Minggu, 09 Desember 2012

Ekonomi Politik Migas Kita


Ekonomi Politik Migas Kita
Safrian Adam Farizi ;   Pengamat Masalah Migas, 
Alumni Teknik Perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB)     
SINDO, 08 Desember 2012


Pembubaran Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (BP Migas) memang telah berlangsung dua pekan lalu,tepatnya tanggal 13 November 2012, ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan para pengaju judicial review UU Migas Nomor 22/2001. 

Kewenangan pelaksana saat ini “dititipkan” di bawah Kementerian ESDM dengan nama SKSP Migas (Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Hulu Migas) yang berlandaskan PP Nomor 95/2012. Benarkah keputusan kontroversial ini dapat mencegah kerugian negara dan mencegah penguasaan asing di sektor migas lebih lanjut? Mari kita coba lihat dengan kacamata yang lebih luas. 

Keputusan pembubaran BP Migas ini dirasa tepat bagi sebagian kalangan karena ia dianggap meliberalisasi sektor migas dengan mengundang banyak kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) asing untuk mengeruk migas Indonesia. Hal ini diperlihatkan oleh fakta bahwa di antara sekitar 280 KKKS yang berkontrak di Indonesia saat ini,75% di antaranya adalah KKKS asing.Belum lagi ia dirasa “menurunkan martabat” pemerintah karena praktek G to B (government to business) dalam kontrak migas, sekaligus membuat kaku rantai birokrasi migas. 

Selain itu, ketiadaan Wali Amanat di atas direksi BP Migas membuat rakyat curiga akan terjadinya kongkalikong di sektor migas. Dosa-dosa tersebut dianggap tertebus dengan pembubaran BP Migas. BP Migas juga dianggap merugikan perekonomian negara dengan kontrol yang lemah terhadap pelaporan cost recovery, sehingga pada tahun ini negara harus membayar cost recovery sebesar USD15,5 miliar dengan produksi migas yang justru terus menurun.Bukankah makin banyak yang negara bayar, harusnya produksi makin naik? 

Nature dari Bisnis di Sektor Migas 

Ada beberapa hal yang belum dipahami oleh masyarakat tentang proses dalam bisnis migas. Salah satu yang penulis ingin soroti adalah stigma penguasaan asing di sektor migas. Tidak dapat dimungkiri memang saat ini mayoritas KKKS adalah milik asing,namun kita memang masih membutuhkan mereka. Apa pasal? Mudah saja,Indonesia terbukti belum dan tak akan siap untuk merisikokan uang ratusan juta bahkan miliaran dolar dari rakyat untuk “berjudi” dalam proses eksplorasi yang makin mengarah pada laut dalam dan wilayah Indonesia timur. 

Perlu dicatat, pada sistem production sharing contract (PSC) yang dianut saat ini, cost recovery baru diberikan apabila eksplorasi berhasil menemukan minyak dan tidak akan diganti (sebesar apa pun yang dirisikokan) apabila sumur yang dibor kering,tidak ada minyak. Hanya KKKS asing saja yang saat ini sanggup “berjudi” dalam proses eksplorasi ini. Sebagai catatan, di lepas pantai laut dalam (deepwater) di Selat Makassar, USD100 juta dapat dirisikokan hanya untuk satu sumur kosong pada masa eksplorasi, sementara eksplorasi butuh hingga 3-4 sumur. 

Mengapa pemain dalam bisnis ini wajib untuk berani berinvestasi risiko tinggi, tidak seperti industri lain yang berinvestasi dengan return yang terhitung jelas? Karena memang inilah nature dari bisnis eksplorasi migas dan karena inilah kita masih membutuhkan asing di sektor ini. Patut dicermati juga, risiko eksplorasi akan makin besar apabila pemerintah tidak mau untuk menyisihkan sebagian pendapatan dari sektor migas untuk dikembalikan pada sektor migas sendiri dengan bentuk perbaikan mutu data eksplorasi awal yang ditawarkan pada calon investor. 

Saat ini sebagian besar pemasukan dari sektor migas masuk ke APBN, dan kecilnya dana yang dikembalikan ini berdampak pada buruknya mutu data awal yang ditawarkan pada investor, yang juga berdampak pada makin besarnya risiko eksplorasi dan ketidakmauan investor untuk berinvestasi. Anggapan cost recovery yang makin besar, produksi migas harus naik juga tidak sepenuhnya benar. Cost recovery memang memperbesar kemungkinan untuk makin naiknya produksi migas di Indonesia, namun selama belum ada eksplorasi baru yang menghasilkan cadangan migas dengan jumlah lumayan, cost recovery hanya berfungsi untuk menahan penurunan produksi. 

Perlu Pembenahan 

Sesuai amanat konstitusi, migas harus diusahakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam hal ini, penolakan Pertamina untuk menerima kembali fungsi regulator sebagaimana diucapkan oleh Dirut Pertamina sendiri memang merupakan langkah baik agar Pertamina tidak mengulangi kesalahan masa lampau di era Ibnu Sutowo. Seharusnya,negara bertindak cepat dengan membentuk BUMN baru untuk selanjutnya bermitra dengan KKKS yang ada untuk mengusahakan sektor migas di Indonesia, karena memang SKSP Migas hanya bersifat sementara. 

Sistem ini kemudian akan mirip dengan yang ada di China, yaitu terdapat lebih dari satu BUMN yang mengelola migas, yaitu Petrochina dan CNOOC. Sekalipun memang pada awal pembentukannya akan sulit, BUMN baru ini nantinya akan sangat fungsional dalam menjalankan amanat konstitusi sekaligus menghindari dualisme kontraktor-regulator. BUMN baru dapat dibentuk dengan memisahkan anak perusahaan Pertamina yang dipandang cocok apabila permodalan pemerintah belum tersedia, namun apabila memang telah tersedia, pembentukan BUMN yang baru juga bisa menjadi pilihan. 

Di bawah BUMN baru ini, pola kerja sama dengan KKKS akan menjadi pola B to B (business to business) yang lebih mengarah pada kemitraan, bukan pengawasan seperti di bawah BP Migas.Dua BUMN di sektor migas ini juga nantinya diharapkan dapat mempercepat penguasaan sektor migas oleh anak bangsa, sekaligus meningkatkan kompetensi dan permodalan BUMN migas kita untuk go international. Pembenahan sektor migas di Indonesia tidak semudah mengetok palu dan pernyataan inkonstitusional. 

Revisi UU Migas yang sedang berjalan jangan sampai dilupakan, karena juga perlu pengawalan untuk menjamin ketahanan energi Indonesia sekaligus semangat kepemilikan bangsa terhadap sektor migas. Terakhir, janganlah urusan di sektor migas kita ini dikotori oleh kepentingan politik dan campur tangan penguasa, karena tidak ada bedanya,membebaskan diri dari segelintir tikus asing dan malah dimakan oleh segerombolan tikus lokal yang lebih rakus. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar