Krisis dan
Moralitas Pancasila
Imam Munadjat ; Ketua Harian Sjafruddin Prawiranegara
Centre for Islamic Finance Studies Universitas Islam Sultan Agung (Unissula)
Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 17 Desember 2012
"Mencegah kemeluasan krisis bangsa hanya bisa dilakukan
dengan mengembalikan situasi negeri ini ke titik normal"
AWAL November 2012, ketika
artikel saya ”Karakter dan Sindroma
Eristik” dimuat media ini, seorang teman mengkritik kenapa hanya
menyoroti masyarakat yang lebih suka mendiskusikan tanpa pernah merumuskan
jalan keluar. Kenapa saya tidak menyoroti sikap para pemimpin dan pengambil
keputusan di negeri ini, yang sudah keluar dari khitah sebagaimana digariskan
para founding father?
Kritik itu menyadarkan saya
pada pemikiran Dr H Yudi Latif, Ketua Pusat Studi Pancasila, dan penulis buku
Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Waktu
itu dia menyampaikan buah pemikiran bertajuk ”Mengatasi Krisis dengan Kepemimpinan Berkarakter Pancasila” pada
seminar tentang kepemimpinan nasional menyambut Tahun Baru Hijriah 1434 di
kampus Unissula.
Menurut Yudi, krisis di negeri
ini lebih disebabkan oleh perkembangan (demokrasi) yang berlangsung dalam
kerapuhan. Politik sebagai teknik berkembang makin canggih namun politik
sebagai etika berbangsa dan bernegara justru merapuh. Makna dan praktik
politik sebagai perjuangan mewujudkan kebajikan bersama tereduksi, menjadi
sekadar perjuangan kuasa demi kuasa oleh kelompok gila kuasa.
Politik terpisah dari etika,
bak air dengan minyak. Karena itu, kebajikan dasar kehidupan berbangsa dan
bernegara, seperti ketakwaan, perikemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan
keadilan, mengalami pelumpuhan. Akibat lebih fatal, kepemimpinan negara
tercerabut dari suasana kebatinan rakyat.
Elite politik lebih
mengutamakan kenyamanan pribadi ketimbang memajukan kesejahteraan dan
keadilan sosial. Perhatian mereka pun lebih mengarah dan mengutamakan
pencitraan bukan mengelola kenyataan atau realitas di masyarakat.
Fakta ketercerabutan
kepemimpinan negara dari realitas, yang diikuti hilangnya kepekaan berdampak
pada sikap yang lebih memikirkan kepentingan pribadi. Padahal sejatinya
rakyat menunggu pemikiran dan kiprah kepemimpinan para elite untuk
didarmabaktikan kepada bangsa dan negara.
Krisis awal pun muncul karena
pengelola negara lebih berpikir dan berpihak pada upaya menyamankan diri
ketimbang berpikir dan bertindak melaksanakan kewajiban terhadap bangsa demi
menyejahterakan dan mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat.
Kondisi inilah yang menjadi
titik pangkal kelahiran krisis multidimensi yang bermula dari krisis
kepemimpinan bangsa. Pemimpin suatu bangsa dikatakan ada dan keberadaannya
diakui ketika ia hadir dan berada dalam ”alam kesadaran” dan penderitaan
rakyat yang dipimpinnya.
Dalam konteks ini, menjadi
menarik untuk kembali menyimak wejangan Presiden pertama RI Bung Karno, ”... seseorang tak dapat memimpin massa
rakyat jika tidak masuk ke dalam lingkungan mereka.” Penerjemahan
teks ”tidak masuk ke dalam lingkungan” adalah keterasingan pemimpin dari
realitas kehidupan masyarakat.
Moral Rakyat
Mengatasi krisis multidimensi
dan mencegah kemeluasan krisis bangsa hanya bisa dilakukan dengan cara
mengembalikan situasi negeri ini ke titik normal. Situasi normal adalah suatu
keadaan berlakunya norma dan pemulihan keteraturan seperti awal mula negara
ini berdiri. Normalitas ini adalah buah usaha dari pemimpin bangsa
mengaktualisasikan peran transformatif ke-pemimpinan mereka yang berorientasi
pada kemaslahatan umat.
Peran serupa pernah diberikan
pendiri bangsa ini yang sangat sadar bahwa moral kenegarawanan pemimpin
sangat besar artinya dalam penyelenggaraan dan pengelolaan negara. Moral
kenegarawanan itu terlihat pada komitmen dan penghayatan terhadap Pancasila
dan UUD 1945, sebagaimana ditegaskan Pokok Pikiran Ke-4 Pembukaan UUD 1945.
Pancasila adalah wujud
kesepakatan keinginan bersama rakyat menyatukan bangsa ini dan merupakan
nilai dasar yang harus mewujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara oleh
seluruh rakyat, tanpa pandang bulu. Krisis kepemimpinan (Pancasila) membawa
pemimpin dan penyelenggara negara abai terhadap amanah yang mereka emban.
Cerminan itu bisa kita lihat
dari bentuk pengabaian, seperti kebergeseran orientasi dari memihak
kepentingan rakyat, melaksanakan amanah konstitusi memajukan kesejahteraan
umum, berubah menjadi keberpihakan pada kenyamanan dan kemapanan pribadi.
Pergeseran orientasi itu
menyebabkan ketidakpedulian pada kondisi masyarakat dan lingkungan, yang pada
gilirannya melahirkan apatisme terhadap realitas, sepanjang tidak mengganggu
kemapanan atau tidak terkait dirinya.
Penyembuhan segala krisis hanya
dapat terwujud dengan kembali ke situasi normal dan indikasi itu bisa kita
lihat dari usaha dan kemauan dari pemimpin bangsa untuk kembali
mengaktualisasikan peran transformatif kepemimpinan yang berorientasi pada
kemaslahatan masyarakat, bukan kenyamanan individu.
Apakah itu mungkin dilakukan?
Seandainya ada yang mendalihkan tak ada urusan di dunia yang mustahil
dilakukan, pertanyaan yang lebih cerdas adalah maukah pemimpin dan
penyelenggara negara melakukan? Bersediakah melepaskan diri dari kenyamanan
yang sudah mengkristal di hati dan pikiran, serta dalam keseharian hidup? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar