Minggu, 09 Desember 2012

Refleksi Hari Antikorupsi


Refleksi Hari Antikorupsi
Marwan Mas ;   Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
MEDIA INDONESIA, 07 Desember 2012


PERILAKU korupsi di negeri ini semakin beregenerasi secara masif. Indikasinya dapat dilihat, selama 2004-2011, sebanyak 1.408 kasus korupsi merugikan keuangan negara sebesar Rp39,3 triliun (Sindo, 5/12). Integritas penyelenggara negara dan pegawai negeri sudah begitu parah sehingga butuh tindakan radikal untuk memeranginya. Tidak cukup hanya dengan penegakan hukum semata, perlu sanksi keras termasuk merancang pemiskin an bagi koruptor.
Hari Antikorupsi Internasional yang jatuh pada 9 Desember tahun ini perlu kado khusus dengan menyatukan visi bahwa ‘koruptor layak dihukum mati dan dimiskinkan’. Dampak korupsi tidak lagi sekadar merugikan keuangan negara, tetapi juga dapat membangkrutkan negara. Itu bahkan mengancam kesejahteraan rakyat lantaran uang yang disiapkan untuk itu dirampok para koruptor. Karena itu, sangat wajar apabila masyarakat tidak puas atas hukuman penjara yang hanya berkisar tahunan.
Hukuman penjara dan denda tidak menimbulkan efek jera dan memberi rasa takut bagi calon koruptor. Itu malah memicu lahirnya koruptorkoruptor baru. Penerapan hukuman mati memang sudah ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31/1999 yang diubah dengan UU Nomor 20/2002 tentang Tindak Pidana Korupsi. Hanya, ketentuan itu boleh dipakai dalam keadaan tertentu saja, yaitu jika korupsi dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya, pada waktu terjadi bencana alam nasional, pengulangan korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Ketentuan tersebut tidak pernah diterapkan karena ada pembatasan sehingga perlu merevisi UU Korupsi dengan mengatur hukuman mati secara tegas.
Paradoks
Begitu entengnya koruptor menghadapi vonis penjara, cukup menjalani hukuman sebagian saja lantaran diberi remisi. Saat di penjara pun mereka mendapat fasilitas istimewa layaknya hotel berbintang dengan menyogok pegawai penjara. Setelah itu, mereka bebas menikmati hasil korupsi. Karena itu, amat wajar jika Indonesia disebut surga bagi para koruptor karena vonis yang dijatuhkan hakim tak pernah bisa membuat mereka jera.
Pola pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah dengan bermodalkan retorika dan pencitraan tak ubahnya menggantang asap. Itu tak akan menghasilkan apa-apa selain kecaman publik. Begitu pula aparat hukum, termasuk KPK, yang terkesan bekerja seperti lembaga survei. Hanya pelaku ecek-ecek yang dijadikan tersangka sebagai sampel, kemudian menggiring opini publik bahwa kasus tersebut sudah ditangani. Padahal, pelaku utama tidak disentuh, seperti kasus Wisma Atlet, kasus Hambalang, dan kasus Bank Century. Itu menjadi paradoks, sebab propaganda klaim keberhasilan tidak berbanding lurus dengan hasilnya.
Itulah yang disebut Paul Joseph Goebbels, menteri propaganda Nazi di zaman Hitler, sebagai teknik propaganda argentum ad nausem atau `kebohongan besar'. Salah satu prinsip teknik propaganda tersebut yaitu menyebarluaskan berita bohong seolah-olah berhasil memberantas korupsi karena menangani berbagai kasus besar yang menjadi perhatian publik, tetapi realitas berkata lain. Belum terlihat keberanian untuk mengambil keputusan berani. Pemahaman dari hulu ke hilir malah begitu lemah lantaran tidak didukung tindakan politik yang nyata (political action).
Tentu bukan tanpa makna jika ada pandangan agar civil society bergerak lebih progresif akibat negara mengalami pelemahan peran dan fungsinya.
Krisis kewibawaan negara yang ditandai dengan semakin banyaknya pejabat publik yang terjerat korupsi seharusnya menjadi perhatian pemerin tah.
Pertarungan elite ditandai kegaduhan politik dengan saling tuding melakukan korupsi merupakan salah satu indikasi pemerintah dalam krisis kewibawaan. Misalnya, laporan Menteri BUMN Dahlan Iskan ke Badan Kehormatan DPR soal nama oknum anggota DPR yang memeras BUMN, tetapi beberapa nama yang dilaporkan itu direvisi. Isu yang bergulir kencang pada akhirnya antiklimaks lantaran nama-nama yang disebutkan tidak dilaporkan kepada KPK.
Kegaduhan kalangan istana tidak bisa dipandang hanya sebagai konsekuensi logis dari negara demokrasi. Itu seharusnya dilihat dari sisi sejauh mana upaya memberantas korupsi membawa dampak yang signifi kan bagi pengamanan uang negara. Saling tuding yang tidak produktif, tetapi tidak ada keseriusan menuntaskannya, akan membuat rakyat semakin kecewa, apalagi jika pada akhirnya berujung kompromi. Sudah pasti rakyat akan jenuh dan muak, bahkan berdam pak pada krisis ke percayaan terha dap pemerintah dan aparat hukum.
Langkah Progresif
Agar hukum benar benar memiliki kekuatan, perlu langkah progresif yang lebih mengutama kan `tujuan' daripada `prosedur'. Keadilan substansial sebagai tujuan tidak boleh dibelenggu keadilan prosedural. Penegakan hukum secara progresif akan membebaskan kita dari cara berpikir legal-positif, sebab hukum tidak terpisah dari akar moralitas masyarakat. Setidaknya ada tiga langkah progresif untuk mendorong percepatan pemberantasan korupsi.
Pertama, pengawasan dan pemeriksaan harus betul-betul diarahkan untuk mencegah penyelewengan penggunaan anggaran. Para pengawas seharusnya tidak perlu lagi diawasi dan pemeriksaan yang mengindikasi penyelewengan dilaporkan ke penyidik untuk diproses. Jangan disimpan di laci untuk melindungi pelaku. Kedua, pada tahap penyelidikan, penyelidik tidak menunggu di balik meja, harus aktif turun mencari buktibukti permulaan yang cukup. Pola itu masih dipraktikkan di kepolisian dan kejaksaan. Informasi dari masyarakat atau aktivis antikorupsi seharusnya dijadikan bahan penyelidikan. Jangan dianggap sebagai fitnah atau pembunuhan karakter sebelum membuktikan kebenarannya.
Para koruptor tak akan jera bila aparat hukum melempem, jika hukum masih tetap bisa dibeli, atau jika dibawa ke pengadilan divonis bebas. Malah ada upaya untuk melemahkan kontrol bagi penegakan hukum, pers (media massa) sering dijadikan sasaran tembak akibat pemberitaan yang dinilai tidak benar. Yang lebih ironis, tak jarang pemberi taan pers diang gap menghambat proses penegakan hukum.
Fenomena yang terurai itu merupakan potret buram pemberantasan korupsi di negeri ini. Sebagai refleksi Hari Antikorupsi, pilihan cuma satu, tidak boleh kendur memerangi perilaku korupsi. Yang harus ditempuh ialah cara-cara yang lebih cerdas dan progresif. Jika rakyat kendur dan apatis, kasus-kasus korupsi lama akan terus mengendap di laci aparat hukum, sedangkan kasus-kasus baru akan terus bermunculan secara beruntun akibat hukum tidak mampu memberikan efek jera. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar