Laporan Akhir
Tahun Bidang Ekonomi
Pertumbuhan
Memukau Pemerataan Menjauh
|
KOMPAS,
18 Desember 2012
Wajar saja kinerja
perekonomian Indonesia beberapa tahun ini mendapat banyak pengakuan dari
berbagai pihak. Di tengah krisis keuangan di Eropa dan Amerika, perekonomian
Indonesia tetap tumbuh relatif tinggi dan stabil. Banyak negara lain,
termasuk China dan India, yang mengalami penurunan tingkat pertumbuhan
ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi
Indonesia beberapa tahun ini rata- rata di atas 6 persen. Tahun depan
pertumbuhan ekonomi ditargetkan 6,8 persen. Tingkat inflasi terjaga sekitar 5
persen. Nilai tukar rupiah relatif bergerak di sekitar Rp 9.500 per dollar
AS. Indeks Harga Saham Gabungan rata-rata berada di kisaran 4.200 poin.
Pertumbuhan ekonomi
Indonesia antara lain didorong investasi, terutama dari pihak asing. Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) memastikan penanaman modal asing (PMA)
tahun ini akan melampaui 19 miliar dollar AS, nilai PMA yang dicapai tahun
lalu.
BKPM memiliki optimisme
tinggi sebab sampai September 2012 total PMA sudah mencapai 18,3 miliar
dollar AS. Total nilai investasi sampai akhir tahun ini diperkirakan Rp 300
triliun. Tahun 2013 BKPM menargetkan total investasi Rp 390 triliun.
Pertumbuhan ekonomi mutlak
diperlukan dalam upaya penyediaan lapangan kerja di Indonesia. Pertanyaan
yang muncul, apakah pertumbuhan ekonomi yang ada cukup memadai untuk menyerap
tenaga kerja?
Berkualitas
Jumlah angkatan kerja di
Indonesia pada Agustus 2012 mencapai 118 juta orang. Jumlah penduduk yang
bekerja pada periode itu sekitar 110,8 juta orang. Masih ada 7,2 juta orang
yang menganggur atau sekitar 6,14 persen dari angkatan kerja. Sementara
setiap tahun sekitar 2,5 juta orang masuk ke bursa pencari kerja baru.
Dengan demikian,
pertumbuhan ekonomi yang tetap tinggi dan berkualitas amat diperlukan untuk
mengatasi tingkat pengangguran yang ada dan menampung angkatan kerja baru.
Persoalan yang ada, pertumbuhan ekonomi yang terjadi selama ini belum
menciptakan lapangan kerja yang berkualitas.
Investasi yang masuk belum
menyentuh sektor riil yang merupakan sektor formal. Alhasil, dari 118 juta
tenaga kerja per Agustus 2012, sebanyak 44,2 juta orang (39,86 persen)
bekerja di sektor formal, sementara 66,6 juta orang (60,14 persen) di sektor
informal.
Dari data ini dapat
diartikan bahwa sebagian besar pekerja belum memiliki tingkat kesejahteraan
yang memadai. Sekalipun mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi, lebih banyak
pekerja di negeri ini bekerja tanpa jaminan kesehatan, hari tua, jaminan
kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan untuk tetap bekerja dalam
jangka panjang. Artinya, belum terjadi pemerataan pendapatan.
Investasi terus meningkat,
tetapi konsep pembangunan yang ada belum menempatkan unsur manusia di tempat
pertama. Tidak heran, buruh terus berjuang keras menuntut kenaikan upah
minimum provinsi (UMP) pada 2013. Melonjak hampir 45 persen dari tahun 2012,
UMP tahun 2013 mencapai Rp 2,2 juta per bulan.
Tingkat pemerataan yang
kian timpang bisa terlihat dari rasio gini Indonesia yang mencapai 0,41 pada
2011. Rasio ini naik dari 0,38 tahun 2010. Kondisi ini akan makin
memprihatinkan jika rasio gini melampaui 0,5 sebab itu berarti kondisi
ketimpangan membahayakan karena konflik sosial mudah merebak.
Upaya pemerintah mendorong
pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi sudah sewajarnya disertai dengan
upaya peningkatan pemerataan. Pembangunan infrastruktur menjadi sebuah
keniscayaan. Masyarakat semakin diringankan dengan kehadiran jalan, jembatan,
bandara, pelabuhan, dan rumah sakit yang memadai.
Menjadi persoalan karena
dalam beberapa tahun terakhir pemerintah tidak punya dana cukup untuk
infrastruktur. Hanya disiapkan dana infrastruktur Rp 168,7 triliun dari
APBN-P 2012 sebesar Rp 1.548,2 triliun atau hanya 2 persen dari produk
domestik bruto (PDB), jauh dari angka ideal 5 persen dari PDB.
Dana Rp 312 triliun
dipakai untuk subsidi energi atau 30 persen dari total belanja pusat.
Sementara subsidi bahan bakar minyak (BBM) mencapai Rp 222, 8 triliun. Ini
untuk konsumsi BBM sebanyak 45,7 juta kiloliter yang sebagian besar dinikmati
pemilik mobil dan sepeda motor. Mereka rata-rata menerima Rp 120.000 per
hari.
Desakan agar pemerintah
mengalihkan sebagian dana subsidi BBM ini untuk infrastruktur terus
dikumandangkan, tetapi pemerintah bergeming. Pemerintah beralasan takut
terjadi kerusuhan dan gejolak sosial. Padahal, dengan membangun
infrastruktur, sebuah pemerataan dan struktur sosial yang lebih kuat akan
tercipta untuk jangka panjang. Pemerintah juga bisa mengoptimalkan pasar
modal yang lagi menarik.
Pujian pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang tinggi tak lepas dari bonus demografi yang ada. Ada kenaikan
jumlah kelompok menengah dengan belanja 2-20 dollar AS per hari dari 81 juta
orang pada 2003 jadi 134 juta orang tahun 2011.
Sayangnya, angka kelas
menengah yang terus tumbuh ini lebih menarik sektor konsumsi. Yang
menggelisahkan, peluang ini diambil oleh banyak produk impor, termasuk impor
BBM yang terus meningkat.
Banyak pekerjaan untuk
pemerataan pendapatan, termasuk akses ke bank yang masih minim. Padahal,
dengan akses perbankan yang kian besar, hal itu akan makin menumbuhkan
perekonomian dengan fondasi yang kuat. Tegasnya, perlu kehadiran negara yang
lebih nyata untuk mengatasi semua ini.(ppg) ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar