Sabtu, 22 Desember 2012

Kleptokrasi Profesi Hakim


Kleptokrasi Profesi Hakim
Siti Marwiyah ;   Dekan Fakultas Hukum Universitas Dr Soetomo Surabaya
SUARA KARYA, 21 Desember 2012


Sejarah itu bisa mengajarkan seseorang mencapai kesuksesan. Dari sejarah, banyak terkandung pola tutur kata, sikap, dan perilaku yang bisa digunakan seseorang dalam menentukan pilihan dan membentuk mentalitasnya." (TS Illiot)
Sejarawan Itu mengajarkan kita untuk tak mengabaikan sejarah. Dalam sejarah terdapat rumusan norma-norma moral dan edukatif yang bisa membuat kita punya tempat berpijak dalam menjalankan peran-peran besar dan strategis. Dalam sejarah, seseorang diberi tempat dan waktu berguru, mau memilih jalan sesat dan menghancurkan, ataukah jalan sehat dan membahagiakan.
Pejabat negara pun demikian, sepanjang dirinya tidak menghilangkan momentum untuk membaca sejarah, maka dirinya punya modal mencerahkan hidupnya dan orang lain. Setidak-tidaknya ia akan mampu mengalinasikan (menyelamatkan) dirinya dari kemungkinan terseret dalam jebakan atmosfer dan sistem anomalistik yang menyesatkan dan menghancurkannya.
Sayangnya, tidak banyak pejabat negara bersedia membaca sejarah dengan benar. Mereka lebih mengedepankan egoisme dan arogansi individual dan strukturalnya demi menjaga kesempatan emasnya untuk tetap bisa memperkaya diri atau melakukan beragam malpraktik profesi. Mereka berambisi untuk mendisain dan melanjutkan penyalahgunaan jabatannya. Mereka bermaksud menjaga kebenaran doktrin Lord Acton yang menyebutkan bahwa kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut juga korupsinya absolut (power tends to corrupt, absolutly power tends to absolutly corrupt).
Paulus Londo (2012) menyebut, korupsi senantiasa erat dengan kekuasaan. Sebab, korupsi hanya bisa terjadi jika seseorang atau sekelompok orang memiliki kekuasaan. Sebaliknya, korupsi bisa menjadi sarana efektif untuk memperoleh kekuasaan.
Baik Acton maupun Londo sama-sama mengasumsikan bahwa kekuasaan (jabatan) potensial untuk disalahgunakan, antara lain berbentuk korupsi. Sedang korupsi itu sendiri bermacam-macam sesuai dengan jabatan atau peran yang dimainkan seseorang. Ketika yang dijabat adalah hakim, maka korupsinya pun berelasi dengan perannya sebagai abdi yudisial.
Korupsi dalam posisi sebagai abdi yudisial tidak sebatas korupsi langsung yang berkaitan dengan uang negara yang dipercayakan pada institusinya, tetapi juga korupsi tidak langsung seperti reduksi pasal melalui rekayasa interpretasi (penafsiran), penghilangan alat bukti, menerima suap atau gratifikasi, atau memainkan pola simbiosis mutualisme dengan pihak lain yang merasa berkepentingan dengan kasus yang ditanganinya.
Pola simbiosis mutualisme itulah yang tidak sedikit ditemukan di berbagai sektor strategis, termasuk dalam lingkungan peradilan. Sudah banyak aparat penegak hokum, dalam hal ini hakim yang terpaksa harus menerima posisi pesakitan guna diadili akibat tergelincir melakukan penyalahagunaan jabatan (malpraktik profesi) atau korupsi karena kedudukannya.
Sayangnya, hakim yang punya jiwa ksatria di Republik ini ibarat sebiji gabah di gunung jerami. Amat langka para hakim yang bersedia lengser (turun tahta) meski gagal menjaga amanat, tergelincir menodai sumpah jabatan, atau sering mempermainkan aspirasi rakyat. Salah satu aspirasi rakyat yang sering dipermainkan adalah hak atas keadilan (right for justice). Hak atas keadilan menjadi barang mahal dan sulit dinikmati oleh pemiliknya akibat hadirnya sejumlah oknum hakim yang sebatas menjadikannya sebagai objek komoditas. Salah satu contoh krisis integritas moral abdi peradilan tersebut adalah kasus Hakim Agung Achmad Yamanie yang dipecat tidak dengan hormat oleh MA, baru-baru ini.
Kita barangkali tidak lupa dengan PK kasus Hanky, yang banyak mendapatkan sorotan akibat telah mencabik-cabik keadilan umum (public justice). Hanky yang jelas-jelas penjahat narkoba kelas kakap mendapatkan 'kado termanis' dari MA. Hanky yang ditangkap pada 23 Mei 2006 dengan dakwaan memproduksi dan mendistribusikan ekstasi dalam jumlah besar, oleh Pengadilan Negeri Surabaya, divonis 15 tahun penjara, di tingkat banding menjadi 18 tahun, dan di MA divonis maksimal pidana mati.
Sayangnya, pada tahun 2011, vonis hukuman mati direduksi di majelis PK. Pidana mati digugurkan dan digantikan dengan hukuman penjara menjadi hanya 15 tahun penjara. Anehnya, pergatian jenis hukuman ini baru diumumkan 2012. Yamanie memang punya andil atas putusan penafian hukuman mati ini. Dalam sidang PK yang diketuai hakim Imron Anwari, Yamanie menjadi hakim anggota bersama Nyak Phaitu.
Kasus Yamanie seharusnya menjadi kritik radikal pada institusi MA, bahwa di dalam lembaga yang didaulat oleh negara sebagai benteng terakhir bagi para pencari keadilan dalam memperjuangkan hak-haknya ini, masih bersemai penyakit yang harus menjadi perhatian serius. Penyakit ini berpola korupsi yuridis maupun korupsi jabatan, yang mengakibatkan penegakan hukum dan keadilan terluka parah.
Kepentingan citra korp kehakiman atau kolega hakim yang bermental jujur, bermoral, dan suka mengabdi pada hukum sebagai ars boni et aequi atau seni yang baik dan patut, tidak selalu mendapatkan dukungan dari para hakim yang bermental kleptokrat dan suka mempermainkan hukum. Hakim yang bermental kleptokrat ini boleh jadi dengan gampang mampu mementahkan idealisme hakim yang jujur dan independen, lebih-lebih kalau hakim kleptokrat ini bersindikasi secara terorganisir (berjamaah), maka jamaah kleptokrasi ini tak ubahnya jejaring pengaman yang hebat dalam pengamanan kriminalisasi profesinya.
Dalam lingkaran itu, hakim yang berintegritas atau berusaha teguh di lini penegakan hukum dan keadilan, dihadapkan pada kesulitan mempunyai kawan yang seiring dan seakselereasi dalam idealisme yang sama: demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga kalau tidak menjaga konsistensi, berarti ikut larut dalam kleptokrasi profesi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar