Kleptokrasi
Profesi Hakim
Siti Marwiyah ; Dekan Fakultas Hukum Universitas Dr Soetomo Surabaya
|
SUARA
KARYA, 21 Desember 2012
Sejarah
itu bisa mengajarkan seseorang mencapai kesuksesan. Dari sejarah, banyak
terkandung pola tutur kata, sikap, dan perilaku yang bisa digunakan seseorang
dalam menentukan pilihan dan membentuk mentalitasnya." (TS Illiot)
Sejarawan
Itu mengajarkan kita untuk tak mengabaikan sejarah. Dalam sejarah terdapat
rumusan norma-norma moral dan edukatif yang bisa membuat kita punya tempat
berpijak dalam menjalankan peran-peran besar dan strategis. Dalam sejarah,
seseorang diberi tempat dan waktu berguru, mau memilih jalan sesat dan
menghancurkan, ataukah jalan sehat dan membahagiakan.
Pejabat
negara pun demikian, sepanjang dirinya tidak menghilangkan momentum untuk
membaca sejarah, maka dirinya punya modal mencerahkan hidupnya dan orang
lain. Setidak-tidaknya ia akan mampu mengalinasikan (menyelamatkan) dirinya
dari kemungkinan terseret dalam jebakan atmosfer dan sistem anomalistik yang
menyesatkan dan menghancurkannya.
Sayangnya,
tidak banyak pejabat negara bersedia membaca sejarah dengan benar. Mereka
lebih mengedepankan egoisme dan arogansi individual dan strukturalnya demi
menjaga kesempatan emasnya untuk tetap bisa memperkaya diri atau melakukan
beragam malpraktik profesi. Mereka berambisi untuk mendisain dan melanjutkan
penyalahgunaan jabatannya. Mereka bermaksud menjaga kebenaran doktrin Lord
Acton yang menyebutkan bahwa kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut
juga korupsinya absolut (power tends to
corrupt, absolutly power tends to absolutly corrupt).
Paulus
Londo (2012) menyebut, korupsi senantiasa erat dengan kekuasaan. Sebab,
korupsi hanya bisa terjadi jika seseorang atau sekelompok orang memiliki
kekuasaan. Sebaliknya, korupsi bisa menjadi sarana efektif untuk memperoleh
kekuasaan.
Baik
Acton maupun Londo sama-sama mengasumsikan bahwa kekuasaan (jabatan)
potensial untuk disalahgunakan, antara lain berbentuk korupsi. Sedang korupsi
itu sendiri bermacam-macam sesuai dengan jabatan atau peran yang dimainkan
seseorang. Ketika yang dijabat adalah hakim, maka korupsinya pun berelasi
dengan perannya sebagai abdi yudisial.
Korupsi
dalam posisi sebagai abdi yudisial tidak sebatas korupsi langsung yang
berkaitan dengan uang negara yang dipercayakan pada institusinya, tetapi juga
korupsi tidak langsung seperti reduksi pasal melalui rekayasa interpretasi
(penafsiran), penghilangan alat bukti, menerima suap atau gratifikasi, atau
memainkan pola simbiosis mutualisme dengan pihak lain yang merasa
berkepentingan dengan kasus yang ditanganinya.
Pola
simbiosis mutualisme itulah yang tidak sedikit ditemukan di berbagai sektor
strategis, termasuk dalam lingkungan peradilan. Sudah banyak aparat penegak
hokum, dalam hal ini hakim yang terpaksa harus menerima posisi pesakitan guna
diadili akibat tergelincir melakukan penyalahagunaan jabatan (malpraktik
profesi) atau korupsi karena kedudukannya.
Sayangnya,
hakim yang punya jiwa ksatria di Republik ini ibarat sebiji gabah di gunung
jerami. Amat langka para hakim yang bersedia lengser (turun tahta) meski
gagal menjaga amanat, tergelincir menodai sumpah jabatan, atau sering
mempermainkan aspirasi rakyat. Salah satu aspirasi rakyat yang sering
dipermainkan adalah hak atas keadilan (right
for justice). Hak atas keadilan menjadi barang mahal dan sulit dinikmati
oleh pemiliknya akibat hadirnya sejumlah oknum hakim yang sebatas
menjadikannya sebagai objek komoditas. Salah satu contoh krisis integritas
moral abdi peradilan tersebut adalah kasus Hakim Agung Achmad Yamanie yang
dipecat tidak dengan hormat oleh MA, baru-baru ini.
Kita
barangkali tidak lupa dengan PK kasus Hanky, yang banyak mendapatkan sorotan
akibat telah mencabik-cabik keadilan umum (public justice). Hanky yang jelas-jelas penjahat narkoba kelas
kakap mendapatkan 'kado termanis' dari MA. Hanky yang ditangkap pada 23 Mei
2006 dengan dakwaan memproduksi dan mendistribusikan ekstasi dalam jumlah
besar, oleh Pengadilan Negeri Surabaya, divonis 15 tahun penjara, di tingkat
banding menjadi 18 tahun, dan di MA divonis maksimal pidana mati.
Sayangnya,
pada tahun 2011, vonis hukuman mati direduksi di majelis PK. Pidana mati
digugurkan dan digantikan dengan hukuman penjara menjadi hanya 15 tahun
penjara. Anehnya, pergatian jenis hukuman ini baru diumumkan 2012. Yamanie
memang punya andil atas putusan penafian hukuman mati ini. Dalam sidang PK
yang diketuai hakim Imron Anwari, Yamanie menjadi hakim anggota bersama Nyak
Phaitu.
Kasus
Yamanie seharusnya menjadi kritik radikal pada institusi MA, bahwa di dalam
lembaga yang didaulat oleh negara sebagai benteng terakhir bagi para pencari
keadilan dalam memperjuangkan hak-haknya ini, masih bersemai penyakit yang
harus menjadi perhatian serius. Penyakit ini berpola korupsi yuridis maupun
korupsi jabatan, yang mengakibatkan penegakan hukum dan keadilan terluka
parah.
Kepentingan
citra korp kehakiman atau kolega hakim yang bermental jujur, bermoral, dan
suka mengabdi pada hukum sebagai ars boni
et aequi atau seni yang baik dan patut, tidak selalu mendapatkan dukungan
dari para hakim yang bermental kleptokrat dan suka mempermainkan hukum. Hakim
yang bermental kleptokrat ini boleh jadi dengan gampang mampu mementahkan
idealisme hakim yang jujur dan independen, lebih-lebih kalau hakim kleptokrat
ini bersindikasi secara terorganisir (berjamaah), maka jamaah kleptokrasi ini
tak ubahnya jejaring pengaman yang hebat dalam pengamanan kriminalisasi
profesinya.
Dalam lingkaran itu,
hakim yang berintegritas atau berusaha teguh di lini penegakan hukum dan
keadilan, dihadapkan pada kesulitan mempunyai kawan yang seiring dan
seakselereasi dalam idealisme yang sama: demi keadilan berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa, sehingga kalau tidak menjaga konsistensi, berarti ikut larut
dalam kleptokrasi profesi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar