Momentum
Perbaikan Swasembada Daging Sapi
Bustanul Arifin ; Guru Besar Universitas Lampung dan Professorial
Fellow di InterCAFE dan MB-IPB
|
KOMPAS,
03 Desember 2012
Diskusi publik dan silang
pendapat soal ekonomi daging sapi belum menemukan titik terang. Posisi setiap
pemangku kepentingan daging sapi, termasuk pemerintah, masih sulit bergeser
alias tidak mau mengalah.
Peternak
skala kecil dan besar cenderung hati-hati memotong ternak mereka karena
khawatir terhadap lonjakan harga sapi bakalan yang sulit diprediksi. Pedagang
dan importir sapi juga tidak begitu saja melepas stok sapi. Mereka menolak
tuduhan telah mempermainkan pasar sapi dalam negeri.
Kelompok
industri pengolah daging sapi dan produk turunannya sampai harus protes
menuntut penurunan harga daging. Itu karena tumpuan bisnis intinya
menghasilkan pangan olahan berprotein tinggi.
Pemerintah
terus sibuk membahas dan mengutak-atik kuota impor sapi, seakan terjebak
dalam pencarian solusi jangka pendek. Terkesan mereka melupakan langkah utama
dalam pelaksanaan pencapaian target swasembada daging sapi itu sendiri.
Konsumen
akhir di tingkat rumah tangga tidak bersuara lantang. Hal itu disebabkan
cukup tersedia alternatif pemenuhan protein dari daging sapi, utamanya dari
daging ayam, ikan, dan protein nabati. Konsumen rumah tangga ini tidak
terlalu risau atas tingkat konsumsi daging sapi rata-rata di Indonesia yang
di bawah 2 kilogram per kapita, paling rendah untuk Asia Tenggara sekalipun.
Dengan
posisi yang saling bertahan seperti itu, cukup sulit diperoleh solusi
kebijakan yang berwibawa dan mampu berkontribusi pada kepentingan nasional.
Jika semua pihak berbesar hati mencari titik temu dan mengubah posisi menjadi
Saat
kebijakan swasembada daging dicanangkan akhir tahun 2009, target produksi
daging sapi lokal ditetapkan 420.000 ton pada akhir 2014. Angka ini dengan
asumsi laju pertumbuhan penduduk 1,2 persen per tahun. Dengan basis konsumsi
daging sapi 2 kilogram per kapita dan sekitar 200 kilogram daging per sapi
yang dapat dikonsumsi, Indonesia butuh 350.000-400.000 sapi per tahun.
Berdasarkan
hasil sensus penduduk, laju pertumbuhan penduduk 1,5 persen per tahun
sehingga kebutuhan daging sapi akan lebih dari 500.000 ton pada akhir 2014.
Pemerintah membuat perencanaan pengurangan kuota impor sapi secara bertahap,
bahkan drastis, sehingga sering menuai protes, terutama dari importir sapi.
Awalnya, tahun ini, kuota impor diturunkan menjadi 34.000 ton dari 100.000
ton kuota impor tahun 2011.
Saat
Ramadhan dan Idul Fitri 2012, angka kuota impor itu hampir habis. Harga
daging sapi pun naik di atas 20 persen. Berbagai upaya dilakukan para
pemangku kepentingan. Ditambah kisruh daging sapi sejak Idul Adha 2012,
kenaikan harga di atas 30 persen. Pemerintah lantas menyetujui tambahan kuota
impor daging sapi sampai 85.000 ton. Indonesia mengandalkan impor sapi dari
Australia dan Selandia Baru karena ”tradisi ketergantungan” yang lama
terbangun.
Indonesia
pernah coba menyediakan alternatif sumber sapi impor dari India, Brasil, dan
Amerika Serikat untuk produk turunan daging sapi. Namun, hal itu kandas
karena ketentuan legal formal, yakni ancaman penyakit mulut dan kuku pada
sapi, yang terkesan artifisial. Australia bahkan pernah coba mendorong ekspor
daging sapi dan produk olahannya ke Indonesia dengan melempar tuduhan
tindakan kasar pada sapi (
Tahun
2011, Australia sebenarnya sempat pusing karena salah perhitungan dengan
kebijakan swasembada daging sapi Indonesia. Tahun ini, terkesan Indonesia
didikte Australia. Namun, saat pemerintah mengurangi kuota impor daging sapi
tahun 2013 menjadi 80.000 ton, sebagian masyarakat menilai pemerintah cukup
konsisten mencapai target swasembada daging sapi tersebut.
Sekian
macam inkonsistensi inilah yang harus dibenahi untuk memanfaatkan momentum
pencapaian swasembada daging sapi. Pertama, perbaikan basis data stok aktif
sapi potong yang siap dikonsumsi. Pemerintah selalu mengandalkan data Sensus
Sapi 2011 atau Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau Tahun 2011,
yakni 14,8 juta ekor. Dari data ini, Indonesia telah mencapai swasembada
daging.
Fakta
di lapangan, tidak semua populasi ini berupa stok aktif sapi potong. Itu
karena mayoritas peternak Indonesia hanya punya 2-3 sapi yang berupa investasi.
Survei lanjutan yang mengukur stok aktif siap potong harus dilakukan di
setiap kabupaten sehingga neraca pasokan dan kebutuhan daging sapi dapat
diestimasi lebih akurat.
Kedua,
penyediaan sapi bakalan dari dalam negeri lewat pengembangan
Pemerintah
perlu memberikan dukungan penuh bagi peternak dalam negeri, termasuk skala
kecil dan menengah, dengan menyediakan akses permodalan dan pembiayaan bagi
peternak yang mampu melakukan pembibitan. Penyediaan program Kredit Usaha
Pembibitan Sapi (KUPS) saja tidak cukup. Perlu pendampingan
Ketiga,
pembenahan keseriusan dan perhatian sektor perbankan dalam melaksanakan
penyaluran KUPS. Perlu kerja sama lebih erat dengan petugas teknis
peternakan, saling memahami tugas dan tanggung jawab masing-masing. Di
tingkat politis, anggota parlemen bersama Kementerian Keuangan, Bank
Indonesia, dan Kementerian Pertanian wajib mencari titik temu pembahasan
skema pembiayaan dan asuransi pertanian dalam kerangka Rancangan
Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Keempat,
peningkatan produktivitas dan perbaikan reproduktivitas ternak sapi lokal,
dengan dukungan bimbingan teknis dan ekonomis kepada peternak, serta
pemberian insentif dan fasilitasi ekonomi yang memadai kepada peternak.
Apabila badan usaha milik negara secara serius berminat melakukan usaha
penggemukan sapi, melalui integrasi dengan kebun sawit, misalnya, hal itu
perlu melibatkan kaum profesional peternakan yang telah teruji keandalannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar