Jumat, 07 Desember 2012

Akrobat Kebijakan BBM


Akrobat Kebijakan BBM
Dewi Aryani ;  Anggota Komisi 7 DPR RI Fraksi PDIP; 
Ketua Harian Pengurus Pusat ISNU
 
SINDO, 05 Desember 2012


“Bagai tikus mati di lumbung padi.” Itulah peribahasa yang sekiranya tepat untuk menggambarkan situasi rakyat Indonesia. Maraknya kasus kelangkaan BBM di berbagai daerah di penjuru Nusantara menandakan bahwa negara Indonesia sedang mengalami fenomena ironis. 

Ironis karena tak seharusnya hal ini terjadi di tengah kondisi Indonesia yang kaya akan sumber energi. Lalu mengapa ironi ini bisa terjadi? Sejumlah kelangkaan yang terjadi di berbagai daerah seperti Pontianak, Balikpapan, Manado, Papua, Banda Aceh, serta Batam, dan perlahan beranjak ke wilayah Jabodetabek seperti ironi berantai yang perlu dicari akar masalahnya. 

Setidaknya terdapat dua hal yang menjadi alasan utama mengapa kelangkaan berantai ini terus menerus terjadi. Pertama, distribusi BBM yang tidak merata dan memadai. Kedua, terjadinya penyelewengan serta penyelundupan BBM di berbagai daerah. Kasus kelangkaan BBM yang sedang terjadi “memaksa” pemerintah meminta penambahan kuota subsidi BBM ke DPR.Tentu masih hangat dalam benak kita bahwa Oktober lalu pemerintah mengambil kebijakan yang sama untuk mengatasi permasalahan kelangkaan BBM yang terjadi. 

Ketika penggunaan BBM bersubsidi mulai mengalami kelebihan kuota, penambahan menjadi solusi tunggal dan begitu instan. Pertanyaannya, mengapa pemerintah kita tampak seperti tak belajar dari kesalahan sebelumnya? Ketika Oktober 2012 pemerintah meminta penambahan kuota BBM bersubsidi dari 40 juta kiloliter (kl) menjadi 44 juta kl, DPR mengabulkan permintaan tersebut dengan asumsi pemerintah yakin penambahan kuota ini akan dapat memenuhi kebutuhan BBM rakyat hingga akhir tahun.

Nyatanya, belum habis tahun 2012, pemerintah sudah kembali meminta penambahan kuota BBM 1,2 juta kl hingga total volume BBM bersubsidi mencapai 45,2 juta kl. Artinya, Pemerintah tidak cermat dalam menghitung kebutuhan BBM masyarakat. Padahal, hal tersebut bukan hal yang sulit karena penghitungan kebutuhan dapat dilakukan dengan melihat tren tiap tahunnya. Forecasting dan planning cermat yang harusnya dilakukan pemerintah bisa mencegah terjadinya kelebihan kuota penggunaan BBM bersubsidi, bukan lagi-lagi mengulangi kesalahan yang sama. 

Sungguh lucu ketika dunia energi Indonesia seperti sedang mengalami akrobat dalam berbagai kebijakannya, pemerintah mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya—ditandai dengan penggunaan kuota BBM yang berlebihan,lalu mengambil kebijakan yang sama juga untuk mengatasi masalah tersebut. Padahal, bukankah jika suatu penyakit tidak dapat di-sembuhkan dengan satu obat,baiknya penyakit itu disembuhkan dengan obat lain? Atau bukankah lebih baik jika dilakukan tindakan preventif untuk mencegah penyakit itu datang lagi? 

Pemerintah menjadikan kebijakan penambahan kuota BBM bersubsidi menjadi solusi praktis atas ketidakcermatan perhitungan kuota BBM bersubsidi. Solusi ini praktis, namun pemerintah tak berpikir bahwa kebijakan penambahan volume BBM bersubsidi tanpa APBN Perubahan berpotensi melanggar UU APBN. Walau pemerintah dapat menyesuaikan kebutuhan realisasi belanja subsidi sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UU APBN-P 2012, tetapi penyesuaian tersebut tidak memberikan mandat kepada pemerintah untuk menyesuaikan volume BBM bersubsidi. 

Karena itu, penyesuaian belanja subsidi dengan melakukan penambahan kuota BBM bersubsidi bukanlah sebuah kebijakan yang dapat dilakukan semudah itu. Akrobat kebijakan BBM yang dilakukan oleh pemerintah saat ini dapat disebut sebagai intractable policy, yaitu kebijakan yang pada dasarnya tidak mungkin atau tidak pantas untuk diimplementasikan (Mazmanian dan Sabatier). Pemerintah mengambil kebijakan menambah kuota BBM bersubsidi tanpa disertai usaha berbenah diri pada pengelolaan BBM di Indonesia. 

Intractable policy yang terjadi saat ini seharusnya justru menjadi alat analisa dan evaluasi mendalam bagi pemerintah, bahwa kondisi fatal atas kesalahan perhitungan kuota BBM bersubsidi terkondisikan karena buruknya integritas pelaksana kebijakan, tingkat kepercayaan masyarakat yang saat ini berada dalam posisi terendah, serta peralihan subsidi BBM yang tidak mungkin mengenai sasaran. Selain itu, selama ini pemerintah tidak pernah terbuka dalam pengelolaan kebijakan sektor energi.

Padahal, sebuah kebijakan tidak bisa hanya dibuat semata karena interes politik yang tidak berdasar pada perhitungan matematis rasional. Perhitungan biaya produksi minyak tidak pernah dijelaskan, rakyat dihadapkan pada kenyataan pemaksaan kehendak (berupa pembatasan dan kelangkaan BBM) dengan dalih yang tidak lagi rasional. 

Bukan hanya menjadi “objek pemaksaan kehendak”, rakyat Indonesia juga menjadi pembenaran bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan penambahan kuota BBM bersubsidi. Predikat boros yang dilekatkan kepada rakyat dianggap menjadi alasan mengapa terjadi kelebihan kuota BBM bersubsidi. Padahal, lebih dari itu, rakyat kita tak punya pilihan lain untuk meng-gunakan BBM bersubsidi, dan hal ini kembali lagi kepada kebijakan yang jauh lebih “pantas” diambil oleh pemerintah dibandingkan dengan kembali menambah kuota BBM bersubsidi. 

Salah satu kebijakan yang hingga saat ini belum diambil oleh pemerintah adalah kebijakan simultan yang berkaitan dengan sektor transportasi. Inilah yang menjadi fokus alasan utama pemerintah harus kelabakan menghitung volume BBM bersubsidi karena penambahan jumlah kendaraan bermotor yang berbahan bakar minyak tidak pernah ada pembatasan. Belum lagi tata kelola sarana transportasi umum juga tidak dilirik serius oleh pemerintah. 

”Pembiaran” laju pertumbuhan kendaraan tanpa diiringi dengan kebijakan yang menyertainya hanya akan menjadi duri dalam daging, menjadi sumber masalah berkelanjutan. Yang diuntungkan hanya produsen kendaraan bermotor, yang menanggung jebolnya APBN adalah pemerintah dan yang menanggung derita kelangkaan BBM adalah rakyat. Sangat tidak fair. Berapa pun volume BBM tidak akan pernah cukup. 

Program simultan lain yang harus dijalankan adalah penghematan BBM yang dapat ditempuh melalui konsep green vehicle. Ini merupakan kebijakan jangka panjang yang dapat dilakukan agar rakyat Indonesia memiliki alternatif jenis kendaraan dengan basis sumber energi alternatif yang dapat digunakan selain BBM.Dengan demikian,jika terjadi lagi kelebihan penggunaan kuota BBM bersubsidi, rakyat tidak lagi dianggap yang paling bersalah atas hal tersebut. 

Terlepas dari kebijakan apa pun yang diambil dalam mengatasi masalah BBM di Indonesia, pemerintah memang harus dan segera mulai berbenah. Terbukti kebijakan BBM selalu gagal mencapai ultimate goal. Penyebabnya adalah kesukaran teknis, keragaman perilaku korup, susahnya mengidentifikasi kelompok sasaran, kesulitan menstrukturisasi proses implementasi kebijakan BBM (khususnya distribusi dan pengawasan para penyalur), dan juga termasuk dukungan publik yang rendah. 

Pemerintah perlu sungguhsungguh memperbaiki diri di segala aspek dalam pengelolaan energi. Pemerintah harus mampu memperbaiki dan meningkatkan public trust. Bolanya ada di pemerintah, jika mampu mewujudkan pengawasan dan akuntabilitas publik, termasuk menyuguhkan realitas perhitungan biaya di segala sektor termasuk penerimaan negara yang jujur, maka tidak akan ada lagi akrobat kebijakan. Mari kita jelaskan bersama-sama kepada rakyat dengan rasional, bukan dengan argumen terbatas dan solusi praktis jangka pendek semata. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar