Kamis, 20 Desember 2012

Kaya Hayati Minus Terobosan


Laporan Akhir Tahun tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam
Kaya Hayati Minus Terobosan
KOMPAS, 20 Desember 2012



Ekonomi tumbuh, kelas menengah bermunculan, dan daya beli masyarakat menguat. Itu kabar baik. Namun, bagaimana figur pengelolaan sumber daya alam dikaitkan praktik pembangunan berkelanjutan? Apa kaitan ekonomi saat ini dengan masa depan sumber daya alam?
Tak bisa dimungkiri, industri berbasis pengelolaan sumber daya alam (SDA) masih andalan penerimaan negara. Untuk memenuhi target penerimaan pajak tahun 2012 sebesar Rp 1.032 triliun, pemerintah mengintensifkan pemungutan pajak dari bisnis SDA, terutama minyak dan gas, kelapa sawit, serta mineral dan batubara.
Atas kebijakan itu, SDA jelas-jelas komoditas berharga untuk pembangunan ekonomi Indonesia. Dieksploitasi beratus tahun, kekayaan alam negeri ini bagai tak pernah habis.
Dari daftar 10 orang terkaya Indonesia tahun 2012 dengan kekayaan triliunan rupiah per orang, separuh lebih berbisnis pengelolaan SDA, yakni batubara, kelapa sawit, dan pabrik kertas. Itu di luar pabrik rokok. Dari sana pula bagian kelompok kelas menengah baru muncul.
Harus diakui, industri ekstraktif turut menggerakkan roda ekonomi dan pertumbuhan ekonomi negara. Namun, harus diakui pula bahwa praktik rakus lahan hutan alam dan korupsi merugikan negara. Sayangnya, valuasi ekonomi atas kerusakan yang ditimbulkan tak pernah menjadi bagian penting pengambilan kebijakan investasi di daerah.
Konflik Lahan
Praktik kotor industri ekstraktif masih saja terjadi. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Juni 2012, menyebutkan, dari 8.000 izin usaha pertambangan (IUP), 6.000 di antaranya bermasalah. Kepala daerah, misalnya, mengeluarkan IUP di kawasan di luar kewenangannya.
Ujung-ujungnya, kerusakan lingkungan parah merajalela. Selain itu, muncul konflik horizontal, antara pendukung kebijakan pemerintah daerah atau perusahaan dan warga yang terancam mata pencariannya. Dari sini saja, amanat UUD 1945 bahwa kekayaan alam digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dikhianati.
Konflik horizontal karena pengelolaan SDA alam terjadi dari Sabang sampai Merauke. Ratusan orang meninggal karena konflik yang tak bisa diatasi polisi dan pemerintah. Di Jakarta, warga Pulau Padang, Riau, yang memprotes kehadiran investor, menjahit mulutnya berhari-hari. Di daerah lain, massa menduduki gedung DPRD menuntut penyelesaian sengketa lahan.
Menilik ribuan izin dan rencana alih fungsi lahan yang belum terealisasi, potensi konflik berujung maut dipastikan masih akan terjadi. Kerusuhan panjang, di mana pun memengaruhi keberlanjutan investasi yang berujung terganggunya roda ekonomi.
Kekayaan Hayati
Apa yang terjadi dan diangkat besar-besar oleh media, seperti konflik, korupsi, dan pencemaran lingkungan, bukanlah wajah lengkap pengelolaan SDA. Masih ada persoalan lain yang mendasar dan memiliki dampak menentukan bagi masa depan, yakni soal kekayaan hayati Indonesia.
Investasi rakus lahan yang diikuti pembukaan hutan alam dan lahan gambut dipastikan mematikan potensi penggunaan kekayaan hayati yang berkelanjutan.
Data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2011, keanekaragaman spesies di Indonesia meliputi 707 spesies mamalia, 1.602 burung, 1.112 amfibi dan reptil, 2.800 invertebrata (tak bertulang belakang), 1.400 ikan, 35 primata, serta 120 kupu-kupu.
Bila memasukkan keragaman hayati laut, Indonesia merupakan negara terkaya keragaman hayatinya di dunia.
Sejauh ini, semua fakta itu ironis. Kekayaan hayati melimpah di hutan alam kalah oleh industri ekstraktif. Kekayaan hayati laut pun belum tergarap.
LIPI yakin, potensi pemanfaatan mikroorganisme di hutan-hutan, yang di antaranya bermanfaat obat, farmasi, dan komestika, masih teramat banyak yang belum disentuh.
Hingga kini, belum ada kemauan politik memanfaatkan kekayaan hayati dengan kemajuan teknologi. Yang terjadi, anggaran penelitian terus dipotong.
Dalam negosiasi internasional, tanda tangan atas Protokol Nagoya tahun 2011, belum diikuti pengesahan RUU Pengelolaan Sumber Daya Genetik (PSDG). Protokol itu akan melindungi sumber daya genetik Indonesia dari upaya asing yang merugikan bangsa dan masyarakat tradisionalnya.
Keberadaan UU PSDG sebagai syarat ratifikasi jadi penting. Di antaranya berisi data jenis sumber daya genetik di Indonesia. Data kuat dan jelas bisa digunakan pemerintah untuk menuntut lembaga yang mengambil keuntungan pemanfaatan SDG tanpa izin. Persoalannya, data itu sejak 4 tahun lalu belum ada.
Tanpa langkah terobosan nyata pemerintah, kekayaan hayati Indonesia akan punah, sebelum teknologi dan otak para ahli melipatgandakan keunggulan komparatif itu. (GESIT ARIYANTO/ICHWAN SUSANTO)








Tidak ada komentar:

Posting Komentar