Laporan Akhir
Tahun Pendidikan
Kesenjangan
yang Masih Mencemaskan
|
KOMPAS,
20 Desember 2012
Keluhan para orangtua
siswa di sejumlah daerah nyaris sama. Mereka umumnya mengeluh karena jumlah
mata pelajaran yang harus ditempuh anaknya, sangat banyak. Bayangkan saja, SD
minimal 10 mata pelajaran, SMP 12 mata pelajaran, dan SMA 17 mata pelajaran.
Banyaknya
mata pelajaran yang harus ditempuh siswa bukan hanya menyebabkan siswa tidak
fokus. Namun, siswa setiap hari juga harus membawa buku pelajaran yang
membebani tas dan pundaknya. Tak cuma buku pelajaran, siswa juga harus
membawa lembar kerja siswa yang juga cukup banyak.
Persoalan
inilah yang antara lain dipecahkan melalui penyusunan Kurikulum 2013. Jumlah
mata pelajaran di semua jenjang pendidikan dipadatkan. Di SD dipadatkan dari
10 mata pelajaran menjadi 6 mata pelajaran, di SMP dari 12 menjadi 10 mata
pelajaran.
Namun,
penyusunan Kurikulum 2013 ini tak berjalan mulus. Banyak pihak mempertanyakan
penggabungan mata pelajaran IPA ke dalam Bahasa Indonesia di SD. Selain
menghilangkan substansi pelajaran IPA, dikhawatirkan materi pelajaran Bahasa
Indonesia menyangkut kesusastraan, ejaan yang disempurnakan, dan materi
lainnya akan hilang.
Di
sisi lain, menumbuhkan kecintaan terhadap sains yang mestinya dilakukan sejak
dini melalui pelajaran IPA menjadi diabaikan. ”Padahal, kemampuan bernalar
siswa Indonesia tergolong rendah di Asia. Mestinya pelajaran sains dikenalkan
sejak dini,” kata Nuryani Y Rustaman, Ketua Himpunan Sarjana Pendidikan IPA
Indonesia.
Dari
hasil Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) yang
dipublikasikan awal Desember lalu, untuk bidang Sains, Indonesia berada di
urutan ke-40 dengan skor 406 dari 42 negara yang siswanya dites di kelas
VIII. Skors tes sains siswa Indonesia ini turun 21 angka dibandingkan TIMSS
2007.
Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menekankan, arah Kurikulum 2013
terutama untuk membentuk siswa yang memiliki kepribadian, kreatif dan
terampil serta berpengetahuan.
”Dengan kurikulum 2013,
guru harus memiliki kreativitas untuk bisa mendorong potensi siswa,”
kata Nuh.
Namun,
di sinilah masalah itu timbul. Guru-guru yang kreatif, mestinya memiliki
latar belakang pendidikan yang memadai. Kenyataannya, dari sekitar 2,9 juta
guru, sebagian besar belum memadai pendidikannya. Di sekolah dasar, misalnya,
dari sekitar 1,48 juta guru SD, hanya sekitar 22,6 persen yang sudah
perpendidikan S-1. Di SMP, baru sekitar 27 persen yang sudah S-1 dan baru
sekitar 81 persen guru SMA yang bergelar sarjana.
Sebagian
besar guru yang
Disparitas
juga terjadi dalam status guru. Dari sekitar 2,9 juta guru di berbagai
jenjang pendidikan, sekitar 1,7 juta berstatus pegawai negeri sipil, sedangkan
1,2 juta guru lainnya berstatus non-PNS mulai dari guru bantu, guru honorer
daerah, hingga guru tidak tetap.
Guru-guru
PNS yang sudah bersertifikasi sehingga kesejahteraannya lebih baik pun
sebagian besar berada di perkotaan. ”Jumlah
guru sebenarnya sudah memadai, tetapi penyebarannya tidak merata,” kata
Syawal Gultom, Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan
Penjaminan Mutu Pendidikan Kemendikbud.
Kesenjangan
lain yang masih dirasakan masyarakat adalah kehadiran Rintisan Sekolah
Bertaraf Internasional (RSBI). Keberadaan sekolah ini dirasakan
menyekat-nyekat status sosial masyarakat. Hanya siswa dari keluarga kaya yang
bisa masuk sekolah ini karena biaya masuknya bisa di atas Rp 20 juta. Itulah
sebabnya keberadaan RSBI hingga kini dalam proses gugatan hukum ke MK untuk
menggugat dasar hukumnya.
Di
perguruan tinggi negeri, kesenjangan calon mahasiswa mulai dibenahi. Semula
jalur mandiri yang dibuka oleh sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN),
betul-betul menjadi ajang ”mengeruk” uang dari orang tua calon mahasiswa.
Biaya masuk PTN bisa di atas Rp 400 juta untuk sejumlah program studi. Kini
pola seleksi calon mahasiswa lewat jalur mandiri dibenahi.
PTN
pun diwajibkan menjaring mahasiswa miskin minimal 20 persen dari kapasitas
kursi yang tersedia. Tak sekadar menyediakan kursi, tetapi beasiswa uang
kuliah dan biaya hidup dalam bentuk beasiswa Bidik Misi Rp 600.000 per bulan
juga diberikan pada mahasiswa.
Jumlah
penerima beasiswa Bidik Misi pun terus meningkat dari 20.000 mahasiswa pada
tahun 2010 menjadi 30.000 mahasiswa tahun 2011, naik lagi menjadi 40.000 dan
ditargetkan bisa menjadi 150.000 mahasiswa pada 2013.
Jika
kesenjangan di PTN bisa dibenahi, mestinya di sektor lain bisa dilakukan.
Jika dibiarkan, kesenjangan ini sangat mencemaskan....
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar