Pemilu AS dan
Ancaman terhadap NKRI
Kiki Syahnakri ; Ketua
Badan Pengkajian
|
KOMPAS,
08 Desember 2012
Surat kabar The Daily Mail memberitakan, Selasa (13/11), puluhan ribu warga
Amerika dari 20 negara bagian telah mencantumkan namanya dalam sebuah petisi,
menyusul kekalahan Mitt Romney (Republik) dari Barack Obama (Demokrat).
Mereka meminta negara bagian tempat tinggalnya saat ini untuk memisahkan diri
dari pemerintahan pusat Washington.
Sementara itu, BBC
melaporkan, hingga Kamis lalu sudah lebih dari 100.000 warga AS telah
mencantumkan namanya dalam petisi tersebut. Texas tercatat sebagai penyumbang
terbanyak dalam jumlah tanda tangan, yaitu sekitar 25.000 warga. Hak warga
negara mengajukan petisi itu memang dijamin dalam amandemen pertama
Konstitusi AS dengan syarat harus ditandatangani sedikitnya oleh 25.000
orang. Dilihat dari jumlah penanda tangan, petisi itu sudah sangat memenuhi
syarat untuk ditanggapi Gedung Putih.
Apabila petisi tersebut
terus berlanjut sehingga menimbulkan guncangan politik di AS, maka ini akan
menjadi ancaman global yang mengancam pula eksistensi NKRI. Apabila di sebuah
negara adidaya seperti AS yang sudah eksis 200 tahun lebih dan dikenal sebagai
kampiun demokrasi, sebagian rakyatnya tidak bisa menerima hasil pemilu yang
jelas- jelas berlangsung sangat demokratis, bagaimana pula sebuah negara
berkembang seperti Indonesia.
Patut disadari Indonesia
secara geografis merupakan negara kepulauan dan sangat kaya akan sumber daya
alam. Secara demografis sangat majemuk dalam multiaspek: suku, agama, budaya,
adat istiadat, bahasa, dan lain-lain. Kondisi itu selain merupakan keunggulan
bangsa, juga sarat mengandung potensi konflik. Dengan kata lain, negeri ini
secara alamiah-kodrati memang mengandung potensi konflik yang sangat tinggi.
Belum lagi bila menilik
kondisi aktual bangsa-negara yang setelah Reformasi 1998 sangat liberalistik,
baik secara politik/demokrasi, ekonomi, maupun budaya. Pancasila dipinggirkan,
hanya menjadi simbol belaka tanpa diimplementasikan, bahkan tidak lagi
diajarkan kepada generasi penerus bangsa sehingga bangsa ini rentan
kekerasan, tawuran: amuk massa kita saksikan hampir setiap hari di media.
Hendaknya kita tengok pula
sejarah kemerdekaan Indonesia yang telah mencapai 67 tahun. Perang
kemerdekaan hanya berlangsung empat tahun. Selebihnya perjalanan sejarah kita
selalu dihantui konflik internal. Mulai dari pemberontakan separatis RMS,
pemberontakan PRRI/Permesta yang menuntut otonomi dan pembubaran PKI, kudeta
G30S, dan seterusnya. Terlebih setelah kita mengimplementasikan paham
liberalisme yang tak cocok dengan akar budaya bangsa. Konflik internal di
Indonesia bukan mereda, melainkan tambah meningkat dan meluas sekaligus
mengkhawatirkan.
Dengan demikian,
sepantasnya perkembangan politik setelah pemilu di AS menjadi perhatian
serius, tanpa harus reaktif berlebihan. Namun, kita, khususnya para elite
politik/pemerintahan, perlu menyadari urgensi dari upaya meningkatkan
kesadaran dan kewaspadaan dalam merespons perkembangan itu.
Pertama, kepada para elite
politik yang umumnya telah lama dihinggapi penyakit kronis myopia sektoral,
atau meminjam istilah Buya Syafii Maarif ”penglihatannya hanya mampu sebatas
pekarangan”. Hendaknya segera menyembuhkan penyakit itu. Berpolitiklah dengan
berlandaskan kepada Pancasila, melihat jauh ke depan pada kepentingan
nasional, bukan sebatas kepentingan golongan, apalagi kepentingan
perseorangan. Jangan berpolitik hanya bagi kepentingan memperoleh kekuasaan
semata, melainkan harus mampu menjawab untuk apa dan bagaimana menjalankan
kekuasaan yang telah diperoleh itu.
Kedua, tanpa meminggirkan
hak individu warga negara dalam berpolitik hendaknya kegaduhan politik
menjelang 2014 perlu dieliminasi. Untuk itu, partai politik yang nantinya
berhasil menembus ambang parlemen, yang berhak mengajukan capres/cawapres,
baik secara sendirian maupun berkoalisi, perlu menyadari pentingnya membatasi
jumlah calon.
Atmosfer politik Indonesia
masih pekat diliputi potensi konflik yang sangat mungkin akan mengantarkan
bangsa ini pada perpecahan. Lebih banyak calon, lebih tinggi pula potensi
konflik. Karena itu, kepada mereka yang memiliki libido kekuasaan tinggi
dianjurkan mampu mengontrol diri.
Kesempatan berdemokrasi
yang diberikan UU harus dipandang utuh dan lengkap. Jangan hanya karena
merasa populer, sudah merasa mampu dan berpotensi menjadi orang nomor satu di
Indonesia.
Ketiga, rakyat Indonesia
yang memiliki hak pilih harus menggunakan kedaulatan politiknya dengan nalar
dan mandiri. Hindari jual-beli suara, yang pada hakikatnya bom waktu.
Pilihlah calon yang benar-benar dipandang memiliki karakter keindonesiaan,
pancasilais sejati, memiliki kompetensi, serta teladan.
Semoga Presiden Barack
Obama mampu mengatasi gejolak politik di negaranya sehingga terhindar dari
perpecahan ataupun perang saudara seperti yang terjadi pada hampir 150 tahun
lalu. Dengan demikian, dunia akan terhindar dari kemungkinan penularan
konflik politik yang mengandung potensi perpecahan itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar