Laporan Akhir
Tahun Bidang Ekonomi
Mari Jadi Tuan
Rumah yang Kuat
|
KOMPAS,
18 Desember 2012
Lebih kuat, berdaya tahan,
efisien, dan mampu bersaing. Bank seperti itu yang dicita-citakan tumbuh di
Indonesia. Di rumah sendiri mampu menjadi tuan rumah yang kuat. Namun, saat
menjadi tamu di negeri orang, datang dengan kekuatan setara.
Menjelang
berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015 dan MEA bidang finansial
tahun 2020 yang penuh keterbukaan, kemampuan bank menghadapi persaingan
menjadi mutlak. Indonesia dengan 240 juta penduduk sangat menggoda bagi
berbagai bisnis, termasuk perbankan.
Di
Indonesia ada 120 bank umum dengan 16.067 kantor. Total asetnya Rp 4.009
triliun, sumber dana Rp 3.346 triliun, dan menyalurkan dana Rp 3.952 triliun
per Oktober 2012. Pasar yang menggiurkan ini akan diserbu asing jika
perbankan kita tidak mengantisipasi meskipun saat ini kepemilikan asing di
sektor perbankan sudah cukup tinggi sebagai dampak krisis finansial pada
tahun 1997/1998.
Sepanjang
tahun 2012, berbagai langkah dilakukan Bank Indonesia (BI) untuk memperkuat
perbankan dan menjaga kesehatan perbankan. Ini sekaligus seperti menunjukkan
kepada perbankan bahwa pasar bebas selalu sengit. Siapa yang tidak siap,
tidak sehat, tidak kuat, pasti akan tersungkur. Siapa yang tidak efisien,
akan tersingkir.
Aturan
Kepemilikan Saham Bank Umum yang diterbitkan pada Juli 2012 mendorong bank
untuk memiliki tata kelola dan kesehatan yang baik. Bank dengan tata kelola
dan kesehatan buruk didorong berkonsolidasi agar sesuai kepemilikan sahamnya.
Saat itu, Gubernur BI Darmin Nasution mengungkapkan, ada 10 bank dengan tata
kelola dan kesehatan yang tidak baik.
Menutup
tahun 2012, BI kembali memaparkan kebijakan yang sudah, sedang, dan akan
ditempuh. Kebijakan itu terdiri atas tiga koridor yang berkaitan, yang
ujungnya tak hanya demi perbankan, tetapi juga demi stabilitas sistem
keuangan. Salah satunya yang cukup mengena adalah aturan tentang uang muka
minimal kredit kendaraan bermotor dan rumah dengan luas lebih dari 70 meter
persegi. Aturan yang sudah diberlakukan bagi perbankan konvensional sejak
Juni 2012 itu juga akan diberlakukan bagi perbankan syariah mulai tahun
depan. Berkolaborasi dengan Kementerian Keuangan, perusahaan pembiayaan juga
dikenai aturan serupa.
Dengan
aturan ini, BI memitigasi risiko ketidakstabilan sistem keuangan akibat
terlalu cepatnya pertumbuhan kredit konsumsi. Sejauh ini, kredit di sektor
konsumsi tidak melonjak meskipun pertumbuhan tahunannya berkisar 18-19
persen.
Aturan
yang disiapkan adalah kewajiban penyediaan modal minimum bank umum.
Berdasarkan kajian BI, bank bisa beroperasi dalam skala ekonomis dengan modal
inti minimum Rp 1 triliun. Bahkan, modal minimumnya meningkat menjadi
BI
membagi bank menjadi empat kelompok besar berdasarkan modal inti, yang
disebut bank umum yang melakukan kelompok kegiatan usaha (BUKU). BUKU 1
bermodal inti Rp 100 miliar hingga kurang dari Rp 1 triliun, BUKU 2 bermodal
inti Rp 1 triliun hingga kurang dari Rp 5 triliun, BUKU 3 bermodal inti Rp 5
triliun hingga di bawah Rp 30 triliun, dan BUKU 4 bermodal inti Rp 30 triliun
atau lebih.
BUKU
4-lah yang akan didorong menjadi bank berkualifikasi ASEAN atau ASEAN
qualified bank. Bahkan, jika memungkinkan, tingkat Asia. Bank itu bisa masuk
ke wilayah negara-negara lain di ASEAN dan Asia dengan dada membusung karena
memiliki kemampuan yang sama dengan bank lain.
Dengan
modal inti yang lebih besar, bank lebih leluasa bergerak karena kegiatan
usahanya lebih beragam. Misalnya, BUKU 1 tidak boleh menerbitkan sertifikat
deposit, tidak boleh menempatkan sertifikat surat berharga korporasi, dan
tidak boleh melakukan sekuritisasi aset. Sebaliknya, BUKU 4 boleh melakukan
semua kegiatan itu dengan izin BI.
BI
berharap pemilik bank menambah modal. Tanpa peningkatan modal, bank harus
pasrah dengan kegiatannya yang terbatas. Padahal, konsumen yang semakin
cerdas akan memilih layanan yang optimal, komplet, dan memudahkan.
Dengan
modal yang kuat, bank juga akan lebih efisien. Caranya, antara lain, melalui
sistem teknologi informatika yang kuat. Efisiensi ini kerap disebut-sebut
oleh Dewan Gubernur BI sebagai persoalan utama perbankan di Indonesia. BI
menggunakan rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO)
mengukur efisiensi.
Per
Oktober 2012, rata-rata BOPO bank umum di Indonesia sebesar 74,02 persen,
sedikit membaik dibandingkan dengan September 2012 yang sebesar 74,26 persen.
Meski demikian, BI menilai perbankan Indonesia masih bisa lebih efisien.
Ukurannya, antara lain, besaran BOPO di negara lain lebih kecil.
Menjawab
tuntutan besarnya modal inti, diperkirakan industri perbankan Indonesia akan
diwarnai konsolidasi. Ini terutama dalam kelompok BUKU 1 dan 2 atau bermodal
inti kurang dari Rp 5 triliun.
Bagi
bankir, beragam aturan BI itu membawa konsekuensi baru. Bankir harus benar-
benar profesional dan mengusung pola pikir yang serba efisien agar bank yang
dikelola efisien, sehat, dan kuat.
Ketua
Umum Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono menyatakan
bank selalu melaksanakan aturan BI. Namun, ia menekankan, berkurangnya jumlah
bank hendaknya akibat hukum alam. Artinya, bank bergabung atau konsolidasi
akibat sulit memenuhi aturan modal.
Harus
diingat, semua itu demi kebaikan industri perbankan juga. Direktur Utama Bank
Mandiri Zulkifli Zaini mengakui, persaingan perbankan akan semakin ketat
setelah MEA berlaku. Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah menegaskan, efisiensi
bank di Indonesia paling rendah. Tidak banyak bank di Indonesia yang bisa
menyaingi efisiensi bank-bank di ASEAN. ”Kita akan kalah bersaing,” ujarnya.
Mumpung
belum terlambat, segeralah berbenah. Perbesar modal, efisienkan dan kuatkan
daya tahan bank agar memenangi persaingan. Tak lama lagi tahun 2020 tiba.
Jangan sampai kalah di negeri sendiri. (Dewi Indriastuti) ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar