Islam Melihat
Pendidikan
Haidar Bagir ; Dosen di ICAS-Paramadina
|
REPUBLIKA,
07 Desember 2012
Islam mengajarkan
bahwa perjalanan hidup manusia di muka bumi ini terdiri atas perjalanan
melalui dua busur turun-naik yang membentuk suatu lingkaran utuh. Pertama, perjalanan
melalui busur turun (al-qaws al-nuzul) penciptaan: bermula dari Allah dan
berakhir pada dunia ciptaan atau dunia material ('alam al-khalq atau `alam
thabi'i). Kedua, perjalanan kembali melalui busur naik (al-qaws al-su'ud ),
dari alam ciptaan menuju Allah SWT.
Alquran mengajarkan, "Sesungguhnya
kita adalah kepunyaan Allah dan sesungguhnya kepada-Nyalah kita kembali"
(QS 2 : 156). Perjalanan kembali menuju Allah berlangsung melalui dua alam
lain, yakni alam barzakh-malakuti (alam antara yang rohani dan material) dan
`alam al-qiyamat (rohani).
Ia pada dasarnya merupakan perjalanan spiritual. Yakni, suatu proses pemeliharaan kesucian hati --yang menampung di dalamnya keimanan dan pengetahuan akhlaki-- dari kemungkinan pengotoran-pengotoran akibat perbuatan-perbuatan buruk kita (tarbiyah atau tazkiyah al-nafs)."Dan demi jiwa dan penyempurnaannya. Dan telah kami ilhamkan kepada jiwa itu jalan keburukan dan ketakwaannya. Pasti berbahagia siapa yang menyucikannya. Dan pasti sengsara siapa yang mengotorinya." (QS 91 : 7 -10).
Tapi, para hukama Islam mengajarkan
bahwa sesungguhnya manusia --yang telah menyucikan hatinya-- memiliki akses
kepada alam malakut-khayali dan alam jabarut-ruhani sejak ia berada di alam
ciptaan ini. Karena, hati manusia- manusia seperti ini sesungguhnya sudah
berada dalam proses kembali kepada Allah saat tubuh mereka masih terikat
kepada alam ciptaan ini. "Matilah kalian sebelum kalian mati,"
demikian Rasulullah SAW mengajarkan.
Sejalan dengan itu,
secara epistemologis, Islam mengakui bahwa kemampuan atau daya mengetahui
manusia juga mencakup daya intuisi (khayali-imajinal)
dan daya rohani (dzawqi). Yang pertama untuk mengakses alam malakuti-khayali, dan yang satunya untuk mengakses alam jabarut-rohani. Sayangnya, paradigma pendidikan materialistik yang dominan sekarang ini hanya mempromosikan daya rasional saintifik dan keterampilan praktis belaka. Akibatnya, anak-anak kita tidak menghargai serta tidak memiliki pengetahuan tentang realitas yang lebih tinggi, yakni realitas malakuti dan rohani tersebut di atas, dan cara mencapai pengetahuan tentang keduanya. Dalam konteks materialistik seperti ini, pengetahuan hanya dianggap bernilai jika memiliki kegunaan pragmatis belaka.
Akibatnya, bagi
orang-orang seperti ini, yang penting adalah memiliki kemampuan yang
bermanfaat bagi upaya mengumpulkan berbagai pencapaian duniawi. Hal ini bukan
saja akan merusak kehidupan kemasyarakatan, melainkan justru akan
menjerumuskan anak-anak kita kepada kesengsaraan.
Yang tak kalah penting, pendidikan kita hanya memandang sebelah mata pengembangan kemampuan anak-anak kita dalam mengapresiasi keindahan (estetika). Padahal, keindahan, selain memberikan kebahagiaan menikmatinya dan melembutkan jiwa, adalah sarana untuk mengembangkan keimanan dan kecintaan kepada Allah juga, seba gaimana pernyataan Nabi SAW, "Aku melihat Allah dalam Keindahan-Nya Yang Sempurna." Dan bahwa keindahan adalah salah satu Sifat-Nya pula: "Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan."
Hasilnya, kita merasa
telah mendidik anak-anak kita dengan keimanan dan kecintaan kepada Allah SWT,
tapi kenyataannya kita merasa ragu apakah, misalnya, mereka benar-benar
beriman dan cinta kepada Allah dan bukannya malah cenderung menuhankan harta,
kekuasaan, dan sebagainya? Apakah masih tersisa dalam diri mereka semangat
kasih-sayang, amal saleh, dan pengorbanan, yang sesungguhnya menjadi inti
ketakwaan dan sekaligus sumber makna hidup bagi mereka?
Akhirnya, kita dapati
masyarakat kita, termasuk anak-anak kita, diterpa gejala-gejala kehampaan
hidup, kemerosotan akhlak, perusakan lingkungan hidup, vandalisme, kebencian,
premanisme, dan sikap nafsi-nafsi, serta berbagai gejala dehumanisasi yang
amat memprihatinkan. Maka, satu-satunya jalan untuk memecahkan masalah serius
bangsa adalah dengan mengubah paradigma pendidikan kita, dalam ranah teori
dan praktiknya, dari berpusat rasional-saintifik dan vokasional kepada
orientasi ruhaniah, akhlak, dan estetika.
Dengan kata lain,
seharusnya, kurikulum pendidikan kita perlu disusun sesuai prioritasnya yang
benar, mulai dari yang dasar hingga yang paling praktis.
Pengembangan kemampuan akademik --meliputi kemampuan berpikir logis- analitis, kemampuan observasi-saintifik, keingintahuan, serta kemampuan vokasional atau life skills-- mestilah didasarkan pada perspektif rohaniah, akhlaki, dan estetik seperti tersebut di atas.
Terbukti, bukan saja
daya rohaniah, akhlaki, dan estetik akan membimbing penerapan kemampuan
rasional-saintifik dan vokasional secara benar, kedua kemampuan yang disebut
belakangan justru akan mencapai puncaknya dengan dukungan kemampuan-kemampuan
yang disebut terdahulu. Kenyataannya, berbagai penelitian mengenai peran kecerdasan
sosial-emosional dan kecerdasan rohaniah-personal kiranya telah cukup
membuktikan hal ini. Yakni, bahwa kiprah manusia untuk meraih
kesuksesan-kesuksesan duniawi, termasuk belajar dan berusaha, justru akan
makin meningkat jika diarahkan dan diterapkan dengan panduan daya-daya lebih
tinggi tersebut.
Akhirnya, hendaknya
pengajaran kerohaniahan dan akhlak dalam konteks ini mestilah tak berhenti
pada sekadar rutinitas peribadatan dan pengajaran akhlak yang bersifat
kognitif belaka, melainkan didasarkan pada pemahaman makna batiniah dari
ajaran-ajaran agama serta akhlak tersebut dan diselenggarakan dengan berbekal
kebersihan hati juga semangat kasih-sayang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar