Minggu, 16 Desember 2012

RI-Malaysia (tak) Setara


RI-Malaysia (tak) Setara
Ahmad Sahidah ;  Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia 
REPUBLIKA, 15 Desember 2012


Judul di atas mengandaikan dua hal, kesetaraan dan ketidaksetaraan dua serumpun. Penghinaan Zainuddin Maidin pada BJ Habibie jelas mengandaikan Malaysia yang merasa lebih tinggi. Ginandjar Kartasasmita menegaskan bahwa pandangan bekas menteri penerangan era Abdullah Badawi sebagai cermin pandangan jiran pada kita. Sementara itu, setiap hari keduanya bersinggungan dan bekerja sama dalam pelbagai bidang kehidupan. Mengapa kita tidak mencoba menghadirkan perspektif lain agar kita sama-sama mempunyai gambaran besar ke mana perahu dua negara berdaulat ini dikayuh?

Sebelum mengurai lebih jauh sengketa warisan, tentu kita perlu menengok masa lalu. Kedua negara ini lahir dari imperialisme Eropa. Kalau Anda membuka Negarakertagama, di sana kita akan menemukan sebuah narasi tentang rentang daerah `kekuasaan' Majapahit yang meliputi Tanah Semenanjung (Malaysia Barat hari ini). Riau dan Johor pernah membentuk satu kekuasaan tunggal. Aceh dan Kedah pun pernah bahu-membahu melawan Raja Siam. 

Hubungan emosional ini tidak hanya berhenti pada zaman kesultanan.
Ketika Inggris menjajah Tanah Melayu, arus orang dari Sumatra, Jawa dan Sulawesi tak terhalang. Kaum migran ini mempunyai latar belakarang yang beraneka ragam, baik status sosial maupun motif. Hingga hari ini, kita sering kali membaca surat kabar yang menampilkan persatuan keluarga hingga generasi keempat. 

Naik-Turun

Sebenarnya, konflik yang melibatkan kedua negara ini bukan hal baru. Ali Haji, tokoh sastra, pernah mencatat bahwa orang-orang Bugis yang merantau ke Tanah Semenanjung turut terlibat konflik dengan pemimpin `Melayu'. Namun, perebutan kekuasaan yang dimenangkan oleh orang Bugis telah mengantarkan mereka pada kursi kerajaan. 

Tentu saja, sejarah kemerdekaan Malaysia tidak bisa dilepaskan dari kisah heroik di sini dalam menentang penjajahan Belanda. Buku memoar Ahmad Boestaman, 'Merdeka dengan Darah dan Api', menyeret pembaca pada ingatan kebersamaan yang lain di antara dua negara ini. Tidak aneh, apabila Ir Soekarno turut mendukung kemerdekaan Malaysia pada 1957. Malah, untuk menghargai hari istimewa tersebut, Bung Karno melarang pemutaran lagu `Terang Bulan', yang iramanya dijadikan pengiring lagu kebangsaan Malaysia, `Negaraku'. 

Namun, tidak disangka, Ayah Megawati ini juga mengobarkan perang dengan slogannya yang terkenal "Ganyang Malaysia!" Terkait dengan konfrontasi ini, banyak sarjana yang telah menulisnya, termasuk cerita hubungan orang nomor satu Malaysia pada waktu itu, Tunku Abdurrahman dengan Bung Karno yang berusaha untuk mengakhiri perang di Tokyo, Jepang. 

Ternyata, di era baru, meskipun kedua negara ini terikat dengan satu organisasi bersama, Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), persengketaan tak kunjung usai. Mimpi besar untuk membentuk Komunitas ASEAN tahun 2015 akan menghadapi sandungan, mengingat keduanya sering bertengkar.  Malangnya, pemicu yang menyebabknya keduanya berselisih adalah isu yang berulang-ulang, seperti batas wilayah, klaim kebudayaan, dan buruh migran. 

Sebagai dua negara bertetangga, sejatinya keduanya telah terikat dengan begitu banyak institusi untuk melerai pertengkaran. Berhubung berbatasan, kedua menteri pertahanan secara rutin bertemu setiap tahun. Tumpang-tindih kepemilikan kebudayaan tidak terelakkan karena faktor migrasi dan diaspora.

Sedangkan buruh migran merupakan fenomena kebergantungan keduanya untuk memenuhi tuntutan ekonomi. 

Gambar Besar

Sudut pandang ini perlu disimak untuk menengahi pertikaian dua negara. Tanpa mengabaikan masalah yang sering muncul ke permukaan, seperti klaim kebudayaan, batas wilayah, tenaga kerja, kita harus melibat gambar besar terkait kesadaran sejarah masa lalu, hubungan genetik, dan ikatan emosional lain. Dengan menyebut masalah itu gambar kecil tidak berarti kita memandang kecil masalah human trafficking, perdagangan obat terlarang, dan penyiksaan buruh migran. 

Selagi kedua negara ini terikat komitmen untuk saling mendukung kemajuan masing-masing, tentu penghalang yang acapkali mewarnai perjalanan mewujudkan negara bermartabat dan maju harus diurai dengan akal sehat, bukan adu otot. Demonstrasi Pemuda Pancasila baru-baru ini di depan Pusat Kebudayaan Malaysia menambah ingatan buruk warga Malaysia terhadap Jakarta. 

Pelemparan telur busuk dan kayu, belum lagi kekerasan terhadap satuan pengaman, melengkapi perlakukan kekerasan demonstran terhadap kantor perwakilan Malaysia di Jalan Kuningan. Padahal, hal serupa tak pernah terjadi di Kuala Lumpur. Namun, keterbukaan media massa pascareformasi negeri jiran telah memungkinkan kejadian di atas dilihat oleh warga serumpun. Tak ayal, mereka pun menyoal perlakuan dari saudaranya sebagai tidak masuk akal dan bodoh. 

Seperti biasa, pejabat pemerintah dan diplomat kedua negara akan merespons pertikaian yang sering berulang ini dengan pernyataan-pernyataan normatif seraya menjaga agar hubungan keduanya tak memburuk. Namun, warga Malaysia tak seperti dulu. Mereka pun menumpahkan kekesalannya dengan menulis di media interaktif sebuah koran agar Malaysia bertindak tegas.

Seseorang yang menulis nama anonim di Sinar Harian (1/7/12) meminta pemerintahnya untuk mengusir pekerja Indonesia yang mencari makan di Semenanjung. Boleh jadi kegeraman serupa juga dialami oleh banyak warga Malaysia. 

Apalagi, belakangan ini, mereka semakin tidak merasa nyaman dengan orang asing karena dianggap merampas peluang mereka. Tautan negara ini secara geografis, historis, dan genetis adalah pengikat, bukan pemisah. Namun, meskipun hubungan ekonomi keduanya akan terus membesar seiring kemajuan yang diraih, mereka tidak perlu kikuk untuk membuka borok yang terjadi di antara keduanya. 

Transparansi perlu untuk menyelesaikan masalah, bukan membuka aib.
Kejahatan bisa dilakukan siapa saja. Bagaimanapun, apabila hanya memamerkan pertengkaran remeh-temeh, keduanya hanya membangun istana pasir yang mudah goyah. Sebagai negara-negara yang berdaulat tentu satu sama lain tidak perlu tunduk, namun berdiri sejajar. Dengan iktikad ini, hubungan keduanya tidak akan buyar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar