Selasa, 04 Desember 2012

Deideologisasi Pancasila dan Neo-Politik Aliran


Deideologisasi Pancasila dan Neo-Politik Aliran
Wasisto Raharjo J ;  Peneliti Kajian Politik Lokal di PAU UGM
SINAR HARAPAN, 03 Desember 2012


Tulisan Guru Besar Psikologi UI Prof Sarlito Marwan tentang BP7 yang dimuat di Kompas 7 November 2012 merupakan refleksi dari deideologisasi Pancasila yang melanda generasi muda Indonesia pascareformasi.

Dalam tulisan tersebut dikatakan bahwa ketiadaan lembaga kontrol ideologi negara seperti halnya BP7 telah mengakibatkan adanya radikalisasi dan militansi sipil dengan mengatasnamakan ideologi tertentu.

Hal tersebut merupakan ekses dari dicabutnya Tap MPR No 25/1998 tentang BP7 dan program P4 sehingga masyarakat Indonesia sendiri kemudian berlomba-lomba mencari ideologi “substitusi” dari Pancasila.

Memang Pancasila sebagai ideologi negara dalam perjalanan sejarah tidaklah selalu dilakukan secara konsekuen oleh pemimpin maupun rakyatnya sendiri. Dalam era kepemimpinan Orde Lama yang notabene menciptakan ideologi Pancasila tersebut, Pancasila sendiri dianaktirikan oleh ideologi impor seiring dengan konstelasi ideologi yang berkembang di dunia.

Seperti liberalisme pada era 1950-1960 ditandai dengan euforia tumbuhnya berbagai macam partai politik yang silih berganti menduduki kursi parlemen maupun perdana menteri sehingga menciptakan instabilitas sosial-politik di tingkat pusat dan daerah. Bahkan, ketika muncul ide Pancasila sendiri diganti dengan sistem Westminster ala Barat dalam mengendalikan pemerintahan.

Adanya Nasakom, Resopim, maupun Manipol Usdek sebenarnya juga bentuk pengebirian terhadap Pancasila yang dilakukan penciptanya sendiri. Pada akhirnya, Pancasila tidak lebih hanya hitam di atas putih yang dipigurakan di berbagai instansi publik, namun tanpa pernah mengetahui makna filosofis yang dikandungnya.

Ide Presiden Soeharto tentang pendirian BP7 sebagai pengendali program P4 sebenarnya bagus dari segi konsep. Orde Baru mengajak kembali masyarakat Indonesia memeluk Pancasila sebagai ideologi negara melalui P4 yang digalakkan secara meluas di berbagai instansi publik.

Dengan adanya prinsip satu ideologi Pancasila sebenarnya rezim menginginkan masyarakat tidak terombang-ambingkan dalam konstelasi ideologi. Namun demikian, dalam praktik riilnya di lapangan, Pancasila justru hanya menjadi bahan hafalan bagi setiap masyarakat Indonesia yang ketika itu harus siap memegang buku saku Pancasila ketika ujian penataran P4 dimulai.

Oleh karena itulah, timbul rasa keterpaksaan dari masyarakat untuk menghafal Pancasila karena adanya stigmatisasi komunis, ekstremis, maupun Soekarnois dari rezim begitu tidak lulus dalam ujian penataran P4 tersebut.

Tentu saja stigmatisasi tersebut berimplikasi meluas kepada kehidupan mulai dari cibiran masyarakat, diskriminasi pelayanan publik, penundaan gaji dan pangkat, maupun hal negatif lainnya. Bagi yang tidak lulus ujian P4, akan dibawa ke kursus ideologi di mana setiap warga digembleng dan digojlok habis-habisan oleh aparatus pemerintah untuk menghafal setiap bait dan norma Pancasila.

Adanya mekanisme represif dan koersif yang dilakukan rezim terhadap masyarakatnya membuat Pancasila justru dibenci dan dihujat oleh orang Indonesia sendiri. Intinya terdapat aroma dendam terhadap Pancasila yang dianggap sebagai alat Orde Baru dalam mendisiplinkan warganya agar setia terhadap rezim yang otoriter dan represif.

Prinsip asas tunggal terhadap Pancasila melalui sistem korporatisme merupakan cara meningkatkan loyalitas terhadap pemimpin, meskipun loyalitas tersebut dibangun secara tekstual (textbook) dan seremonial belaka.

Pascareformasi

Terdapat euforia yang besar dari masyarakat luas manakala rezim reformasi mencabut program P4 dan peniadaan BP7 yang tidak sesuai dengan demokrasi karena membatasi orang berekspresi dalam berpolitik.

Ada kelegaan hati yang membuncah dalam benak masyarakat ketika itu untuk tidak lagi menghafal Pancasila karena teringat pada rezim Orde Baru. Kekosongan status quo yang ditinggalkan Pancasila memunculkan berbagai macam ideologi yang tumbuh dan saling berkontestasi satu sama lain untuk menjadi ideologi “resmi” negara.

Analisis As’ad Said Ali (2011) menyebutkan terdapat enam politik aliran baru berbasis ideologi, yang uniknya Marxisme maupun ideologi kiri yang selama Orde Baru dikooptasi, mulai tumbuh lagi seperti yang pernah terekspos dengan munculnya Blog “Partai Komunis Indonesia 2000” beberapa waktu lalu. Enam aliran itu seperti kiri radikal, kiri moderat, kanan-konservatif, kanan liberal, dan islamisme.

Marcus Meitzner (2009) juga menilai terdapat tiga ideologi yang berkembang pesat di akar rumput masyarakat Indonesia seperti nasionalis-soekarnois, islamisme, dan modernisme.

Nasionalis berkembang pesat di kalangan kelompok marginal, islamisme berkembang melalui jaringan tarbiyah kampus, pesantren, maupun kelompok diskusi halaqah yang berkembang di dunia aktivis, dan modernisme merupakan ideologi kaum urban dan kelas menengah baru yang tengah mengalami peningkatan kesejahteraan. Modernisme juga berarti ideologi apatis yang menginginkan tidak ada perubahan radikal dalam pemerintahan.

Pancasila lagi-lagi menjadi senjata bagi kaum nasionalis untuk meningkatkan citra dan elektabilitas di kalangan masyarakat. Pancasila kemudian direproduksi ulang hanya demi kepentingan kuasa dan bukan sebagai payung bagi semua masyarakat Indonesia.

Barangkali memang benar kalau Pancasila adalah gagasan ideologi yang kuat dari segi konsep, namun lemah dari segi implementasi karena hanya menjadi hiasan dinding, bahan diklat, dan protokoler upacara bendera yang sifatnya hanya seremonial dan komplementer.

Sulit bagi kita untuk menemukan penghayatan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari karena semua orang telah terdeideologisasi oleh keadaan yang serbakompromistis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar