Selasa, 18 Desember 2012

Krisis dan Moralitas Pancasila


Krisis dan Moralitas Pancasila
Imam Munadjat ;  Ketua Harian Sjafruddin Prawiranegara Centre for Islamic Finance Studies Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang
SUARA MERDEKA, 17 Desember 2012


"Mencegah kemeluasan krisis bangsa hanya bisa dilakukan dengan mengembalikan situasi negeri ini ke titik normal"

AWAL November 2012, ketika artikel saya ”Karakter dan Sindroma Eristik” dimuat media ini, seorang teman mengkritik kenapa hanya menyoroti masyarakat yang lebih suka mendiskusikan tanpa pernah merumuskan jalan keluar. Kenapa saya tidak menyoroti sikap para pemimpin dan pengambil keputusan di negeri ini, yang sudah keluar dari khitah sebagaimana digariskan para founding father?

Kritik itu menyadarkan saya pada pemikiran Dr H Yudi Latif, Ketua Pusat Studi Pancasila, dan penulis buku Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Waktu itu dia menyampaikan buah pemikiran bertajuk ”Mengatasi Krisis dengan Kepemimpinan Berkarakter Pancasila” pada seminar tentang kepemimpinan nasional menyambut Tahun Baru Hijriah 1434 di kampus Unissula.

Menurut Yudi, krisis di negeri ini lebih disebabkan oleh perkembangan (demokrasi) yang berlangsung dalam kerapuhan. Politik sebagai teknik berkembang makin canggih namun politik sebagai etika berbangsa dan bernegara justru merapuh. Makna dan praktik politik sebagai perjuangan mewujudkan kebajikan bersama tereduksi, menjadi sekadar perjuangan  kuasa demi kuasa oleh kelompok gila kuasa.

Politik terpisah dari etika, bak air dengan minyak. Karena itu, kebajikan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti ketakwaan, perikemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan, mengalami pelumpuhan. Akibat lebih fatal, kepemimpinan negara tercerabut dari suasana kebatinan rakyat.

Elite politik lebih mengutamakan kenyamanan pribadi ketimbang memajukan kesejahteraan dan keadilan sosial. Perhatian mereka pun lebih mengarah dan mengutamakan pencitraan bukan mengelola kenyataan atau realitas di masyarakat.
Fakta ketercerabutan kepemimpinan negara dari realitas, yang diikuti hilangnya kepekaan berdampak pada sikap yang lebih memikirkan kepentingan pribadi. Padahal sejatinya rakyat menunggu pemikiran dan kiprah kepemimpinan para elite untuk didarmabaktikan kepada bangsa dan negara.

Krisis awal pun muncul karena pengelola negara lebih berpikir dan berpihak pada upaya menyamankan diri ketimbang berpikir dan bertindak melaksanakan kewajiban terhadap bangsa demi menyejahterakan dan mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat.
Kondisi inilah yang menjadi titik pangkal kelahiran krisis multidimensi yang bermula dari krisis kepemimpinan bangsa. Pemimpin suatu bangsa dikatakan ada dan keberadaannya diakui ketika ia hadir dan berada dalam ”alam kesadaran” dan penderitaan rakyat yang dipimpinnya.

Dalam konteks ini, menjadi menarik untuk kembali menyimak wejangan Presiden pertama RI Bung Karno, ”... seseorang tak dapat memimpin massa rakyat  jika tidak masuk ke dalam lingkungan mereka.” Penerjemahan teks ”tidak masuk ke dalam lingkungan” adalah keterasingan pemimpin dari realitas kehidupan masyarakat.

Moral Rakyat

Mengatasi krisis multidimensi dan mencegah kemeluasan krisis bangsa hanya bisa dilakukan dengan cara mengembalikan situasi negeri ini ke titik normal. Situasi normal adalah suatu keadaan berlakunya norma dan pemulihan keteraturan seperti awal mula negara ini berdiri. Normalitas ini adalah buah usaha dari pemimpin bangsa mengaktualisasikan peran transformatif ke-pemimpinan mereka yang berorientasi pada kemaslahatan umat.

Peran serupa pernah diberikan pendiri bangsa ini yang sangat sadar bahwa moral kenegarawanan pemimpin  sangat besar artinya dalam penyelenggaraan dan pengelolaan negara. Moral kenegarawanan itu terlihat pada komitmen dan penghayatan terhadap Pancasila dan UUD 1945, sebagaimana ditegaskan Pokok Pikiran Ke-4 Pembukaan UUD 1945.

Pancasila adalah wujud kesepakatan keinginan bersama rakyat menyatukan bangsa ini dan merupakan nilai dasar yang harus mewujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara oleh seluruh rakyat, tanpa pandang bulu. Krisis kepemimpinan (Pancasila) membawa pemimpin dan penyelenggara negara abai terhadap amanah yang mereka emban.

Cerminan itu bisa kita lihat dari bentuk pengabaian, seperti kebergeseran orientasi dari memihak kepentingan rakyat, melaksanakan amanah konstitusi memajukan kesejahteraan umum, berubah menjadi keberpihakan pada kenyamanan dan kemapanan pribadi.

Pergeseran orientasi itu menyebabkan ketidakpedulian pada kondisi masyarakat dan lingkungan, yang pada gilirannya melahirkan apatisme terhadap realitas, sepanjang tidak mengganggu kemapanan atau tidak terkait dirinya.  

Penyembuhan segala krisis hanya dapat terwujud dengan kembali ke situasi normal dan indikasi itu bisa kita lihat dari usaha dan kemauan dari pemimpin bangsa untuk kembali  mengaktualisasikan peran transformatif kepemimpinan yang berorientasi pada kemaslahatan masyarakat, bukan kenyamanan individu.

Apakah itu mungkin dilakukan? Seandainya ada yang mendalihkan tak ada urusan di dunia yang mustahil dilakukan, pertanyaan yang lebih cerdas adalah maukah pemimpin dan penyelenggara negara melakukan? Bersediakah melepaskan diri dari kenyamanan yang sudah mengkristal di hati dan pikiran, serta dalam keseharian hidup?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar