Refleksi Hari
Antikorupsi
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu
Hukum Universitas 45, Makassar
|
MEDIA
INDONESIA, 07 Desember 2012
PERILAKU korupsi di
negeri ini semakin beregenerasi secara masif. Indikasinya dapat dilihat,
selama 2004-2011, sebanyak 1.408 kasus korupsi merugikan keuangan negara
sebesar Rp39,3 triliun (Sindo, 5/12). Integritas penyelenggara negara dan
pegawai negeri sudah begitu parah sehingga butuh tindakan radikal untuk memeranginya.
Tidak cukup hanya dengan penegakan hukum semata, perlu sanksi keras termasuk
merancang pemiskin an bagi koruptor.
Hari Antikorupsi
Internasional yang jatuh pada 9 Desember tahun ini perlu kado khusus dengan
menyatukan visi bahwa ‘koruptor layak dihukum mati dan dimiskinkan’. Dampak
korupsi tidak lagi sekadar merugikan keuangan negara, tetapi juga dapat
membangkrutkan negara. Itu bahkan mengancam kesejahteraan rakyat lantaran
uang yang disiapkan untuk itu dirampok para koruptor. Karena itu, sangat
wajar apabila masyarakat tidak puas atas hukuman penjara yang hanya berkisar
tahunan.
Hukuman penjara dan
denda tidak menimbulkan efek jera dan memberi rasa takut bagi calon koruptor.
Itu malah memicu lahirnya koruptorkoruptor baru. Penerapan hukuman mati
memang sudah ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31/1999
yang diubah dengan UU Nomor 20/2002 tentang Tindak Pidana Korupsi. Hanya,
ketentuan itu boleh dipakai dalam keadaan tertentu saja, yaitu jika korupsi
dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya, pada waktu terjadi bencana
alam nasional, pengulangan korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan
krisis ekonomi dan moneter. Ketentuan tersebut tidak pernah diterapkan karena
ada pembatasan sehingga perlu merevisi UU Korupsi dengan mengatur hukuman
mati secara tegas.
Paradoks
Begitu entengnya koruptor menghadapi vonis
penjara, cukup menjalani hukuman sebagian saja lantaran diberi remisi. Saat
di penjara pun mereka mendapat fasilitas istimewa layaknya hotel berbintang dengan
menyogok pegawai penjara. Setelah itu, mereka bebas menikmati hasil korupsi. Karena
itu, amat wajar jika Indonesia disebut surga bagi para koruptor karena vonis yang
dijatuhkan hakim tak pernah bisa membuat mereka jera.
Pola pemberantasan korupsi yang dilakukan
pemerintah dengan bermodalkan retorika dan pencitraan tak ubahnya menggantang
asap. Itu tak akan menghasilkan apa-apa selain kecaman publik. Begitu pula
aparat hukum, termasuk KPK, yang terkesan bekerja seperti lembaga survei. Hanya pelaku
ecek-ecek yang dijadikan tersangka sebagai sampel, kemudian menggiring opini
publik bahwa kasus tersebut sudah ditangani. Padahal, pelaku utama tidak
disentuh, seperti kasus Wisma Atlet, kasus Hambalang, dan kasus Bank Century.
Itu menjadi paradoks, sebab propaganda klaim keberhasilan tidak berbanding
lurus dengan hasilnya.
Itulah yang disebut
Paul Joseph Goebbels, menteri propaganda Nazi di zaman Hitler, sebagai teknik
propaganda argentum ad nausem atau `kebohongan besar'. Salah satu prinsip
teknik propaganda tersebut yaitu menyebarluaskan berita bohong seolah-olah
berhasil memberantas korupsi karena menangani berbagai kasus besar yang
menjadi perhatian publik, tetapi realitas berkata lain. Belum terlihat
keberanian untuk mengambil keputusan berani. Pemahaman dari hulu ke hilir
malah begitu lemah lantaran tidak didukung tindakan politik yang nyata (political action).
Tentu bukan tanpa
makna jika ada pandangan agar civil society bergerak lebih progresif akibat
negara mengalami pelemahan peran dan fungsinya.
Krisis kewibawaan negara yang ditandai dengan semakin banyaknya pejabat publik yang terjerat korupsi seharusnya menjadi perhatian pemerin tah. Pertarungan elite ditandai kegaduhan politik dengan saling tuding melakukan korupsi merupakan salah satu indikasi pemerintah dalam krisis kewibawaan. Misalnya, laporan Menteri BUMN Dahlan Iskan ke Badan Kehormatan DPR soal nama oknum anggota DPR yang memeras BUMN, tetapi beberapa nama yang dilaporkan itu direvisi. Isu yang bergulir kencang pada akhirnya antiklimaks lantaran nama-nama yang disebutkan tidak dilaporkan kepada KPK.
Kegaduhan kalangan
istana tidak bisa dipandang hanya sebagai konsekuensi logis dari negara
demokrasi. Itu seharusnya dilihat dari sisi sejauh mana upaya memberantas
korupsi membawa dampak yang signifi kan bagi pengamanan uang negara. Saling
tuding yang tidak produktif, tetapi tidak ada keseriusan menuntaskannya, akan
membuat rakyat semakin kecewa, apalagi jika pada akhirnya berujung kompromi.
Sudah pasti rakyat akan jenuh dan muak, bahkan berdam pak pada krisis ke percayaan
terha dap pemerintah dan aparat hukum.
Langkah Progresif
Agar hukum benar benar
memiliki kekuatan, perlu langkah progresif yang lebih mengutama kan `tujuan'
daripada `prosedur'. Keadilan substansial sebagai tujuan tidak boleh
dibelenggu keadilan prosedural. Penegakan hukum secara progresif akan membebaskan
kita dari cara berpikir legal-positif, sebab hukum tidak terpisah dari akar
moralitas masyarakat. Setidaknya ada tiga langkah progresif untuk mendorong
percepatan pemberantasan korupsi.
Pertama, pengawasan
dan pemeriksaan harus betul-betul diarahkan untuk mencegah penyelewengan
penggunaan anggaran. Para pengawas seharusnya tidak perlu lagi diawasi dan
pemeriksaan yang mengindikasi penyelewengan dilaporkan ke penyidik untuk
diproses. Jangan disimpan di laci untuk melindungi pelaku. Kedua, pada tahap
penyelidikan, penyelidik tidak menunggu di balik meja, harus aktif turun
mencari buktibukti permulaan yang cukup. Pola itu masih dipraktikkan di
kepolisian dan kejaksaan. Informasi dari masyarakat atau aktivis antikorupsi
seharusnya dijadikan bahan penyelidikan. Jangan dianggap sebagai fitnah atau
pembunuhan karakter sebelum membuktikan kebenarannya.
Para koruptor tak akan
jera bila aparat hukum melempem, jika hukum masih tetap bisa dibeli, atau
jika dibawa ke pengadilan divonis bebas. Malah ada upaya untuk melemahkan
kontrol bagi penegakan hukum, pers (media massa) sering dijadikan sasaran
tembak akibat pemberitaan yang dinilai tidak benar. Yang lebih ironis, tak
jarang pemberi taan pers diang gap menghambat proses penegakan hukum.
Fenomena yang terurai
itu merupakan potret buram pemberantasan korupsi di negeri ini. Sebagai
refleksi Hari Antikorupsi, pilihan cuma satu, tidak boleh kendur memerangi
perilaku korupsi. Yang harus ditempuh ialah cara-cara yang lebih cerdas dan
progresif. Jika rakyat kendur dan apatis, kasus-kasus korupsi lama akan terus
mengendap di laci aparat hukum, sedangkan kasus-kasus baru akan terus
bermunculan secara beruntun akibat hukum tidak mampu memberikan efek jera. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar