Catatan Dua
Tahun Demokratisasi di Timur Tengah
Ibnu Burdah ; Pemerhati Timur Tengah dan Dunia
Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta; Peserta Pascadoktoral Program ARFI
Kementerian Agama Republik Indonesia di Maroko
|
KOMPAS,
11 Desember 2012
Rakyat di beberapa negara
Arab, bahkan dunia, semula memiliki harapan besar akan perubahan yang melanda
negara-negara itu selama hampir dua tahun ini. Namun, harapan itu seperti
sirna: diganti dengan keprihatinan mendalam setelah konflik berdarah dan
berkepanjangan di Suriah, instabilitas di Yaman, Tunisia, dan Libya, serta
terus tersendatnya institusionalisasi hasil gerakan di Mesir.
Kekhawatiran akan jatuhnya
kian banyak korban juga membayangi gerakan rakyat yang mulai mengeras di
Kerajaan Jordania, Kuwait, dan Aljazair. Di Bahrain, Oman, dan Arab Saudi,
geliat gerakan rakyat yang sebenarnya tidak bisa diremehkan juga terus
menambah jumlah korbannya kendati media besar semacam Al Jazeera seperti
enggan memberitakannya.
Di balik meluapnya
harapan, praksis demokratisasi di negara-negara Arab selama dua tahun ini
memang memiliki catatan-catatan mengerikan. Yang paling jelas adalah bahwa
proses itu menuntut pengorbanan teramat mahal dan manusia tak mungkin dapat
menggantinya: nyawa hilang dalam jumlah yang sangat besar.
Pandangan idealis akan
menyatakan bahwa satu nyawa sesungguhnya sudah terlalu mahal untuk terjadinya
perubahan di seluruh negara Arab. Sebab, jika seluruh manusia bekerja sama
mengerahkan segala kemampuan membuat satu nyawa, niscaya mereka tidak mampu
melakukannya. Nyawa adalah karya Tuhan; manusia dengan alasan apa pun tidak
berhak mengambilnya dari orang lain.
Perubahan di dunia Arab dalam
dua tahun terakhir dipastikan telah menelan berpuluh-puluh ribu lebih nyawa
manusia, baik itu rezim dan anasirnya, pejuang untuk perubahan, rakyat biasa,
maupun anak-anak tak berdosa.
Di Suriah saja korban
pembunuhan keji dilaporkan hampir menembus angka 30.000 nyawa, padahal
situasi sekarang jauh lebih mengerikan dibandingkan dengan setelah gencatan
senjata Idul Adha, yang hanya berlaku di lapangan dalam hitungan jam.
Pengorbanan bagi perubahan
itu bukan hanya hilangnya nyawa, melainkan juga cacat permanen ataupun yang
masih mungkin disembuhkan.
Berdasarkan awangan kasar
laporan-laporan akibat kekerasan yang terjadi di Libya, Suriah, Yaman,
Bahrain, Mesir, Tunisia, Jordania, Aljazair, dan Sudan, penulis hampir
meyakini bahwa korban terluka akibat perubahan itu tidak kurang dari 1 juta
orang. Ada satu saja orang terluka berat, bukan permanen, di dalam keluarga
atau lingkungan kita, kita bisa membayangkan dampak psikologisnya bagi
anggota keluarga yang lain dan orang-orang di sekitarnya.
Pengorbanan tidak kalah
penting adalah kehancuran infrastruktur fisik dan sosial hasil pembangunan
dalam waktu lama. Libya bisa dikatakan mengalami kehancuran total. Yaman,
Suriah, dan Bahrain juga mengalami kerugian material tak terhitung jumlahnya.
Yang tidak kalah penting
adalah terpuruknya perekonomian, keterpecahan sosial, dan menguatnya kembali
sentimen kesukuan dan sektarian setelah sekian lama diupayakan agar tertimbun
sedalam mungkin dan terikat dalam ikatan-ikatan negara bangsa ”artifisial”.
Stabilitas
Setelah kejatuhan rezim di
negara-negara ”musim semi Arab” (Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman),
stabilitas keamanan ternyata tidak dapat segera dipulihkan. Kondisi ini jelas
berdampak buruk bagi sektor-sektor kehidupan lain, baik ekonomi, sosial,
maupun upaya pembangunan di berbagai bidang.
Iklim kebebasan akibat
demokratisasi ternyata justru membuat konflik antarkelompok yang ada dalam
masyarakat semakin menyeruak. Hampir semua kelompok berupaya menang sendiri
dengan egonya yang besar, terkadang dengan tindakan memaksakan kehendak dan
tidak bertanggung jawab.
Sementara itu, kemampuan
dan kewenangan negara mengawal keamanan dan ketertiban juga semakin lemah.
Lebih ironis lagi, kelompok-kelompok yang sesungguhnya menolak demokrasi juga
menggunakan kebebasan itu untuk mencapai agenda-agendanya dan sering kali
mereka lebih agresif dan lantang bersuara. Kondisi ini membuat stabilitas
politik dan keamanan di negara-negara tersebut semakin rentan.
Pengalaman itu tentu mengingatkan
kita mengenai kritik klasik—kendati penulis tidak sependapat—bahwa demokrasi
sebenarnya tidak cocok diterapkan di negara-negara berkembang yang mulai dan
sedang ”membangun”. Bahwa demokrasi adalah ”mainan” yang terlalu mewah bagi
negara-negara berkembang yang sedang berjuang mengurangi jumlah kemiskinan
dan meningkatkan kemakmuran.
Penerapan demokrasi justru
bisa kontraproduktif sebab hal itu potensial mendorong pada ketidakstabilan
yang merupakan syarat penting bagi pembangunan ekonomi.
Penulis setuju pandangan
Hisyam Syarabi, yang dikemukakan beberapa dekade lalu, digunakan untuk membaca
perubahan saat ini: kegagalan kebangkitan Arab disebabkan oleh
perubahan-perubahan yang dilakukan selalu artifisial, tidak menyentuh
persoalan riil masyarakatnya—yakni hibriditas (baca: ketidakjelasan)
—kultural, kesenjangan yang semakin ekstrem dalam bidang kemakmuran, baik
antarindividu maupun antarnegara, dan kegagalan integrasi akibat kuatnya
sentimen kabilah dan sekte.
Pelajaran bagi Indonesia
Dari pengalaman yang
terjadi di Timur Tengah itu, pelajaran terpenting bagi Indonesia adalah bahwa
upaya demokratisasi tanpa disertai keamanan, stabilitas, keadilan, dan
peningkatan kesejahteraan bersama bisa jadi akan dipandang sebagai pepesan
kosong belaka yang tidak begitu berguna di mata sebagian rakyat. Pembangunan
demokrasi tanpa disertai itu semua justru bisa kontraproduktif: dituding
sebagai biang tumpukan persoalan yang dihadapi rakyat.
Indonesia pantas bersyukur
bahwa demokratisasi di negeri ini tidak diiringi oleh pengorbanan kemanusiaan
seekstrem di negara-negara Timur Tengah. Ketahanan masyarakat terhadap
guncangan proses demokrasi sudah sedemikian kuat sehingga banyaknya pemilu,
misalnya, tidak banyak mengganggu stabilitas sehingga Indonesia banyak
disebut sebagai negara full fledged
democracy.
Meski demikian, tujuan
berdemokrasi sepertinya masih jauh dari kenyataan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara di negeri kita. Demokrasi kita bukan hanya ”dibajak” oleh
pemilik kapital dan ”kartel partai politik”, melainkan juga oleh orang-orang
yang amat kita percaya untuk mengemban amanah mengurus negeri ini. Hal itu
tentu sangat memprihatinkan, tetapi itulah yang sedang berlangsung saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar