Rabu, 12 Desember 2012

Catatan Dua Tahun Demokratisasi di Timur Tengah


Catatan Dua Tahun Demokratisasi di Timur Tengah
Ibnu Burdah ;  Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta; Peserta Pascadoktoral Program ARFI Kementerian Agama Republik Indonesia di Maroko
KOMPAS, 11 Desember 2012


Rakyat di beberapa negara Arab, bahkan dunia, semula memiliki harapan besar akan perubahan yang melanda negara-negara itu selama hampir dua tahun ini. Namun, harapan itu seperti sirna: diganti dengan keprihatinan mendalam setelah konflik berdarah dan berkepanjangan di Suriah, instabilitas di Yaman, Tunisia, dan Libya, serta terus tersendatnya institusionalisasi hasil gerakan di Mesir.
Kekhawatiran akan jatuhnya kian banyak korban juga membayangi gerakan rakyat yang mulai mengeras di Kerajaan Jordania, Kuwait, dan Aljazair. Di Bahrain, Oman, dan Arab Saudi, geliat gerakan rakyat yang sebenarnya tidak bisa diremehkan juga terus menambah jumlah korbannya kendati media besar semacam Al Jazeera seperti enggan memberitakannya.
Di balik meluapnya harapan, praksis demokratisasi di negara-negara Arab selama dua tahun ini memang memiliki catatan-catatan mengerikan. Yang paling jelas adalah bahwa proses itu menuntut pengorbanan teramat mahal dan manusia tak mungkin dapat menggantinya: nyawa hilang dalam jumlah yang sangat besar.
Pandangan idealis akan menyatakan bahwa satu nyawa sesungguhnya sudah terlalu mahal untuk terjadinya perubahan di seluruh negara Arab. Sebab, jika seluruh manusia bekerja sama mengerahkan segala kemampuan membuat satu nyawa, niscaya mereka tidak mampu melakukannya. Nyawa adalah karya Tuhan; manusia dengan alasan apa pun tidak berhak mengambilnya dari orang lain.
Perubahan di dunia Arab dalam dua tahun terakhir dipastikan telah menelan berpuluh-puluh ribu lebih nyawa manusia, baik itu rezim dan anasirnya, pejuang untuk perubahan, rakyat biasa, maupun anak-anak tak berdosa.
Di Suriah saja korban pembunuhan keji dilaporkan hampir menembus angka 30.000 nyawa, padahal situasi sekarang jauh lebih mengerikan dibandingkan dengan setelah gencatan senjata Idul Adha, yang hanya berlaku di lapangan dalam hitungan jam.
Pengorbanan bagi perubahan itu bukan hanya hilangnya nyawa, melainkan juga cacat permanen ataupun yang masih mungkin disembuhkan.
Berdasarkan awangan kasar laporan-laporan akibat kekerasan yang terjadi di Libya, Suriah, Yaman, Bahrain, Mesir, Tunisia, Jordania, Aljazair, dan Sudan, penulis hampir meyakini bahwa korban terluka akibat perubahan itu tidak kurang dari 1 juta orang. Ada satu saja orang terluka berat, bukan permanen, di dalam keluarga atau lingkungan kita, kita bisa membayangkan dampak psikologisnya bagi anggota keluarga yang lain dan orang-orang di sekitarnya.
Pengorbanan tidak kalah penting adalah kehancuran infrastruktur fisik dan sosial hasil pembangunan dalam waktu lama. Libya bisa dikatakan mengalami kehancuran total. Yaman, Suriah, dan Bahrain juga mengalami kerugian material tak terhitung jumlahnya.
Yang tidak kalah penting adalah terpuruknya perekonomian, keterpecahan sosial, dan menguatnya kembali sentimen kesukuan dan sektarian setelah sekian lama diupayakan agar tertimbun sedalam mungkin dan terikat dalam ikatan-ikatan negara bangsa ”artifisial”.
Stabilitas
Setelah kejatuhan rezim di negara-negara ”musim semi Arab” (Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman), stabilitas keamanan ternyata tidak dapat segera dipulihkan. Kondisi ini jelas berdampak buruk bagi sektor-sektor kehidupan lain, baik ekonomi, sosial, maupun upaya pembangunan di berbagai bidang.
Iklim kebebasan akibat demokratisasi ternyata justru membuat konflik antarkelompok yang ada dalam masyarakat semakin menyeruak. Hampir semua kelompok berupaya menang sendiri dengan egonya yang besar, terkadang dengan tindakan memaksakan kehendak dan tidak bertanggung jawab.
Sementara itu, kemampuan dan kewenangan negara mengawal keamanan dan ketertiban juga semakin lemah. Lebih ironis lagi, kelompok-kelompok yang sesungguhnya menolak demokrasi juga menggunakan kebebasan itu untuk mencapai agenda-agendanya dan sering kali mereka lebih agresif dan lantang bersuara. Kondisi ini membuat stabilitas politik dan keamanan di negara-negara tersebut semakin rentan.
Pengalaman itu tentu mengingatkan kita mengenai kritik klasik—kendati penulis tidak sependapat—bahwa demokrasi sebenarnya tidak cocok diterapkan di negara-negara berkembang yang mulai dan sedang ”membangun”. Bahwa demokrasi adalah ”mainan” yang terlalu mewah bagi negara-negara berkembang yang sedang berjuang mengurangi jumlah kemiskinan dan meningkatkan kemakmuran.
Penerapan demokrasi justru bisa kontraproduktif sebab hal itu potensial mendorong pada ketidakstabilan yang merupakan syarat penting bagi pembangunan ekonomi.
Penulis setuju pandangan Hisyam Syarabi, yang dikemukakan beberapa dekade lalu, digunakan untuk membaca perubahan saat ini: kegagalan kebangkitan Arab disebabkan oleh perubahan-perubahan yang dilakukan selalu artifisial, tidak menyentuh persoalan riil masyarakatnya—yakni hibriditas (baca: ketidakjelasan) —kultural, kesenjangan yang semakin ekstrem dalam bidang kemakmuran, baik antarindividu maupun antarnegara, dan kegagalan integrasi akibat kuatnya sentimen kabilah dan sekte.
Pelajaran bagi Indonesia
Dari pengalaman yang terjadi di Timur Tengah itu, pelajaran terpenting bagi Indonesia adalah bahwa upaya demokratisasi tanpa disertai keamanan, stabilitas, keadilan, dan peningkatan kesejahteraan bersama bisa jadi akan dipandang sebagai pepesan kosong belaka yang tidak begitu berguna di mata sebagian rakyat. Pembangunan demokrasi tanpa disertai itu semua justru bisa kontraproduktif: dituding sebagai biang tumpukan persoalan yang dihadapi rakyat.
Indonesia pantas bersyukur bahwa demokratisasi di negeri ini tidak diiringi oleh pengorbanan kemanusiaan seekstrem di negara-negara Timur Tengah. Ketahanan masyarakat terhadap guncangan proses demokrasi sudah sedemikian kuat sehingga banyaknya pemilu, misalnya, tidak banyak mengganggu stabilitas sehingga Indonesia banyak disebut sebagai negara full fledged democracy.
Meski demikian, tujuan berdemokrasi sepertinya masih jauh dari kenyataan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri kita. Demokrasi kita bukan hanya ”dibajak” oleh pemilik kapital dan ”kartel partai politik”, melainkan juga oleh orang-orang yang amat kita percaya untuk mengemban amanah mengurus negeri ini. Hal itu tentu sangat memprihatinkan, tetapi itulah yang sedang berlangsung saat ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar