PLTN Terapung,
Listrik, atau Chernobyl II?
Rutta Ginting ; Mahasiswa pada Program Bachelor
Jurusan Electrical Engineering
Tomsk Polytechnic University, Rusia
|
MEDIA
INDONESIA, 15 Desember 2012
INDONESIA saat ini sedang mengalami krisis energi listrik.
Sedikitnya 30% rakyat Indonesia saat ini belum menikmati listrik. Buktinya
yaitu banyaknya pemadaman listrik di berbagai daerah. Untuk menutupi
kekurangan energi tersebut, pemerintah Indonesia sudah menyiapkan Peraturan
Presiden No 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang berisi
strategi untuk menjamin keamanan energi di Indonesia. Kebijakan itu
merumuskan Indonesia pada 2025 akan mengurangi konsumsi energi fosil dan
menggantinya dengan energi terbarukan, salah satunya penggunaan nuklir.
Bila melihat impian Indonesia untuk membangun pembangkit
listrik tenaga nuklir (PLTN), sejak enam tahun yang lalu pemerintah Rusia
siap membantu mendanai dan mewujudkannya. Tidak tanggung-tanggung, Rusia
menawari Indonesia proyek emas mereka: pembangkit listrik tenaga nuklir
terapung.
PLTN terapung ialah pembangkit listrik generasi terbaru
yang dibangun di atas galangan kapal sehingga dapat berpindah pindah lokasi.
Gagasan dasarnya yaitu sebagai pemasok energi listrik di lokasi-lokasi
tersulit di dunia yang kekurangan energi listrik. PLTN terapung itu terdiri
dari dua reaktor kecil yang akan menghasilkan 70 megawatt (Mw) listrik dan 300
Mw sumber tenaga panas sehingga cukup untuk menerangi lebih dari 35 ribu
rumah tangga.
Proyek dengan nama Akademik Lomonosov itu direncanakan
akan selesai pada akhir 2012 dan mulai bekerja pada 2013. Harga listrik yang
dihasilkan PLTN terapung itu bisa 2-3 kali lebih murah daripada PLTN darat.
Pelanggan hanya membayar biaya pembangunan gardu listrik dan fasilitas
keselamatan. Selain itu, pelanggan akan langsung mendapat listrik yang siap
digunakan.
Cara kerja PLTN terapung tersebut sangat sederhana: kapal
yang membawa dua reaktor sebesar 35 Mw per reaktor akan dibawa ke daerah yang
kekurangan energi dan akan langsung dihubungkan ke darat melalui kabel untuk
mendistribusikan listrik.
Bukan hanya digunakan sebagai penghasil listrik, PLTN
terapung itu dapat juga berfungsi sebagai pabrik air bersih dari air laut (water desalination plant).
Jika kapasitas pembangkit sepenuhnya digunakan untuk memproses air laut,
pembangkit itu akan mampu menghasilkan 240 ribu meter kubik air minum per
hari dan cukup untuk kota berpenduduk satu juta orang. Kemampuan desalinasi
air laut itu dinilai akan sangat menguntungkan negara-negara di Asia
Tenggara, Afrika, dan Australia yang saat ini mengalami kekurangan air
bersih.
Sebenarnya gagasan untuk membangun PLTN terapung bukan hal
baru lagi. Pada 1961, Amerika Serikat telah membangun PLTN terapung pertama
di dunia di atas kapal perang USS Sturgis. Namun pada 1976, karena alasan
keamanan dan akibat embargo minyak, proyek itu dihentikan dan PLTN tersebut
sekarang berada di Dermaga Jacksonville, Florida.
Karena masalah keselamatan lingkungan, proyek PLTN
terapung Rusia itu telah menimbulkan sejumlah protes dari kelompok-kelompok
penjaga lingkungan seperti Greenpeace dan Bellona, Norwegia. Salah satu
kritik yang diajukan ialah jika PLTN terapung itu menghasilkan limbah nuklir,
limbah tersebut akan dibuang ke laut dan menambah limbah bahaya radiasi yang
akan mencemari laut.
Menurut David Lochbaum, Direktur Nuclear Safety Project di the Union of Concerned Scientists,
sebuah ketakutan yang lebih besar ialah ketika terjadi badai besar dan
merusak kapal dan bila generator darurat gagal beroperasi, bencana Chernobyl
bisa kembali terulang. Dalam skenario terburuk, inti reaktor bisa menjadi
terlalu panas dan meleleh hingga bagian bawah tongkang akan jatuh ke dalam
air, menciptakan ledakan uap radioaktif. Awan uap tersebut bisa menimbulkan
kerusakan yang jauh lebih membahayakan daripada debu radioaktif yang terjadi
pada pembangkit listrik tenaga nuklir Chernobyl, Uni Soviet 1986.
Lochbaum menambahkan tubuh manusia dapat menyerap tetesan
air radioaktif lebih mudah daripada abu radioaktif. “Itu akan menjadi hari terburuk jika dibandingkan dengan yang terjadi
di Chernobyl,“ kata dia.
Sergey Obozov, pejabat Direktur Badan Tenaga Nuklir Federal
Rosenergoatom, mengatakan pembangkit terapung itu memiliki catatan keamanan
yang sudah terbukti. Jaminannya ialah 50 tahun pengalaman Rusia dalam
mengoperasikan armad armada kapal nuklir pemecah es dengan 7.000 reaktor per
tahun yang hanya dimiliki Rusia di dunia ini. Produsen PLTN terapung tersebut
percaya, meskipun sebuah pesawat menabrak kapal, reaktor tidak akan hancur.
Seperti kita ketahui, PLTN darat harus dirancang
berdasarkan kemungkinan dari pergerakan tanah yang parah akibat gempa bumi.
Banyak PLTN di tempatkan dekat dengan pesisir pantai untuk akses ke air laut
sebagai pendinginan bila terjadi kerusakan pada sistem pendingin reaktor.
Lokasi pesisir pantai cenderung menjadi daerah kerusakan tsunami maksimum
sehingga membutuhkan desain pelindung yang tinggi dan risiko kegagalan akibat
bencana. Buktinya, perlunya desain yang akurat terhadap bencana dapat kita
pelajari dari peristiwa Fukushima.
Sebuah PLTN terapung akan ditempatkan di dekat pantai,
tapi tidak di perairan dangkal, sehingga dapat menghindari masalah terburuk
gempa bumi dan tsunami. Dalam air yang cukup dalam, tsunami memiliki efek
minimal terhadap PLTN terapung dan gempa bumi mengirimkan tenaga yang lebih
sedikit untuk mereka. Hal itu menjadi salah satu kelebihan PLTN terapung tersebut.
Dalam hal kecelakaan, serangan teroris, atau bencana
lainnya, adalah penting untuk menjaga inti reaktor tetap dingin, biasanya
dengan menutupinya dengan air. Pada sebuah langkah darurat ketika inti
reaktor menjadi panas, para petugas dapat menurunkannya ke dalam laut. Dalam
kasus terburuk, jika kapal tenggelam baik disengaja ataupun tidak, inti
reaktor akan tetap aman karena air laut akan menutupinya dan membuatnya tetap
dingin serta terhindar dari pelepasan radiasi ke atmosfer.
Penting untuk diingat bahwa Rusia hanya akan menjual
produk dari PLTN terapung: tenaga listrik, panas, dan air tawar. Itu berarti
tidak ada alasan untuk kekhawatiran sehubungan dengan pengembangan teknologi
nuklir. Selain itu, Rusia akan ber tanggung jawab dengan limbah nuklir yang
akan dihasilkan. Hanya, hingga saat ini solusi untuk memproses limbah nuklir
yang sangat radioaktif belum ditemukan.
Dalam reaktor tradisional, bahan bakar berupa batang
uranium akan dikeluarkan dari reaktor dan disimpan dalam kolam khusus. Namun
dalam model PLTN terapung, yang dipromosikan Rusia, bahan bakar dibekukan dan
disimpan bersama dengan inti reaktor. Ratusan batang bahan bakar bekas
tersebut masih menjadi sampah di Arktik--warisan dari program kapal selam
Soviet.
Apakah Indonesia memerlukan PLTN terapung? Hingga kini itu
masih menjadi perdebatan. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di
dunia. Penyebaran penduduk yang tidak merata merupakan salah satu penyebab
sulitnya pengadaan listrik di Indonesia. Tentu saja dilihat dari kemampuan PLTN
terapung yang dapat berpindah-pindah, proyek itu dapat dijadikan sebagai
salah satu pertimbangan pengadaan listrik di Indonesia. Yang perlu dilakukan
hanya membangun situs co-network dan PLTN terapung akan mendatangi
tempat-tempat yang kekurangan listrik.
Hanya,
proyek PLTN terapung itu memakan biaya pengadaan yang cukup mahal, sedangkan
secara nyata belum terbukti kemampuan dan keamanannya.
Bila melihat krisis listrik yang terjadi saat ini dan kemungkinan terburuk yang menunggu di kemudian hari, pengembangan PLTN terapung di laut ataupun di darat menjadi sebuah opsi yang tidak terelakkan. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah untuk merekrut SDM yang berkualitas dan pemahaman serta kerja sama masyarakat Indonesia untuk pengadaan PLTN di Indonesia sangat diharapkan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar