Minggu, 09 Desember 2012

Pemilu AS dan Ancaman terhadap NKRI


Pemilu AS dan Ancaman terhadap NKRI
Kiki Syahnakri ;   Ketua Badan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat
KOMPAS, 08 Desember 2012


Surat kabar The Daily Mail memberitakan, Selasa (13/11), puluhan ribu warga Amerika dari 20 negara bagian telah mencantumkan namanya dalam sebuah petisi, menyusul kekalahan Mitt Romney (Republik) dari Barack Obama (Demokrat). Mereka meminta negara bagian tempat tinggalnya saat ini untuk memisahkan diri dari pemerintahan pusat Washington.

Sementara itu, BBC melaporkan, hingga Kamis lalu sudah lebih dari 100.000 warga AS telah mencantumkan namanya dalam petisi tersebut. Texas tercatat sebagai penyumbang terbanyak dalam jumlah tanda tangan, yaitu sekitar 25.000 warga. Hak warga negara mengajukan petisi itu memang dijamin dalam amandemen pertama Konstitusi AS dengan syarat harus ditandatangani sedikitnya oleh 25.000 orang. Dilihat dari jumlah penanda tangan, petisi itu sudah sangat memenuhi syarat untuk ditanggapi Gedung Putih.

Mengancam NKRI

Apabila petisi tersebut terus berlanjut sehingga menimbulkan guncangan politik di AS, maka ini akan menjadi ancaman global yang mengancam pula eksistensi NKRI. Apabila di sebuah negara adidaya seperti AS yang sudah eksis 200 tahun lebih dan dikenal sebagai kampiun demokrasi, sebagian rakyatnya tidak bisa menerima hasil pemilu yang jelas- jelas berlangsung sangat demokratis, bagaimana pula sebuah negara berkembang seperti Indonesia.

Patut disadari Indonesia secara geografis merupakan negara kepulauan dan sangat kaya akan sumber daya alam. Secara demografis sangat majemuk dalam multiaspek: suku, agama, budaya, adat istiadat, bahasa, dan lain-lain. Kondisi itu selain merupakan keunggulan bangsa, juga sarat mengandung potensi konflik. Dengan kata lain, negeri ini secara alamiah-kodrati memang mengandung potensi konflik yang sangat tinggi.

Belum lagi bila menilik kondisi aktual bangsa-negara yang setelah Reformasi 1998 sangat liberalistik, baik secara politik/demokrasi, ekonomi, maupun budaya. Pancasila dipinggirkan, hanya menjadi simbol belaka tanpa diimplementasikan, bahkan tidak lagi diajarkan kepada generasi penerus bangsa sehingga bangsa ini rentan kekerasan, tawuran: amuk massa kita saksikan hampir setiap hari di media.

Hendaknya kita tengok pula sejarah kemerdekaan Indonesia yang telah mencapai 67 tahun. Perang kemerdekaan hanya berlangsung empat tahun. Selebihnya perjalanan sejarah kita selalu dihantui konflik internal. Mulai dari pemberontakan separatis RMS, pemberontakan PRRI/Permesta yang menuntut otonomi dan pembubaran PKI, kudeta G30S, dan seterusnya. Terlebih setelah kita mengimplementasikan paham liberalisme yang tak cocok dengan akar budaya bangsa. Konflik internal di Indonesia bukan mereda, melainkan tambah meningkat dan meluas sekaligus mengkhawatirkan.

Dengan demikian, sepantasnya perkembangan politik setelah pemilu di AS menjadi perhatian serius, tanpa harus reaktif berlebihan. Namun, kita, khususnya para elite politik/pemerintahan, perlu menyadari urgensi dari upaya meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan dalam merespons perkembangan itu.

Rekomendasi

Pertama, kepada para elite politik yang umumnya telah lama dihinggapi penyakit kronis myopia sektoral, atau meminjam istilah Buya Syafii Maarif ”penglihatannya hanya mampu sebatas pekarangan”. Hendaknya segera menyembuhkan penyakit itu. Berpolitiklah dengan berlandaskan kepada Pancasila, melihat jauh ke depan pada kepentingan nasional, bukan sebatas kepentingan golongan, apalagi kepentingan perseorangan. Jangan berpolitik hanya bagi kepentingan memperoleh kekuasaan semata, melainkan harus mampu menjawab untuk apa dan bagaimana menjalankan kekuasaan yang telah diperoleh itu.

Kedua, tanpa meminggirkan hak individu warga negara dalam berpolitik hendaknya kegaduhan politik menjelang 2014 perlu dieliminasi. Untuk itu, partai politik yang nantinya berhasil menembus ambang parlemen, yang berhak mengajukan capres/cawapres, baik secara sendirian maupun berkoalisi, perlu menyadari pentingnya membatasi jumlah calon.

Atmosfer politik Indonesia masih pekat diliputi potensi konflik yang sangat mungkin akan mengantarkan bangsa ini pada perpecahan. Lebih banyak calon, lebih tinggi pula potensi konflik. Karena itu, kepada mereka yang memiliki libido kekuasaan tinggi dianjurkan mampu mengontrol diri.

Kesempatan berdemokrasi yang diberikan UU harus dipandang utuh dan lengkap. Jangan hanya karena merasa populer, sudah merasa mampu dan berpotensi menjadi orang nomor satu di Indonesia.

Ketiga, rakyat Indonesia yang memiliki hak pilih harus menggunakan kedaulatan politiknya dengan nalar dan mandiri. Hindari jual-beli suara, yang pada hakikatnya bom waktu. Pilihlah calon yang benar-benar dipandang memiliki karakter keindonesiaan, pancasilais sejati, memiliki kompetensi, serta teladan.

Semoga Presiden Barack Obama mampu mengatasi gejolak politik di negaranya sehingga terhindar dari perpecahan ataupun perang saudara seperti yang terjadi pada hampir 150 tahun lalu. Dengan demikian, dunia akan terhindar dari kemungkinan penularan konflik politik yang mengandung potensi perpecahan itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar