Jumat, 07 Desember 2012

Memenangi Perdamaian


Memenangi Perdamaian
Dinna Wisnu ;  Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, 
Universitas Paramadina
SINDO, 05 Desember 2012


Bayangkan suatu negeri yang selama berpuluh-puluh tahun hidup dalam ketidakpastian dan kekerasan. Tiap hari warganya seakan tawanan di negeri sendiri. Menuju sekolah, pasar, atau tempat kerja, harus melalui pagar-pagar tinggi dan pasukan bersenjata.

Kala kondisi politik di kalangan elite memanas, warga harus tegar mendengar suara dentuman bom dan desing pesawat tempur yang menggetarkan jantung. Syukur-syukur anggota keluarga selamat.Kalaupun tidak,semua wajib untuk tabah dan ikhlas. Banyak hal terjadi di luar kendali. Nyawa seperti tidak ada harganya. Bahkan menyaksikan kematian yang mengenaskan bukan lagi dianggap tragedi, justru dibiasakan. 

Bagi kita di Indonesia, kisah seperti itu seperti buku lama zaman perjuangan kemerdekaan dulu. Tapi tidak untuk Palestina dan Israel. Sampai hari ini, kedua negara ini terus hidup dalam ketidakpastian karena rasa curiga, takut, dan marah yang sangat besar antara yang satu dan yang lainnya. Jika yang satu mendapat tepuk tangan dari dunia, yang lain berpanas hati. 

Demikian pula sebaliknya. Tanpa disadari, masingmasing pihak terus mengabadikan perseteruan di antara mereka. Karena perseteruan antarmereka sangat dalam, dunia pun ikut jadi pemandu sorak,berpihak pada yang satu dan mengecam yang lain. Tak heran bila kemudian ada kepentingan-kepentingan eksternal yang menempel pada perseteruan tersebut. 

Kejadian minggu lalu, di mana Majelis Umum Perserikatan Bangsa (PBB) melakukan penghitungan suara dan dengan hasil mayoritas mendukung Palestina menjadi negara pengamat nonanggota, adalah momentum penting bagi relasi Palestina-Israel. Di sisi lain, hal ini juga momen refleksi bagi perbaikan relasi antar warga Palestina sendiri. Dengan status baru di PBB tersebut, Palestina ”naik kelas” dalam pergaulan negara dunia. 

Mereka punya hak bicara dalam sidang Majelis Umum dan secara politis lebih diperhitungkan daripada posisi sebelumnya, yang sekadar entitas pengamat sekelas lembaga swadaya masyarakat. Dengan hak bicara dan hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait hal-hal prosedural di PBB, Palestina berkesempatan membuka wacana global yang segar dari Timur Tengah. Ada pula harapan agar Palestina bisa menjadi titik balik hubungan antar negara yang lebih sejuk di TimurTengah. 

Memang jalan ke sana tidaklah sederhana. Israel dan sejumlah pendukungnya mengecam gerakan penetrasi Palestina ke PBB, dan berjanji bahwa ini bukan awal dari suatu negara Palestina merdeka. Sejumlah pengamat mengatakan bahwa kondisi di lapangan di Palestina belum tentu berubah. Sekarang mungkin mereka bersorak-sorai mengelu-elukan Presiden Mahmoud Abbas, tetapi gerakan masyarakat seperti Hamas belum tentu mau mengakui kepemimpinan Abbas.

Ada hal-hal prinsipil yang menjadi pemberat langkah Palestina menjadi negara merdeka. Namun,segala sesuatu yang dianggap berat tentu perlu diletakkan dalam proporsi yang tepat. Keberhasilan Mahmoud Abbas menembus ”pagar tinggi” di Majelis Umum PBB, sebenarnya merupakan sinyal untuk sejumlah hal penting. Pertama, bahwa suara mayoritas di dunia mendukung jalur diplomasi dan damai.

PBB sebagai simbol penting dari cara-cara damai untuk duduk bersama-sama dalam mencari penyelesaian atas tantangan dunia, memberi peluang yang sangat baik bagi Palestina untuk dapat diterima oleh negara-negara dunia. Meskipun sampai saat ini Palestina masih terbentur masalah veto dari negara pendukung Israel, kita sama-sama tahu bahwa hak veto itu sudah dikritik habishabisan oleh negara-negara lain.

Publik juga paham bahwa PBB perlu penyegaran dalam bentuk reformasi Dewan Keamanan bila ingin lebih relevan dalam menjadi penyejuk hubungan antarnegara di dunia. Artinya, konsistensi Palestina mendorong cara-cara diplomasi dan damai justru akan mendorong gerakan perubahan yang damai pula. Kedua, baik di Palestina maupun Israel sesungguhnya ada kelompok-kelompok masyarakat yang pragmatis. Mereka lelah dengan segala ketidakpastian politik yang berimbas buruk pada kondisi ekonomi di Palestina ataupun Israel. 

Dalam sejumlah kejadian dapat dilihat bahwa warga yang menjadi korban kekerasan militer dirawat bersebelahan, meskipun yang satu berkebangsaan Israel dan yang lain Palestina. Tak ada sedikitpun kebencian dalam raut muka keduanya ketika harus berdampingan seperti itu. Warga Israel pun tidak terdiri atas satu suara yang tunggal terhadap Palestina. Israel di dalam negeri adalah sebuah negara dengan politik demokrasi yang sangat dinamis.

Mereka memilih pemimpin berdasarkan kebutuhan saat itu. Jika mereka merasa relatif aman, mereka akan memilih partai yang lebih condong centrist (garis tengah) atau kiri. Jika mereka resah, partai garis kanan yang ”keras bicaranya” dan ”tegas bertindak” akan dipilihnya. Tapi jangan lupa, partai di Israel tidak bisa murni di haluan kiri ataupun kanan. 

Mereka wajib memenangkan suara mayoritas masyarakat di ”tengah”, jadi sebenarnya cara kekerasan yang mereka ambil bukanlah harga mati. Memang dalam banyak hal Israel tak ingin melepas satu inci pun tanah di Jalur Gaza ataupun Tepi Barat. Namun, kita juga tahu bahwa persoalan pembagian perbatasan tidak harus mengorbankan warga sipil di ujung kematian.

Dalam era masa kini, dengan diakuinya hak Palestina di PBB, sebenarnya politisi perlu mawas diri dengan mengakui bahwa ada cara-cara pragmatis menyelesaikan sengketa Palestina dan Israel yang nyaman bagi masyarakat yang awam politik, misalnya melalui pengelolaan bersama. Ketiga, naiknya status Palestina mensyaratkan konsolidasi internal antara Fatah dan Hamas yang lebih kuat lagi di masa depan. 

Cara-cara yang diambil Hamas untuk menunjukkan kapasitas dan power-nya, baik terhadap Israel maupun terhadap masyarakat Palestina sendiri, dikagumi beberapa pihak, tetapi tampaknya lebih banyak mendatangkan ketidaksimpatian pada Palestina. Pemerhati hak asasi manusia menyoroti caracara Hamas mengendalikan Jalur Gaza yang tidak sejalan dengan kecenderungan pemerintahan yang demokratis di dunia. 

Kalaupun seluruh masyarakat Palestina sepakat dengan cara Hamas mengelola pemerintahan, kecil kemungkinannya bahwa negara-negara lain yang menghargai pluralitas dalam kehidupan bernegara akan mendukung cara-cara yang diambil Hamas. Jangan lupa, Palestina terdiri atas dua kelompok etnis: Yahudi dan Arab. Dan, tidak semua warga Arab menyetujui ideology Hamas. 

Dalam konteks politik abad ke-21, Palestina masih saja ibarat pusaran air laut yang menarik seluruh energi dan perhatian bangsa-bangsa di dunia. Saat ini pengaruh dominan terhadap Palestina dan Israel datang dari Amerika dan Eropa. Situasi ini perlu diimbangi dengan peran politik negara-negara yang saat ini menikmati pertumbuhan ekonomi seperti India, Indonesia, Brasil, atau China, apalagi mereka relatif independen dari pengaruh kekuatan Barat. 

Sebagai negara-negara yang pernah merasakan penindasan saat kolonialisme dan sekarang naik menjadi negara yang kuat ekonominya, ada bekal untuk bisa memahami proses perundingan perdamaian Palestina-Israel secara lebih baik ketimbang Amerika dan Eropa. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar