Sabtu, 22 Desember 2012

Demokrasi Minus Toleransi


Demokrasi Minus Toleransi
Jeffrie Geovanie ;   Pendiri The Indonesian Institute
KORAN TEMPO, 21 Desember 2012


Banyak kalangan menilai, Indonesia saat ini merupakan negara paling demokratis di dunia. Bahkan Amerika, yang kita kenal sebagai gurunya demokrasi, dalam batas-batas tertentu sudah kalah oleh Indonesia. Dalam memilih calon presiden, misalnya, cara yang digunakan di Indonesia lebih demokratis dibanding cara Amerika.
Indikator lain yang menunjukkan Indonesia lebih demokratis adalah dalam hal kebebasan pers dan kebebasan menyatakan pendapat. Di luar adanya kasus-kasus ancaman terhadap wartawan, pers memiliki kebebasan yang maksimal. Begitu pun cara rakyat mengemukakan pendapat. Saking bebasnya pers, siapa pun bisa menjadi bulan-bulanan pers kita, termasuk presiden. 
Karena demokrasi diyakini sebagai sumber kekuatan rakyat, atas nama rakyat, siapa pun bisa mengkritik atau bahkan mengecam pihak-pihak yang tak disukainya, terutama mereka yang dianggap memiliki kekuasaan. Maka, tak perlu heran, di negeri ini bahkan presiden pun bisa dikecam dan di-bully kapan saja, terutama di jaringan media sosial.
Di negeri ini, intoleransi benar-benar berkembang dengan mengatasnamakan demokrasi. Yang paling sering kita dapatkan, intoleransi itu diekspresikan oleh "para pemilik suara mayoritas" untuk mengecam atau bahkan menistakan "suara minoritas". Sepanjang tahun 2012, atas nama demokrasi, intoleransi umat beragama berkembang. Banyak kita saksikan para penganut agama dan mazhab mayoritas mengucilkan dan mengusir yang minoritas. Di daerah-daerah tertentu, pengikut mazhab minoritas bahkan bisa dibunuh dan dibakar tanpa ada pembelaan, bahkan dari negara sekalipun.
Demokrasi minus toleransi, jika dibiarkan berkembang, secara perlahan namun pasti akan membunuh demokrasi itu sendiri. Sebab, pada saat otoritas pemerintah tak lagi dihiraukan, dan hak-hak orang lain diabaikan, pada saat itulah demokrasi akan mati. Itulah sebabnya, toleransi, menurut Robert Putnam, menjadi modal sosial yang teramat penting bagi demokrasi. 
Di Eropa dan Amerika, toleransi sudah menjadi fondasi bagi bangunan negara, yang ditemukan dan dipelihara sejak awal sebagai instrumen nilai untuk menata keadaban publik dan demokrasi. Sejak abad ke-17, prinsip dasar toleransi sudah ditekankan John Locke dalam A Letter Concerning Toleration (1689). Dari kota pengungsian di Amsterdam, Locke menulis surat terbuka tentang pentingnya toleransi untuk negerinya tercinta, Inggris, yang saat itu sedang diselimuti suasana intoleransi dan tahun-tahun konflik berdarah. 
Para dissenters--sebutan untuk mereka yang berbeda pendapat dan menolak pemaksaan doktrin Gereja Anglikan yang didukung pemerintah--menjadi korban penyiksaan secara politik dan keagamaan. Peristiwa itu mendorong Locke untuk mengingatkan bahwa tugas pemerintah sipil bukanlah mendukung Gereja Anglikan, melainkan menjaga prinsip netralitas dalam masalah keyakinan agama dan iman. Setiap usaha intervensi iman oleh kekuatan eksternal, baik pemerintah sipil maupun institusi keagamaan, mengandung kekeliruan pada dirinya sendiri. Sebab, iman yang benar, kata Locke, bukan ditentukan oleh kekuatan eksternal, melainkan oleh hati nurani individu. Bahkan kekuatan mayoritas yang mengatasnamakan demokrasi pun tak boleh menindas yang minoritas.
Argumen itulah yang diadopsi Bapak Konstitusi Amerika, James Madison, untuk merumuskan konstitusinya. Sadar akan posisi agama dan iman sebagai anugerah Tuhan, bukan manusia, maka Madison mendesain toleransi dan kebebasan beragama sebagai spirit utama Konstitusi Amerika. Kebebasan beragama ditafsirkan sebagai kebebasan dari agama apa pun. Karena itu, ateis pun dijamin Konstitusi. Juga, sekte dan aliran agama apa pun, dan ada berapa pun pengikutnya, dibiarkan hidup dan berkembang. 
Indonesia, seperti halnya Amerika, sebenarnya didesain Bapak Pendiri Bangsa di atas fondasi serupa. "Bhinneka Tunggal Ika" (Berbeda-beda tetapi tetap satu juga) melambangkan moto yang serupa dengan Amerika, "E Pluribus Unum", "Satu dari Banyak". Setiap warga diikat oleh kesatuan komitmen dan tekad suci akan pluralitas. Hidup di bangsa pluralis di dunia, seperti Amerika dan Indonesia, mensyaratkan toleransi yang tinggi. Ini adalah anak tangga ke arah terwujudnya high-trust society. Amerika mencerminkan warganya yang punya tingkat kepercayaan tinggi satu kepada lainnya karena toleransi yang tinggi. 
Indonesia justru sebaliknya, low-trust society, ditandai oleh rendahnya tingkat kepercayaan satu warga kepada warga lainnya. Kehidupan kita, hampir di semua lini, ditandai rasa curiga dan sarat rumor, dengan kadar toleransi yang rendah pula. Padahal toleransi yang rendah, dengan sendirinya, mudah retak dan membawa kita ke jurang perpecahan. 
Demokrasi tak bisa ditegakkan tanpa fondasi toleransi yang kokoh! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar