Deideologisasi
Pancasila dan Neo-Politik Aliran
Wasisto Raharjo J ; Peneliti Kajian Politik Lokal di PAU UGM
|
SINAR
HARAPAN, 03 Desember 2012
Tulisan Guru Besar Psikologi UI Prof Sarlito Marwan tentang BP7
yang dimuat di Kompas 7 November 2012 merupakan refleksi dari deideologisasi
Pancasila yang melanda generasi muda Indonesia pascareformasi.
Dalam tulisan tersebut dikatakan bahwa ketiadaan lembaga kontrol
ideologi negara seperti halnya BP7 telah mengakibatkan adanya radikalisasi
dan militansi sipil dengan mengatasnamakan ideologi tertentu.
Hal tersebut merupakan ekses dari dicabutnya Tap MPR No 25/1998
tentang BP7 dan program P4 sehingga masyarakat Indonesia sendiri kemudian
berlomba-lomba mencari ideologi “substitusi” dari Pancasila.
Memang Pancasila sebagai ideologi negara dalam perjalanan
sejarah tidaklah selalu dilakukan secara konsekuen oleh pemimpin maupun
rakyatnya sendiri. Dalam era kepemimpinan Orde Lama yang notabene menciptakan
ideologi Pancasila tersebut, Pancasila sendiri dianaktirikan oleh ideologi
impor seiring dengan konstelasi ideologi yang berkembang di dunia.
Seperti liberalisme pada era 1950-1960 ditandai dengan euforia
tumbuhnya berbagai macam partai politik yang silih berganti menduduki kursi
parlemen maupun perdana menteri sehingga menciptakan instabilitas
sosial-politik di tingkat pusat dan daerah. Bahkan, ketika muncul ide
Pancasila sendiri diganti dengan sistem Westminster ala Barat dalam
mengendalikan pemerintahan.
Adanya Nasakom, Resopim, maupun Manipol Usdek sebenarnya juga
bentuk pengebirian terhadap Pancasila yang dilakukan penciptanya sendiri.
Pada akhirnya, Pancasila tidak lebih hanya hitam di atas putih yang
dipigurakan di berbagai instansi publik, namun tanpa pernah mengetahui makna
filosofis yang dikandungnya.
Ide Presiden Soeharto tentang pendirian BP7 sebagai pengendali
program P4 sebenarnya bagus dari segi konsep. Orde Baru mengajak kembali
masyarakat Indonesia memeluk Pancasila sebagai ideologi negara melalui P4
yang digalakkan secara meluas di berbagai instansi publik.
Dengan adanya prinsip satu ideologi Pancasila sebenarnya rezim
menginginkan masyarakat tidak terombang-ambingkan dalam konstelasi ideologi.
Namun demikian, dalam praktik riilnya di lapangan, Pancasila justru hanya
menjadi bahan hafalan bagi setiap masyarakat Indonesia yang ketika itu harus
siap memegang buku saku Pancasila ketika ujian penataran P4 dimulai.
Oleh karena itulah, timbul rasa keterpaksaan dari masyarakat
untuk menghafal Pancasila karena adanya stigmatisasi komunis, ekstremis,
maupun Soekarnois dari rezim begitu tidak lulus dalam ujian penataran P4
tersebut.
Tentu saja stigmatisasi tersebut berimplikasi meluas kepada
kehidupan mulai dari cibiran masyarakat, diskriminasi pelayanan publik,
penundaan gaji dan pangkat, maupun hal negatif lainnya. Bagi yang tidak lulus
ujian P4, akan dibawa ke kursus ideologi di mana setiap warga digembleng dan
digojlok habis-habisan oleh aparatus pemerintah untuk menghafal setiap bait
dan norma Pancasila.
Adanya mekanisme represif dan koersif yang dilakukan rezim
terhadap masyarakatnya membuat Pancasila justru dibenci dan dihujat oleh
orang Indonesia sendiri. Intinya terdapat aroma dendam terhadap Pancasila
yang dianggap sebagai alat Orde Baru dalam mendisiplinkan warganya agar setia
terhadap rezim yang otoriter dan represif.
Prinsip asas tunggal terhadap Pancasila melalui sistem
korporatisme merupakan cara meningkatkan loyalitas terhadap pemimpin,
meskipun loyalitas tersebut dibangun secara tekstual (textbook) dan seremonial belaka.
Pascareformasi
Terdapat euforia yang besar dari masyarakat luas manakala rezim
reformasi mencabut program P4 dan peniadaan BP7 yang tidak sesuai dengan
demokrasi karena membatasi orang berekspresi dalam berpolitik.
Ada kelegaan hati yang membuncah dalam benak masyarakat ketika
itu untuk tidak lagi menghafal Pancasila karena teringat pada rezim Orde
Baru. Kekosongan status quo yang ditinggalkan Pancasila memunculkan berbagai
macam ideologi yang tumbuh dan saling berkontestasi satu sama lain untuk
menjadi ideologi “resmi” negara.
Analisis As’ad Said Ali (2011) menyebutkan terdapat enam politik
aliran baru berbasis ideologi, yang uniknya Marxisme maupun ideologi kiri
yang selama Orde Baru dikooptasi, mulai tumbuh lagi seperti yang pernah
terekspos dengan munculnya Blog “Partai Komunis Indonesia 2000” beberapa
waktu lalu. Enam aliran itu seperti kiri radikal, kiri moderat,
kanan-konservatif, kanan liberal, dan islamisme.
Marcus Meitzner (2009) juga menilai terdapat tiga ideologi yang
berkembang pesat di akar rumput masyarakat Indonesia seperti
nasionalis-soekarnois, islamisme, dan modernisme.
Nasionalis berkembang pesat di kalangan kelompok marginal,
islamisme berkembang melalui jaringan tarbiyah kampus, pesantren, maupun kelompok
diskusi halaqah yang berkembang di dunia aktivis, dan modernisme merupakan
ideologi kaum urban dan kelas menengah baru yang tengah mengalami peningkatan
kesejahteraan. Modernisme juga berarti ideologi apatis yang menginginkan
tidak ada perubahan radikal dalam pemerintahan.
Pancasila lagi-lagi menjadi senjata bagi kaum nasionalis untuk
meningkatkan citra dan elektabilitas di kalangan masyarakat. Pancasila
kemudian direproduksi ulang hanya demi kepentingan kuasa dan bukan sebagai
payung bagi semua masyarakat Indonesia.
Barangkali memang benar kalau Pancasila adalah gagasan ideologi
yang kuat dari segi konsep, namun lemah dari segi implementasi karena hanya
menjadi hiasan dinding, bahan diklat, dan protokoler upacara bendera yang
sifatnya hanya seremonial dan komplementer.
Sulit bagi kita untuk menemukan penghayatan Pancasila dalam
kehidupan sehari-hari karena semua orang telah terdeideologisasi oleh keadaan
yang serbakompromistis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar