Selasa, 18 Desember 2012

Dampak Krisis Kian Serius


Laporan Akhir Tahun Bidang Ekonomi
Dampak Krisis Kian Serius
KOMPAS, 18 Desember 2012



Pelambatan ekonomi dunia semakin berdampak serius pada kinerja perdagangan Indonesia. Hal itu terlihat dari penurunan ekspor yang cukup terasa. Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari-Oktober 2012 mencapai 158,66 miliar dollar AS atau turun 6,22 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2011. Dengan sisa waktu dua bulan lagi, rasanya sulit mencapai kinerja ekspor menyamai tahun 2011, yang menembus level 203 miliar dollar AS.
Penurunan tersebut terjadi pada sektor hasil industri (turun 5,3 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2011). Hal serupa terjadi pada ekspor hasil tambang dan lainnya (turun 9,53 persen). Hanya ekspor hasil pertanian yang mengalami kenaikan sebesar 10,54 persen. Perekonomian dunia diperkirakan tumbuh 3,3 persen lebih rendah daripada prediksi sebelumnya sebesar 3,5 persen. Bahkan, Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini hanya 2,9 persen. Pelambatan ekonomi otomatis membuat permintaan barang ikut melambat, khususnya dari negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.
Tak hanya dialami Indonesia, pelambatan permintaan itu juga dialami negara produsen lainnya. Pelemahan ekspor periode Januari-Oktober 2012 juga dialami beberapa negara lain, antara lain Korea Selatan turun 1,3 persen, Jepang turun 1,6 persen, Brasil turun 4,6 persen, serta Argentina turun 4,9 persen.
Langkah Terobosan
Lalu, apa yang dilakukan negara produsen di tengah pelambatan permintaan tersebut? Pasar alternatif menjadi solusinya. Negara-negara emerging market menjadi sasaran baru bagi perdagangan internasional. Tak heran jika mereka berlomba-lomba masuk ke pasar negara-negara berkembang. Indonesia menerapkan strategi serupa, yakni lewat misi dagang ke kawasan Afrika, Amerika Latin, dan Timur Tengah.
Indonesia menjadi salah satu sasaran empuk. Bayangkan dengan penduduk sekitar 240 juta jiwa serta keberadaan kelas menengah yang lumayan besar, Indonesia menjadi pasar yang sangat potensial. Data Bank Dunia menunjukkan, 55 persen penduduk Indonesia masuk ke dalam kategori kelompok menengah. Kelompok ini mengeluarkan belanja 2-20 dollar AS per hari. Survei McKinsey juga menunjukkan, sekitar 45 juta orang Indonesia berada di kelompok menengah. Indonesia adalah negara potensial dengan tingkat konsumsi 55-60 persen dari produk domestik bruto.
Imbasnya adalah derasnya arus barang impor ke Indonesia. Pada periode Januari-Oktober nilai impor mencapai 159,18 miliar dollar AS atau meningkat 9,35 persen jika dibandingkan dengan impor periode yang sama tahun sebelumnya. Lonjakan impor tersebut membuat surplus perdagangan terkikis. Surplus periode Januari-Oktober tinggal 516,1 juta dollar AS. Dengan capaian itu, Indonesia tidak mungkin mencatatkan surplus seperti tahun 2011, yakni 26,32 miliar dollar AS.
Peningkatan impor periode tersebut disebabkan oleh kenaikan impor gas sebesar 109,5 persen menjadi 2,4 miliar dollar AS dan lonjakan impor nonmigas sebesar 11,1 persen menjadi 124,4 miliar dollar AS. Sebagian besar impor kita berasal dari negara-negara ASEAN (21,35 persen), China (19,23 persen), dan Jepang (15,54 persen).
Menurut Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi, begitu kuatnya permintaan dari pasar domestik membuat sebagian pemasok luar negeri mencoba- coba menawarkan barang yang bermutu rendah. ”Mereka coba-coba, siapa tahu bisa lolos dan diterima konsumen Indonesia. Padahal, barang yang dipasok bermutu rendah dan tidak memenuhi ketentuan yang ada,” katanya.
Kementerian Perdagangan mencatat, sampai dengan Oktober ada 521 kasus pelanggaran barang tak layak edar. Sekitar 66 persen di antaranya berupa produk impor. Sebagian besar produknya adalah 33,4 persen berupa elektronik dan alat listrik serta 23,4 persen berupa alat rumah tangga.
Standardisasi Produk
Mudahnya barang-barang impor berkualitas rendah masuk ke Indonesia karena standardisasi kita kurang tegas. Dari sekitar 30.000 produk, baru 7.618 produk yang mengantongi Standar Nasional Indonesia (SNI), dengan 90 di antaranya berupa SNI wajib. Dari jumlah tersebut, 6.300 di antaranya sudah kedaluwarsa dan perlu ditinjau ulang. Karena itu, ketegasan di bidang standardisasi diperlukan untuk menjaga pasar domestik. Pemerintah berjanji akan memperluas penerapan SNI, khususnya SNI wajib.
Tak hanya dari sisi standardisasi, berbagai kebijakan untuk menahan laju impor juga ditempuh pemerintah. Beberapa di antaranya adalah pengaturan impor hortikultura dengan membatasi pintumasuk. Pemerintah memperketat izin impor melalui keputusan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 27 Tahun 2012. Dalam ketentuan tersebut, satu perusahaan hanya diperbolehkan memiliki satu angka pengenal importir umum. Saat ini juga tengah dibahas ketentuan impor telepon seluler, laptop, dan produk daging olahan.
Tahun 2013 perekonomian dunia diproyeksikan masih akan suram. Belum ada kepastian akan membaiknya perekonomian di Eropa. Karena itu, berbagai upaya untuk memacu ekspor dan mengendalikan impor harus terus ditempuh. Dari sisi ekspor, pemerintah harus tetap konsisten dengan hilirisasi. Meskipun banyak tantangan, kebijakan itu harus terus didorong. Hilirisasi akan mendorong nilai tambah sehingga bisa mengonversi penurunan ekspor dari sisi volume. (ENY PRIHTIYANI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar