Minggu, 09 Desember 2012

BP Migas, Inefisiensi di Luar Vonis


BP Migas, Inefisiensi di Luar Vonis
Moh Mahfud MD ;   Guru Besar Hukum Konstitusi     
SINDO, 08 Desember 2012


Agak kaget juga saya setelah pada Rabu sekitar pukul 08.30 WIB dari Group BBM Warteg Informasi dikirimi copas (copy-paste) berita Wakil Menteri (Wamen) ESDM Rudi Rubiandini mengatakan di forum Golkar bahwa vonis Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pembubaran BP Migas didasarkan pada data yang salah. 
Kata Rudi, data yang dipakai untuk memutus pembubaran BP Migas salah telak karena MK menggunakan data bahwa negara hanya mendapat 12% dari minyak dan gas (migas), padahal menurut Rudi yang benar negara mendapat 65%. Saya langsung balas copas itu bahwa Wamen ESDM-lah yang salah, dia tidak tahu cara membaca vonis MK. Dia juga mungkin hanya membaca gosip atau berita dari berita dan dari berita lagi tentang vonis MK yang menggegerkan itu. Biasalah, sering kali orang tidak membaca sumber asli dan hanya membaca berita yang tak akurat dan langsung diceramahkan. 

Kalau itu dilakukan oleh pejabat sungguh tak elok.Masakmenyimpulkan satu hal yang serius hanya dari gosip di pinggir jalan. Coba dicek putusan MK yang lengkap, yang bukan komentar atas komentar. Tidak ada sama sekali data pemasukan gas negara sebesar 12%. Mungkin saja dalam keseluruhan vonis MK ada data yang salah, tetapi itu pasti bukan pendapat yang menjadi dasar vonis. Data seperti itu dimuat di dalam putusan karena data itu muncul di persidangan baik karena dimuat di dalam permohonan( gugatan) maupunkarena dikatakan para saksi/ahli yang dihadirkan para pihak. 

Data yang seperti itu biasanya dimuat di dalam ”duduk perkara” atau di dalam ”pertimbangan hukum,” bukan di dalam ”pendapat mahkamah”, apalagi di dalam ”amar putusan”. Coba cek, Pak Rudi, di bagian mana data 12% yang Anda ributkan itu tercantum di dalam vonis MK. Tidak ada, kan? Taruhlah ada angka yang salah, pasti itu hanya ada di dalam bagian ”duduk perkara” atau di dalam bagian ”pertimbangan hukum”. 

Di dalam dua jenis bagian vonis MK itu memang semua yang dikatakan pemohon (penggugat) dan jawaban pemerintah dan DPR serta kesaksian saksi/ahli pasti dimuat sebagai fakta persidangan, terlepas dari soal benar atau salah. Itulah sebabnya, puji-pujian terhadap BP Migas yang salah pun tetap harus dimuat karena dinyatakan di persidangan resmi.MK kemudian mempunyai penilaian dan pendapat sendiri yang dituangkan di dalam ”pendapat mahkamah, konklusi, dan amar putusan”. 

Kesalahan cara membaca vonis MK sering terjadi juga pada orang-orang emosi karena kalah di dalam perkara pilkada, misalnya karena MK memuat kesaksian orang dari pihak lawan yang kata mereka itu salah.Banyak di antara mereka yang kemudian mencerca dengan emosi bahwa vonis MK salah karena menyebut buktibukti yang salah. Kalau pengacara atau pokrol yang kalah bisa dimaklumi jika bersikap seperti itu, tetapi kalau sekelas wamen tentu menggelikan. 

MK harus mencantumkan bukti-bukti yang katanya salah itu di dalam bagian ”duduk perkara” dan ”pertimbangan hukum” karena muncul sebagai fakta persidangan. Kemudian MK menilai sendiri apakah data atau bukti-bukti itu layak untuk diambil untuk ”pendapat dan amar putusan mahkamah”. Angka pemasukan negara sebesar 12% yang oleh Pak Wamen dikemukakan di dalam diskusi di Golkar itu mungkin bersumber dari diskusi-diskusi atau berita di luar vonis MK itu sendiri.Kalau data di luar vonis MK yang seperti itu saya pun mempunyai catatannya. 

Menurut catatan saya, dari dunia perbankan misalnya, sejak adanya UU Migas dengan BP Migas-nya itu, sumbangan migas terhadap perekonomian kita justru selalu menurun alias inefisien. Inilah catatan saya. Pertama,sumbangan migas terhadap APBN selalu menurun tajam; pada tahun 1990-an masih mengontribusi 35%, tahun 2006/2007 turun menjadi 20%, dan tahun ini kontribusinya meluncur menjadi hanya 12%. 

Kedua, share gas terhadap ekonomi dalam PDB pada tahun 2000–2002 mencapai 10% sampai 12%, tetapi sekarang hanya menyumbang 5%.Ketiga, share gas terhadap total ekspor pada tahun 1991 mencapai 38%, tetapi sekarang hanya menyumbang 19%. Keempat, ketika Bank Indonesia (BI) mengeluarkan peraturan agar semua kegiatan ekspor dicatatkan melalui bank-bank nasional dengan maksud agar BI bisa memonitor, ternyata ketaatan BP Migas hanya mencapai 30%, padahal ketaatan eksportir lain mencapai 80–- 90%. 

Ini kan menimbulkan tanda tanya besar. Belum lagi adanya fakta bahwa dengan UU Migas yang kemudian BP Migas-nya dibubarkan MK,kedaulatan kita atas migas menjadi hilang. Seperti dikemukakan Kurtubi di dalam berbagai kesempatan, negara ternyata tidak bisa mengalihkan pengapalan LNG dari Papua ke China untuk dibelokkan ke dalam negeri sehingga potensi kerugian negara setiap tahunnya mencapai Rp30 triliun. 

Selain itu tidak dialokasikannya gas dari Train 1 dan Train 2 LNG Tangguh ke dalam negeri menyebabkan PLN harus beralih ke BBM dengan potensi kerugian negara sampai Rp37 triliun setiap tahun. Catatan saya itu bukan bagian dari isi vonis MK, tetapi menjadi pengetahuan umum yang penting untuk dipahami agar kita tidak terkelabui. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar