Kerikil Status
Baru Palestina
Aziz Anwar Fachrudin ; Analis Politik Timur Tengah,
Koordinator Forum Studi Arab dan Islam atau FSAI
|
JAWA
POS, 03 Desember 2012
PRESIDEN Otoritas Palestina atau Palestinian Authority
(PA) Mahmud Abbas di PBB telah berhasil memperjuangkan kenaikan status
Palestina dari "entitas" menjadi "negara" pengamat
non-anggota (non-member observer state). Jelas, sejak Hari Solidaritas Internasional
untuk Rakyat Palestina (29 November) tahun ini, Palestina resmi menjadi
negara -meski belum mencapai kedaulatan penuh.
Di Majelis Umum PBB, 138 negara menyetujui proposal Abbas. Sebanyak 41 abstain dan 8 negara menolak. Hasil voting ini tegas menandakan bahwa mayoritas warga dunia sudah jengah dengan janji-janji negosiasi Israel yang tak ditepati. Pasalnya, alasan utama penentangan Israel dan AS terhadap proposal Abbas adalah bahwa kedaulatan Palestina dan perdamaian sejati (genuine peace) mesti diselesaikan lewat mekanisme bilateral. Menlu AS sempat berkomentar, manuver Abbas di PBB itu bisa merusak proses negosiasi bilateral dengan Israel. (International Herald Tribune, 29/11). Namun, faktanya, negosiasi bilateral kerap menemui jalan buntu, bahkan didikte Israel-AS. AS menunjukkan sikap multistandar: di negara lain ia kerap melakukan intervensi, namun dalam kasus Israel-Palestina ia melarang negara lain turun tangan. Israel sendiri terus melanggar dengan belum dihentikannya pembangunan permukiman Israel di Jerusalem Timur dan Tepi Barat yang milik Palestina. Pelanggaran di depan mata yang dibiarkan AS seperti inilah yang menjadi nilai tawar PA di mata masyarakat dunia. PA tidak punya opsi lain untuk memperjuangkan kedaulatannya selain melalui mekanisme multilateral, yakni mengajukan kedaulatan ke PBB. Selain itu, dari hasil voting itu didapat satu fakta menarik: Prancis mendukung tegas kedaulatan Palestina, sementara Inggris dan Jerman abstain. Banyak pakar menyatakan, ada friksi politis di tubuh Uni Eropa menyikapi dominasi Washington terhadap konstelasi politik Timur Tengah. Prancis mulai menunjukkan sikap oposisional terhadap Gedung Putih. Sedangkan Inggris dan Jerman, tersebab eratnya hegemoni ekonomi Yahudi di sana, memilih "jalur aman". (Council on Foreign Relations, 30/11). Fragmentasi di tubuh Uni Eropa itu melahirkan keuntungan tersendiri bagi Palestina. Keterpecahan suara di Uni Eropa itu, jika disiasati dengan baik, bisa menjadi daya pengungkit bagi negosiasi Palestina ke depan untuk memperjuangkan keanggotaan penuh di PBB. Ancaman Israel Kemenangan diplomasi Abbas di PBB tentu saja tak boleh membuat Palestina terlena. Ke depan masih banyak kerikil tajam menghadang. Sejumlah retorika ancaman sudah dilancarkan Israel. Israel pantas khawatir. Manfaat paling utama yang bisa didapat Palestina sebagai negara pengamat adalah mendaftarkan diri di Mahkamah Internasional (ICC) dan kemudian mengajukan perbuatan kriminal Israel, baik dalam perang maupun kejahatan kemanusiaan. Tapi, tak bisa dilupakan juga bahwa di lembaga yang sama, Israel bisa mengajukan gugatan atas tindak terorisme yang dilakukan gerakan -yang diklaim Israel sebagai- teroris di Palestina, misalnya terkait serangan rudal Hamas. Beberapa reaksi negatif AS-Isreal juga dikhawatirkan terjadi. Sebelumnya, ketika Palestina menjadi anggota UNESCO, AS segera menarik suplai bantuannya. Perlu diingat juga, kondisi fiskal dan perekonomian Palestina masih lumpuh dan bergantung pada penghasilan pajak yang dibagi oleh Israel. Pajak ini memang hak Palestina karena Israel memungutnya di Tepi Barat. Ancaman yang dilancarkan Israel muncul, tidak saja dari kubu kanan-konservatif, tapi juga dari kubu kiri. Harian The Jerusalem Post (27/11), misalnya, yang kritis terhadap rezim Netanyahu, menyatakan manuver Abbas itu sebagai "tersesat/salah jalan" (misguided UN bid). Menurut opini redaksi harian itu, Abbas akan mengalami nasib yang sama dengan leluhur pemimpin politik Palestina lalu yang menolakPartition Plan 1947 oleh PBB, yang membagi tanah Palestina menjadi dua: Jewish state dan Arab state. Sejarah mencatat, dan ini juga diakui Abbas, pemimpin Arab membuat "kesalahan" dengan menolak Negara Yahudi dan mengobarkan Perang Arab-Israel I. Penolakan Arab itu wajar karena wilayah Palestina waktu itu bukan tanah kosong. Kawasan itu dihuni warga Arab Palestina, tetapi dipaksa berbagi dengan imigran Yahudi. Inilah awal tragedi Palestina. Alih-alih menyingkirkan Zionis, hak tanah Palestina justru tergerus. Aneksasi Israel juga semakin meluas pasca-Perang 1967. Makna Persatuan Menanggapi kritik Israel itu, rekonsiliasi Hamas-Fatah mutlak dilakukan. Kolumnis harian Asharq Alawsat, Thariq al-Hamid dalam Hadza Huwa al-Intishar menyatakan, selama fragmentasi politik masih menghantui Palestina, dukungan dunia tidak akan kukuh dan Israel akan menemukan celah dan dalih untuk tetap menganeksasi Palestina. Setahun lalu, saat PA mengajukan keanggotaan penuh di PBB (yang akhirnya gagal akibat diveto AS), Hamas menanggapi sinis dengan menyatakan bahwa Abbas bukan representasi sah Palestina dan melangkahi hak politik Hamas. Dari sisi sebaliknya, saat perang mutakhir Hamas-Israel terjadi, sama sekali tidak ada komentar pembelaan tegas dari PA terhadap Hamas. Namun, yang menunjukkan sinyal positif adalah, selepas gencatan Hamas-Israel itu, pimpinan Hamas, Khalid Meshal, mengutarakan ajakan kepada Fatah untuk bersatu kembali. Ini menandakan sudah muncul sikap realistis dan terbuka dari Hamas untuk rekonsiliasi. Ajakan Hamas itu harus disambut positif oleh Abbas. Rekonsiliasi menjadi landasan utama bagi terwujudnya kesatuan dukungan masyarakat dunia kepada Palestina. Dukungan penuh dari luar dan persatuan politik dari dalam diharapkan bisa meningkatkan nilai tawar Palestina untuk mendapatan keanggotaan penuh, bukan sekadar pengamat, di PBB. Jika rekonsiliasi Hamas-Fatah tidak juga terwujud, sementara kondisi de facto Palestina masih remuk-redam di sana-sini, kemenangan Palestina mendapatkan kedaulatan itu, sebagaimana kritik AS, hanya menjadi "kemenangan simbolis". Tentu saja harapan sinis AS itu harus dijawab oleh internal Palestina. ● |
Ass.ww, saya heran pak, apa sesungguhnya motivasi Israel dan amerika dan sekutunya itu ? kalau dibilang menjajah juga bukan, ingin menguasai juga bukan. Kalau Israel mau, dibantu amerika dan sekutunya itu paling lama sebulan palestina dikuasai alias ludes. Kelihatannya palestina cuma dijadikan tempat uji senjata dan show of force senjata saja barangkali. Gitu deh menurut saya pak, makanya mereka akan terus berjuang agar palestina tetap kacau dan gampang dibuat latihan hidup. terima kasih pak..wsl.ww
BalasHapus