Selain itu, pelanggan akan langsung mendapat listrik yang siap digunakan.

Cara kerja PLTN terapung tersebut sangat sederhana: kapal yang membawa dua reaktor sebesar 35 Mw per reaktor akan dibawa ke daerah yang kekurangan energi dan akan langsung dihubungkan ke darat melalui kabel untuk mendistribusikan listrik.
Bukan hanya digunakan sebagai penghasil listrik, PLTN terapung itu dapat juga berfungsi sebagai pabrik air bersih dari air laut (water desalination plant).

Jika kapasitas pembangkit sepenuhnya digunakan untuk memproses air laut, pembangkit itu akan mampu menghasilkan 240 ribu meter kubik air minum per hari dan cukup untuk kota berpenduduk satu juta orang. Kemampuan desalinasi air laut itu dinilai akan sangat menguntungkan negara-negara di Asia Tenggara, Afrika, dan Australia yang saat ini mengalami kekurangan air bersih.  

Sebenarnya gagasan untuk membangun PLTN terapung bukan hal baru lagi. Pada 1961, Amerika Serikat telah membangun PLTN terapung pertama di dunia di atas kapal perang USS Sturgis. Namun pada 1976, karena alasan keamanan dan akibat embargo minyak, proyek itu dihentikan dan PLTN tersebut sekarang berada di Dermaga Jacksonville, Florida.

Karena masalah keselamatan lingkungan, proyek PLTN terapung Rusia itu telah menimbulkan sejumlah protes dari kelompok-kelompok penjaga lingkungan seperti Greenpeace dan Bellona, Norwegia. Salah satu kritik yang diajukan ialah jika PLTN terapung itu menghasilkan limbah nuklir, limbah tersebut akan dibuang ke laut dan menambah limbah bahaya radiasi yang akan mencemari laut.

Menurut David Lochbaum, Direktur Nuclear Safety Project di the Union of Concerned Scientists, sebuah ketakutan yang lebih besar ialah ketika terjadi badai besar dan merusak kapal dan bila generator darurat gagal beroperasi, bencana Chernobyl bisa kembali terulang. Dalam skenario terburuk, inti reaktor bisa menjadi terlalu panas dan meleleh hingga bagian bawah tongkang akan jatuh ke dalam air, menciptakan ledakan uap radioaktif. Awan uap tersebut bisa menimbulkan kerusakan yang jauh lebih membahayakan daripada debu radioaktif yang terjadi pada pembangkit listrik tenaga nuklir Chernobyl, Uni Soviet 1986.

Lochbaum menambahkan tubuh manusia dapat menyerap tetesan air radioaktif lebih mudah daripada abu radioaktif. “Itu akan menjadi hari terburuk jika dibandingkan dengan yang terjadi di Chernobyl,“ kata dia.

Sergey Obozov, pejabat Direktur Badan Tenaga Nuklir Federal Rosenergoatom, mengatakan pembangkit terapung itu memiliki catatan keamanan yang sudah terbukti. Jaminannya ialah 50 tahun pengalaman Rusia dalam mengoperasikan armad armada kapal nuklir pemecah es dengan 7.000 reaktor per tahun yang hanya dimiliki Rusia di dunia ini. Produsen PLTN terapung tersebut percaya, meskipun sebuah pesawat menabrak kapal, reaktor tidak akan hancur.

Seperti kita ketahui, PLTN darat harus dirancang berdasarkan kemungkinan dari pergerakan tanah yang parah akibat gempa bumi. Banyak PLTN di tempatkan dekat dengan pesisir pantai untuk akses ke air laut sebagai pendinginan bila terjadi kerusakan pada sistem pendingin reaktor. Lokasi pesisir pantai cenderung menjadi daerah kerusakan tsunami maksimum sehingga membutuhkan desain pelindung yang tinggi dan risiko kegagalan akibat bencana. Buktinya, perlunya desain yang akurat terhadap bencana dapat kita pelajari dari peristiwa Fukushima.

Sebuah PLTN terapung akan ditempatkan di dekat pantai, tapi tidak di perairan dangkal, sehingga dapat menghindari masalah terburuk gempa bumi dan tsunami. Dalam air yang cukup dalam, tsunami memiliki efek minimal terhadap PLTN terapung dan gempa bumi mengirimkan tenaga yang lebih sedikit untuk mereka. Hal itu menjadi salah satu kelebihan PLTN terapung tersebut.

Dalam hal kecelakaan, serangan teroris, atau bencana lainnya, adalah penting untuk menjaga inti reaktor tetap dingin, biasanya dengan menutupinya dengan air. Pada sebuah langkah darurat ketika inti reaktor menjadi panas, para petugas dapat menurunkannya ke dalam laut. Dalam kasus terburuk, jika kapal tenggelam baik disengaja ataupun tidak, inti reaktor akan tetap aman karena air laut akan menutupinya dan membuatnya tetap dingin serta terhindar dari pelepasan radiasi ke atmosfer.

Penting untuk diingat bahwa Rusia hanya akan menjual produk dari PLTN terapung: tenaga listrik, panas, dan air tawar. Itu berarti tidak ada alasan untuk kekhawatiran sehubungan dengan pengembangan teknologi nuklir. Selain itu, Rusia akan ber tanggung jawab dengan limbah nuklir yang akan dihasilkan. Hanya, hingga saat ini solusi untuk memproses limbah nuklir yang sangat radioaktif belum ditemukan.

Dalam reaktor tradisional, bahan bakar berupa batang uranium akan dikeluarkan dari reaktor dan disimpan dalam kolam khusus. Namun dalam model PLTN terapung, yang dipromosikan Rusia, bahan bakar dibekukan dan disimpan bersama dengan inti reaktor. Ratusan batang bahan bakar bekas tersebut masih menjadi sampah di Arktik--warisan dari program kapal selam Soviet.

Apakah Indonesia memerlukan PLTN terapung? Hingga kini itu masih menjadi perdebatan. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Penyebaran penduduk yang tidak merata merupakan salah satu penyebab sulitnya pengadaan listrik di Indonesia. Tentu saja dilihat dari kemampuan PLTN terapung yang dapat berpindah-pindah, proyek itu dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan pengadaan listrik di Indonesia. Yang perlu dilakukan hanya membangun situs co-network dan PLTN terapung akan mendatangi tempat-tempat yang kekurangan listrik.

Hanya, proyek PLTN terapung itu memakan biaya pengadaan yang cukup mahal, sedangkan secara nyata belum terbukti kemampuan dan keamanannya.
Bila melihat krisis listrik yang terjadi saat ini dan kemungkinan terburuk yang menunggu di kemudian hari, pengembangan PLTN terapung di laut ataupun di darat menjadi sebuah opsi yang tidak terelakkan. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah untuk merekrut SDM yang berkualitas dan pemahaman serta kerja sama masyarakat Indonesia untuk pengadaan PLTN di Indonesia sangat diharapkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar