RI-Malaysia
(tak) Setara
Ahmad Sahidah ; Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
|
REPUBLIKA,
15 Desember 2012
Judul di atas mengandaikan dua hal, kesetaraan dan ketidaksetaraan
dua serumpun. Penghinaan Zainuddin Maidin pada BJ Habibie jelas mengandaikan
Malaysia yang merasa lebih tinggi. Ginandjar Kartasasmita menegaskan bahwa
pandangan bekas menteri penerangan era Abdullah Badawi sebagai cermin
pandangan jiran pada kita. Sementara itu, setiap hari keduanya
bersinggungan dan bekerja sama dalam pelbagai bidang kehidupan. Mengapa kita
tidak mencoba menghadirkan perspektif lain agar kita sama-sama mempunyai
gambaran besar ke mana perahu dua negara berdaulat ini dikayuh?
Sebelum mengurai lebih jauh sengketa warisan, tentu kita perlu
menengok masa lalu. Kedua negara ini lahir dari imperialisme Eropa. Kalau
Anda membuka Negarakertagama, di sana kita akan menemukan sebuah narasi
tentang rentang daerah `kekuasaan' Majapahit yang meliputi Tanah Semenanjung
(Malaysia Barat hari ini). Riau dan Johor pernah membentuk satu kekuasaan
tunggal. Aceh dan Kedah pun pernah bahu-membahu melawan Raja Siam.
Hubungan emosional ini tidak hanya berhenti pada zaman
kesultanan.
Ketika Inggris menjajah Tanah Melayu, arus orang dari Sumatra, Jawa dan Sulawesi tak terhalang. Kaum migran ini mempunyai latar belakarang yang beraneka ragam, baik status sosial maupun motif. Hingga hari ini, kita sering kali membaca surat kabar yang menampilkan persatuan keluarga hingga generasi keempat.
Naik-Turun
Sebenarnya, konflik yang melibatkan kedua negara ini bukan hal
baru. Ali Haji, tokoh sastra, pernah mencatat bahwa orang-orang Bugis yang
merantau ke Tanah Semenanjung turut terlibat konflik dengan pemimpin `Melayu'.
Namun, perebutan kekuasaan yang dimenangkan oleh orang Bugis telah
mengantarkan mereka pada kursi kerajaan.
Tentu saja, sejarah kemerdekaan Malaysia tidak bisa dilepaskan
dari kisah heroik di sini dalam menentang penjajahan Belanda. Buku memoar
Ahmad Boestaman, 'Merdeka dengan Darah dan Api', menyeret pembaca pada
ingatan kebersamaan yang lain di antara dua negara ini. Tidak aneh,
apabila Ir Soekarno turut mendukung kemerdekaan Malaysia pada 1957. Malah,
untuk menghargai hari istimewa tersebut, Bung Karno melarang pemutaran lagu
`Terang Bulan', yang iramanya dijadikan pengiring lagu kebangsaan Malaysia,
`Negaraku'.
Namun, tidak disangka, Ayah Megawati ini juga mengobarkan perang
dengan slogannya yang terkenal "Ganyang Malaysia!" Terkait dengan
konfrontasi ini, banyak sarjana yang telah menulisnya, termasuk cerita
hubungan orang nomor satu Malaysia pada waktu itu, Tunku Abdurrahman dengan
Bung Karno yang berusaha untuk mengakhiri perang di Tokyo, Jepang.
Ternyata, di era baru, meskipun kedua negara ini terikat dengan
satu organisasi bersama, Association of
Southeast Asian Nations (ASEAN), persengketaan tak kunjung usai. Mimpi
besar untuk membentuk Komunitas ASEAN tahun 2015 akan menghadapi sandungan,
mengingat keduanya sering bertengkar. Malangnya, pemicu yang
menyebabknya keduanya berselisih adalah isu yang berulang-ulang, seperti
batas wilayah, klaim kebudayaan, dan buruh migran.
Sebagai dua negara bertetangga, sejatinya keduanya telah terikat
dengan begitu banyak institusi untuk melerai pertengkaran. Berhubung
berbatasan, kedua menteri pertahanan secara rutin bertemu setiap tahun.
Tumpang-tindih kepemilikan kebudayaan tidak terelakkan karena faktor migrasi
dan diaspora.
Sedangkan buruh migran merupakan fenomena kebergantungan keduanya untuk
memenuhi tuntutan ekonomi.
Gambar Besar
Sudut pandang ini perlu disimak untuk menengahi pertikaian dua
negara. Tanpa mengabaikan masalah yang sering muncul ke permukaan, seperti
klaim kebudayaan, batas wilayah, tenaga kerja, kita harus melibat gambar
besar terkait kesadaran sejarah masa lalu, hubungan genetik, dan ikatan
emosional lain. Dengan menyebut masalah itu gambar kecil tidak berarti kita
memandang kecil masalah human trafficking,
perdagangan obat terlarang, dan penyiksaan buruh migran.
Selagi kedua negara ini terikat komitmen untuk saling mendukung
kemajuan masing-masing, tentu penghalang yang acapkali mewarnai perjalanan
mewujudkan negara bermartabat dan maju harus diurai dengan akal sehat, bukan
adu otot. Demonstrasi Pemuda Pancasila baru-baru ini di depan Pusat
Kebudayaan Malaysia menambah ingatan buruk warga Malaysia terhadap Jakarta.
Pelemparan telur busuk dan kayu, belum lagi kekerasan terhadap
satuan pengaman, melengkapi perlakukan kekerasan demonstran terhadap kantor
perwakilan Malaysia di Jalan Kuningan. Padahal, hal serupa tak pernah terjadi
di Kuala Lumpur. Namun, keterbukaan media massa pascareformasi negeri jiran
telah memungkinkan kejadian di atas dilihat oleh warga serumpun. Tak ayal,
mereka pun menyoal perlakuan dari saudaranya sebagai tidak masuk akal dan
bodoh.
Seperti biasa, pejabat pemerintah dan diplomat kedua negara akan
merespons pertikaian yang sering berulang ini dengan pernyataan-pernyataan
normatif seraya menjaga agar hubungan keduanya tak memburuk. Namun, warga
Malaysia tak seperti dulu. Mereka pun menumpahkan kekesalannya dengan menulis
di media interaktif sebuah koran agar Malaysia bertindak tegas.
Seseorang yang menulis nama anonim di Sinar Harian (1/7/12) meminta
pemerintahnya untuk mengusir pekerja Indonesia yang mencari makan di Semenanjung.
Boleh jadi kegeraman serupa juga dialami oleh banyak warga Malaysia.
Apalagi, belakangan ini, mereka semakin tidak merasa nyaman
dengan orang asing karena dianggap merampas peluang mereka. Tautan
negara ini secara geografis, historis, dan genetis adalah pengikat, bukan
pemisah. Namun, meskipun hubungan ekonomi keduanya akan terus membesar
seiring kemajuan yang diraih, mereka tidak perlu kikuk untuk membuka borok
yang terjadi di antara keduanya.
Transparansi perlu untuk menyelesaikan masalah, bukan membuka
aib.
Kejahatan bisa dilakukan siapa saja. Bagaimanapun, apabila hanya memamerkan pertengkaran remeh-temeh, keduanya hanya membangun istana pasir yang mudah goyah. Sebagai negara-negara yang berdaulat tentu satu sama lain tidak perlu tunduk, namun berdiri sejajar. Dengan iktikad ini, hubungan keduanya tidak akan buyar. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar