Jumat, 07 Desember 2012

Intelektual dan Kekuasaan


Intelektual dan Kekuasaan
Biyanto ;  Dosen IAIN Sunan Ampel, 
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
SINDO, 05 Desember 2012


Dinamika politik nasional dan lokal telah menghadirkan fenomena yang menarik berupa polarisasi kaum intelektual dalam berbagai kelompok kepentingan. 

Kaum intelektual ini umumnya bergabung sebagai aktivis partai,tim sukses calon, konsultan politik, dan tenaga profesional untuk survei.Karena itu tidak mengherankan jika kini menjamur beberapa lembaga survei yang siap dimanfaatkan calon presiden, calon kepala daerah,dan calon anggota legislatif, untuk mengetahui tingkat popularitas dan akseptabilitasnya. 

Bukan hanya untuk kepentingan personal calon, lembaga- lembaga survei itu juga dapat dimanfaatkan untuk melihat popularitas partai politik (parpol) yang akan running dalam Pemilu 2014 mendatang. Parpol dan para calon dalam kaitan ini jelas membutuhkan masukan dari komunitas akademik berkaitan dengan isu yang harus diwacanakan agar dapat diterima publik.Variabel akseptabilitas ini penting karena sekaligus dapat digunakan untuk mengukur popularitas partai dan calon.

Sementara masukan mengenai isu yang akan diwacanakan jelas bermanfaat bagi parpol dan calon agar dapat menawarkan program sesuai kondisi sosial budaya masyarakat masingmasing. Keterlibatan kaum intelektual tentu menarik diamati karena terjadi dalam setiap pemilu, terutama sepanjang era reformasi. Kaum intelektual dalam hal ini dapat dimanfaatkan untuk mempertajam visi, misi, serta program parpol dan para calon.Pelibatan kaum intelektual ini jelas dilakukan dengan pertimbangan yang matang. 

Kaum intelektual di antaranya dapat dimanfaatkan sebagai tenaga profesional untuk melakukan kajian mengenai kondisi masyarakat dan harapan yang diinginkan. Melalui kegiatan inilah parpol dan para calon mendapatkan gambaran mengenai kondisi riil di lapangan serta strategi yang tepat untuk menarik simpati dan membangun kepercayaan masyarakat. 

Di samping itu, data riil di lapangan jelas bermanfaat bagi tim sukses untuk diolah menjadi isu menarik yang akan disampaikan dalam kampanye. Hampir dapat dipastikan jika kondisi masyarakat setiap daerah sangat berbeda. Keragaman kondisi masyarakat jelas membutuhkan strategi yang berbeda. Karena itulah substansi isu kampanye dan strategi menyampaikannya pun harus dikemas dengan cara yang berbeda. 

Sebagai contoh, isu tentang banjir dan penanggulangannya barangkali menarik dijadikan bahan kampanye di daerah tertentu. Tetapi isu banjir pasti tidak relevan disampaikan di daerah yang tidak rawan banjir. Isu tentang kemacetan juga bisa relevan untuk daerah tertentu dan tidak relevan untuk daerah lain. Demikian juga isu tentang good governance dan pemberantasan korupsi. Dua isu ini jelas sangat elitis sehingga hanya cocok disosialisasikan pada kelompok yang terbatas dan terdidik. 

Sementara untuk rakyat kebanyakan akan sangat bergairah jika ditawari program pendidikan dan kesehatan gratis, kemudahan memperoleh bahan pokok untuk kebutuhan seharihari, kesempatan mendapat pekerjaan, dan peningkatan pelayanan sosial lainnya. Persoalannya, dengan melibatkan diri dalam pertarungan bersama masing-masing parpol dan calon tertentu, apakah kaum intelektual tidak dapat dikatakan telah melakukan pengkhianatan? 

Sebutan pengkhianatan intelektual pernah dikemukakan Julien Benda dalam The Betrayal of the Intellectuals. Melalui karya ini, Benda mengkritik tajam kaum intelektual Prancis yang mendukung Perang Dunia I dan II. Karena itulah Benda tidak mau menyebut dirinya sebagai kaum intelektual. Dalam konteks keindonesiaan, kaum intelektual dari berbagai latar belakang juga melibatkan diri dalam kegiatan partai dan turut menyukseskan calon tertentu. 

Bahkan bisnis yang laris manis di era politik yang mengandalkan popularitas ini adalah konsultan politik dan survei. Bisnis yang dikelola kaum intelektual ini pasti menghadirkan keuntungan ekonomi yang luar biasa. Pelibatan kaum intelektual dalam politik memang sensitif karena selama ini dunia intelektual sangat identik dengan kebebasan dan independensi. Pertanyaannya, apakah dengan menjadi aktivis partai, tim sukses, konsultan, tim survei, untuk kepentingan partai dan calon tertentu tidak mengebiri kemandirian kaum intelektual? 

Pertanyaan ini biasanya muncul dari kelompok intelektual idealis. Mereka yang berpandangan idealis umumnya ingin menunjukkan diri sebagai kelompok intelektual yang selalu berada di menara gading, tanpa mau melihat realitas di lapangan. Sementara itu, ada kelompok lain yang berpandangan bahwa kaum intelektual tidak boleh terus-menerus berada di menara gading. Kaum intelektual harus segera keluar dengan menjadi aktivis untuk menunjukkan tanggung jawab sosialnya. 

Karena persoalan politik berkaitan dengan kepentingan publik, maka berarti kaum intelektual juga harus melibatkan diri. Hanya dengan cara inilah kaum intelektual dapat memberikan kontribusi yang nyata untuk turut mempengaruhi kebijakan agar partai penguasa dan calon pemimpin menunjukkan keberpihakan pada rakyat. Memahami keberadaan kaum intelektual yang demikian penting, tidak mengherankan jika parpol dan para calon yang akan runningdalam pemilu melibatkan mereka. 

Terlepas dari kontroversi pelibatan kaum intelektual dalam politik praktis, keberadaan mereka dirasa sangat penting. Kaum intelektual dapat dijadikan sebagai alat untuk mempengaruhi perilaku calon pemilih (voting behaviour). Dalam perspektif teori sosial, pelibatan kaum intelektual ini juga dapat dipahami sebagai cara elite parpol dan calon penguasa untuk melakukan hegemoni pada masyarakat. 

Setidaknya pada tingkat tertentu masyarakat akan memersepsi bahwa elite parpol dan calon penguasa telah didukung oleh sederetan kaum intelektual sehingga bersifat well educated. Akhirnya, semoga kaum intelektual yang terlibat dalam proses politik di negeri ini atau yang telah dekat dengan kekuasaan tetap menjaga integritas moral dan intelektualnya sehingga tidak larut dalam berbagai kepentingan praktis pragmatis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar