Laporan Akhir
Tahun tentang Jaminan Kesehatan
Menyiapkan
Jaminan Kesehatan
|
KOMPAS,
20 Desember 2012
Menjelang akhir abad ke-19
pada masa revolusi industri, sebagian besar penduduk Jerman dilanda
kemiskinan. Sistem tradisional seperti bantuan keluarga, lembaga karitas,
ataupun pemerintah tidak mampu lagi menjamin pemeliharaan dan pelayanan
kesehatan masyarakat.
Hal
itu mendorong Kanselir Otto von Bismarck mencanangkan asuransi kesehatan
wajib bagi kaum buruh tahun 1883.
Bagi
Bismarck, solidaritas merupakan landasan etis untuk menyatukan masyarakat
dengan posisi ekonomi berbeda-beda untuk mencapai keselarasan, kesejahteraan
sosial ekonomi, dan mengurangi friksi sosial. Langkah itu membuat warga
Jerman kini menikmati jaminan pelayanan kesehatan komprehensif berstandar tinggi.
Mereka juga memiliki jaminan finansial di kala kehilangan pekerjaan ataupun
pada masa tua. Hal serupa berlangsung di banyak negara maju. Negara
berkembang, seperti Thailand dan Filipina, mengembangkan asuransi kesehatan
sosial lebih dari 10 tahun lalu.
Bagi
penduduk Indonesia, hak atas kesehatan ditegaskan dalam amandemen
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H Ayat 1: ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan”. Terkait jaminan sosial, Pasal 34 Ayat 2
menyatakan: ”Negara mengembangkan
jaminan sosial nasional bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat
lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.
Namun,
bisa dibilang Indonesia ketinggalan dari negara-negara tetangga. Sampai saat
ini, belum semua penduduk Indonesia bisa menikmati pelayanan kesehatan. Bagi
penduduk di pedalaman, kondisi geografis mengakibatkan ketersediaan fasilitas
dan tenaga kesehatan kurang memadai. Di perkotaan yang berlimpah fasilitas
dan tenaga kesehatan, masalah finansial menghambat orang miskin dalam
mengakses pelayanan kesehatan.
Jaminan
kesehatan masyarakat (Jamkesmas) ataupun Jaminan kesehatan daerah (Jamkesda)
yang diluncurkan pemerintah belum mencakup semua orang yang membutuhkan.
Penyakit berat membuat orang berkecukupan jadi jatuh miskin.
Sebenarnya
Indonesia telah memiliki UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sejak tahun
2004. Salah satu amanat UU itu adalah tersedianya asuransi kesehatan sosial
yang menjamin pelayanan kesehatan bagi semua warga negara. Namun, baru pada
2011 UU tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai salah satu
aturan pelaksana diterbitkan. Jaminan sosial yang pertama, yakni bidang kesehatan,
baru akan dilaksanakan per 1 Januari 2014.
Selain
harus menunggu 10 tahun sejak UU SJSN diterbitkan, asuransi kesehatan sosial
di Indonesia harus menghadapi tentangan dari mereka yang berseberangan paham
ataupun yang belum paham manfaat dan konsepnya.
Pada
umumnya, asuransi kesehatan sosial dijalankan oleh lembaga nirlaba yang
bersifat independen. Adapun pelayanan kesehatan bisa diselenggarakan
pemerintah, organisasi nirlaba, dan pihak swasta. Dalam asuransi yang
berbasis gotong royong dan subsidi silang ini, setiap warga wajib membayar
iuran dalam persentase tertentu dari gaji yang dibayar bersama dengan pemberi
kerja. Iuran penduduk tidak mampu dibayar oleh pemerintah. Sebagai imbalan,
warga bisa mengakses pelayanan kesehatan yang dibutuhkan tanpa mengkhawatirkan
biaya perawatan.
Hambatan
lain, belum meratanya fasilitas pelayanan kesehatan ataupun tenaga kesehatan
di seluruh Indonesia. Konsil Kedokteran Indonesia mencatat, sampai saat ini
baru ada 88.309 dokter umum dan 22.212 dokter spesialis. Artinya, satu dokter
umum melayani sekitar 2.700 pasien dan satu dokter spesialis melayani sekitar
10.800 pasien. Mereka terkonsentrasi di sejumlah kota besar sehingga
perbandingan dokter-pasien makin besar di wilayah pedalaman. Hal serupa
terjadi pada fasilitas kesehatan. Ketimpangan fasilitas dan tenaga kesehatan
menimbulkan
Pemerintah
memang berupaya mengatasi kendala dengan membangun fasilitas kesehatan,
mendorong swasta membangun rumah sakit di daerah, memberikan beasiswa bagi
dokter dan dokter spesialis yang bersedia bekerja di daerah, menyebar bidan
ke desa-desa. Namun, masih banyak kisah kematian warga akibat kesulitan
mengakses pelayanan kesehatan.
Hal
yang penting, aturan operasional penyelenggaraan jaminan kesehatan berupa
sejumlah peraturan pemerintah dan peraturan presiden belum siap. Negosiasi
pemerintah dengan para pihak belum
Alokasi
pemerintah untuk bantuan iuran bagi penduduk tidak mampu sebesar Rp 22.000
per orang per bulan oleh banyak pihak dinilai belum mencukupi nilai
keekonomian pelayanan kesehatan. Hal itu dikhawatirkan bisa menurunkan mutu
layanan medis karena tidak cukup untuk membiayai tenaga medis, obat-obatan,
Agar
penyelenggaraan jaminan kesehatan berjalan baik, tenaga kesehatan mulai dari
dokter, dokter gigi, perawat, bidan, hingga tenaga administrasi, harus
dibayar memadai. Karena itu, reformasi sistem pembayaran pelayanan kesehatan
dinilai mendesak dilakukan.
Pekerjaan
rumah lain yang harus diselesaikan adalah menetapkan batas penghasilan
penerima bantuan iuran, menyelesaikan data penerima bantuan iuran, besaran
iuran bagi peserta yang bukan pekerja formal, cara pengumpulan iuran serta
sejumlah hal lain.
Jika
jaminan pelayanan kesehatan disiapkan dengan baik dan dilaksanakan dengan
jujur, penduduk Indonesia akan terjamin pelayanan kesehatannya. Produktivitas
bisa meningkat karena warga terjamin kesehatannya. Sebaliknya, ketidaksiapan
akan meningkatkan penolakan dan masyarakat akan makin jauh dari haknya
terkait jaminan pelayanan kesehatan.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar