Selasa, 18 Desember 2012

Gebrakan Dahlan-Dipo Tak Boleh Berhenti


Gebrakan Dahlan-Dipo Tak Boleh Berhenti
Laode Ida ;  Wakil Ketua DPD RI
SINDO, 17 Desember 2012


Menteri Sekretaris Kabinet Dipo Alam akhir-akhir ini mendapat perhatian khusus dari masyarakat luas akibat gebrakannya yang (seolah meniru Meneg BUMN Dahlan Iskan) mengungkap perilaku korup dan atau praktik permafiaan yang dilakukan pimpinan fraksi di DPR dan jajaran kementerian. 

Berdasarkan masukan dari sejumlah kementerian sebagai respons atas surat edaran yang dikirimnya, Dipo membeberkan sejumlah modus “praktik perampokan” rakyat itu, sekaligus memperkuat laporan Menteri BUMN itu—kendati yang disebut terakhir telah secara politik dianggap kurang berdasar oleh BK DPR dan kemudian sekadar memberi sanksi ringan bagi para oknum yang dituduh terindikasi. 

Dipo agaknya sangat serius dengan gerakannya itu karena bukan saja ngomong, melainkan juga langsung melaporkannya ke KPK sehingga menteri yang terkait merasa tak nyaman. Tapi, sejumlah kritik pun dilontarkan kepadanya. Ada yang menganggapnya sebagai telah melampaui batas, merasa sebagai “The Real President”. 

Bahkan ada yang mencemoohnya sebagai bagian dari yang memperburuk citra Istana (SINDO,11/12/2012,). Barangkali kritik seperti itu memiliki dasar pembenaran. Apalagi ada banyak pihak yang terkait baik tuduhan Dahlan Iskan maupun Dipo Alam yang bagai tersambar petir dan kebakaran jenggot, bahkan di antaranya mengancam untuk mempersoalkannya secara hukum karena dianggap bagian dari pencemaran nama baik. 

Kecuali itu, ada yang juga menganggap bahwa pernyataan dua menteri tersebut hanya cari popularitas karena jika memang ada data yang dimiliki, seharusnya melaporkan saja pada KPK. Ya, begitulah. Sikap marah pihak-pihak terduga itu tentu wajar-wajar saja karena merasa dipermalukan di publik.Namun, manuver “ekstrem nan kontroversial” yang dilakukan Dahlan dan Dipo merupakan langkah positif dan maju dalam upaya pemberantasan korupsi dan mafia anggaran menuju “pemerintahan yang baik dan bersih”. 

Justru terobosan para pejabat dari dalam pemerintahan seperti itulah diharapkan menjadi ujung tombak dan sekaligus bertindak sebagai “sapu pembersih” kotoran yang sampai hari ini jadi sumber penyakit kronis dalam penyelenggaraan pemerintahan di negeri ini. Publik bangsa ini sudah pasti memberi dukungan kuat terhadap gebrakan “dari dalam” seperti itu. 

Kita juga berharap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memback up-nya secara maksimal. Mengapa? Pertama, para pejabat sekelas menteri yang bertekad menjadi “pejuang tegaknya nilai-nilai integritas” sangat jarang ditemukan. Umumnya pejabat di negeri ini, apalagi dari unsur atau titipan parpol, jika jujur diakui, selalu jadi penikmat, memanfaatkan kesempatannya untuk memperoleh materi bagi diri dan kelompoknya. 

Pada tingkat tertentu,dan ini sudah bukan rahasia umum, para pejabat politik baik di eksekutif maupun legislatif bahkan ditempatkan secara khusus untuk berkontribusi dengan berbagai caranya untuk menyumbang materi ke parpol penitipnya. Jika Dahlan dan Dipo tak ditopang oleh Presiden SBY, jelas posisi mereka sangat rentan. 

Soalnya,dua figur tersebut bukan “titipan parpol tertentu” sehingga mudah dapat digoyang atau ditekan secara kuat oleh barisan politisi yang merasa terganggu kebiasaannya. Kecenderungan seperti itu sudah muncul dengan keberadaan pihak tertentu yang secara langsung atau tak langsung meminta Presiden SBY untuk me-reshuffle Dahlan Iskan dengan alasan “melakukan manuver untuk pencitraan saja” dalam menghadapi 2014, termasuk menciptakan ketegangan hubungan BUMNDPR. 

Kedua, pemberantasan korupsi haruslah ditopang oleh kepemimpinan yang kuat. Terkait dengan ini, dalam konteks Indonesia, dua pilar kepemimpinan yang dianggap berperan penting untuk menciptakan “Indonesia bersih dari korupsi dan mafia anggaran”, sekaligus berkontribusi besar dalam menciptakan dan memelihara pemerintahan yang tidak kronis korupsi berikut perilaku para pejabatnya yang buruk dengan terus menerus direproduksi hingga hari ini. 

Pilar pertama adalah eksekutif. Indonesia saat ini di bawah komando Presiden SBY. Jika SBY sungguh-sungguh serius dalam memberantas korupsi dan mafia anggaran seperti yang dijanjikannya dalam kampanye politiknya, sebenarnya tak akan mengalami kesulitan. SBY tak akan kesulitan mengidentifikasi para figur bersih dan mau melakukan pembersihan (seperti fenomena terakhir dilakukan oleh Dahlan dan Dipo) untuk menjadi pembantunya sekaligus memintanya agar menjalankan birokrasi instansi yang dipimpinnya secara profesional. 

Karakter figur pembantu presiden seperti ini dengan sendirinya bisa menjaga instansinya agar tetap berada di jalur yang benar dan bersih, sekaligus “bisa melawan” jika ada upaya untuk merusak sistem dan nilai-nilai integritas di dalam lembaganya. Tetapi, apa yang terjadi selama ini adalah terasa sekali Presiden SBY sulit untuk keluar dari tekanan kepentingan parpol ketika hendak mengangkat para pembantunya. 

Para pembantu yang diangkat pun, seperti salah satu modus yang diungkap Dipo Alam, memiliki para staf khusus (baik nonparpol maupun parpol) yang begitu leluasa melakukan intervensi untuk memperoleh anggaran. Artinya, selama ini Presiden SBY terus membiarkan atau bersikap “tutup mata dan telinga” terhadap perilaku aparat terkait pembantunya yang bekerja khusus dengan cara-cara yang korup.

Jika di antara staf khusus itu terkena kasus misalnya, jangan heran jika sang bos (baca: menteri) akan lepas tangan dan cuci tangan sehingga seolah-olah bersih, padahal sesungguhnya mereka beroperasi “atas penugasan sang bos”. Pilar kedua yang berperan penting adalah jajaran kepemimpinan lembaga politik baik suprastruktur (parlemen) maupun infrastruktur (parpol). 

Kita tahu bahwa parlemen negeri ini,meskipun dikonsepsikan dua kamar (DPR dan DPD), yang sangat powerful adalah DPR—lembaga yang mewakili rakyat dan sebagai perpanjangan tangan kepentingan parpol. Anggaran negara ini sangat bergantung persetujuan lembaga parlemen ini tanpa ada yang melakukan recheck atau mengontrolnya sebagaimana terjadi di negara-negara demokrasi maju yang memiliki sistem dua kamar. 

Mitra utama dalam memproses dan mengambil kebijakan anggaran hanyalah pihak eksekutif, yang juga umumnya dipimpin oleh figur yang berasal dari parpol, sehingga sudah saling tahu motivasi, keinginan, dan kepentingan masing-masing. Semua itu juga diperkuat oleh perilaku korup aparat yang selama ini melekat dan terus direproduksi dalam instansi eksekutif.

Persekongkolan jahat antara pihak parlemen dan eksekutif, seperti contoh penggelembungan anggaran yang diungkap oleh Dipo Alam, bisa mudah disepakati. Jika jujur diakui, kepemimpinan parlemen kita di era reformasi ini terlalu lemah dalam kaitan komitmen untuk penciptaan lembaga wakil rakyat yang bersih.

Apalagi pihak parpol, di mana “figur-figur pilihan” diposisikan secara strategis di parlemen adalah mereka “bisa memenuhi target kepentingan parpol” yakni ada pemasukan dana. Semua itu juga diperkuat dengan sumber pendanaan parpol yang sangat tidak menentu sehingga tak heran jika sebagian oknum politisi “bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan dana untuk parpolnya” dengan cara-cara yang belakangan ini seperti diungkap oleh Dahlan dan Dipo itu. 

Artinya, parlemen kita belum menunjukkan kecenderungan komitmen kuatnya untuk mewujudkan substansi agenda reformasi.Yang terpenting, baik Dipo maupun Dahlan tak boleh berhenti melakukan manuver untuk berkontribusi menciptakan “gerakan bersih-bersih dari dalam”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar