Diskusi
Media Group “Ekonomi Politik 2013 Menyongsong Pemilu 2014”
Buang Handuk
dan Kemunculan Kesatria Bergitar
|
MEDIA
INDONESIA, 10 Desember 2012
KONGKALIKONG dan akrobat politik diperkirakan
memuncak pada 2013 karena merupakan tahun menentukan bagi para elite politik
untuk bermain dalam menyongsong Pemilu 2014. Akibatnya, kehidupan ekonomi
akan tergencet.
Demikian benang merah diskusi Panel Ahli Media
Group bertajuk Ekonomi Politik 2013 Menyongsong Pemilu 2014 di Kantor Media
Indonesia, Kedoya, Jakarta Barat (4/12). Hadir sebagai pembicara pakar
politik Yudi Latief, pakar hukum tata negara Andi Irmanputra Sidin, dan
pengamat ekonomi Achmad Erani Yustika.
Yudi Latief menyatakan gegap gempita demokrasi
yang dieuforiakan pascareformasi 1998 tetap akan mewarnai kehidupan politik
2013 menyongsong Pemilu 2014. “Demokrasi memang cantik, tapi sering
menghasilkan sesuatu yang buruk,” katanya. Sesuatu yang buruk itu, lanjutnya,
adalah munculnya moral hazard karena mereka yang berkuasa dan ingin terus
berkuasa melakukan akrobat politik. “Tahun 2013 juga akan menjadi pelabuhan
bagi mereka untuk melakukan korupsi,” katanya.
Menurut Yudi, Indonesia tidak kekurangan
orang-orang berkualitas, tetapi yang terjadi adalah kekurangan orang yang
memiliki moral tinggi. Ujung-ujungnya, “Kita kekurangan kebajikan.” Hal itu
dimungkinkan, tambah Yudi, karena mesin politik tidak bekerja sebagaimana
mestinya. Faktanya, partai politik selama ini hanya representasi dari
kepentingan pribadi elite-elite politik.
Kenyataan seperti itulah, menurut Andi
Irmanputra Sidin, mengakibatkan putra-putra terbaik bangsa ini tidak punya
peluang untuk menjadi presiden di negeri ini karena pencalonannya harus lewat
partai politik yang sangat tertutup dalam soal itu. Seharusnya, menurutnya,
partai politik melakukan konvensi untuk pencalonan presiden yang akan diusung
dalam Pemilu 2014. “Jangan melalui kamar tertutup seperti selama ini, lantas
begitu keluar ruangan sudah diumumkan `ini
loh calon presiden kami',“ tegasnya.
Semakin Rapuh
Achmad Erani Yustika memperkirakan ekonomi
Indonesia pada 2013, jika dikelola seperti sekarang ini, akan semakin rapuh.
Menurut dia, globalisasi ekonomi adalah pilihan yang tidak bisa dihindari.
Ia menjelaskan produk domestik bruto (PDB)
Indonesia memang naik. Tapi, naiknya angka PDB lebih banyak dipengaruhi peran
orangorang asing yang mendominasi aktivitas bisnis di negeri ini. Demokrasi
di bidang politik, kata dia, diharapkan bisa mengubah kondisi ekonomi. “Tapi,
kenyataannya demokrasi itu tidak menolong. Akhirnya, yang terjadi adalah
demokrasi minus kesejahteraan.“ “Fakta-fakta yang terjadi pada 2012 inilah
yang akan kita bawa pada 2013. Apa yang kita perkirakan pada 12 tahun yang
lalu bahwa ekonomi kita akan bangkit, ternyata belum terjadi,“ tambahnya.
Erani Yustika memperkirakan, pada 2013
pertumbuhan ekonomi di kisaran 6%. “Namun, pada 2013 kita tetap menghadapi
persoalan di bidang ketenagakerjaan, terutama berkaitan dengan upah minimum. Persoalan
BBM juga akan semakin rumit dan kompleks.“
Pengantar
Kali yang ketiga, ahli
hukum tata negara Andi Irmanputra Sidin, pakar politik Yudi Latief, dan
pengamat ekonomi Achmad Erani Yustika berbicara dalam Diskusi Panel Ahli
Media Group di Gedung Media Group, Kedoya, Jakarta, Selasa (4/12) lalu. Topik
yang mereka bahas ialah Ekonomi politik 2013 menyongsong Pemilu 2014. Berikut
rangkuman diskusi tersebut.
TAHUN 2012 akan segera berakhir. Tahun baru
otomatis bakal datang, dan sesudah nya (2014), bangsa ini bakal direpotkan
dengan hajatan pemilihan umum (pemilu) legislatif dan pemilihan presiden.
Sudahkah bangsa ini sukses mengukir prestasi di bidang ekonomi dan politik?
Beberapa kali bangsa ini menggelar pemilu yang
disebut-sebut paling demokratis setelah pemerintahan otoriter di bawah ke
pemimpinan rezim Orde Baru tumbang. Pemilu demokratis di era reformasi itu
digadang-gadang mampu membawa perubahan, paling tidak di sektor ekonomi dan
politik.
Pertanyaannya ialah dalam kurun waktu 14 tahun
sejak reformasi bergulir, sudah mantapkah posisi ekonomi dan politik bangsa
ini? Jawabnya, masih jauh dari apa yang diharapkan.
Padahal kalau mau ditelaah, 2013 sesungguhnya
merupakan momentum `indah' bagi kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono untuk
menetapkan `kisah kesuksesan' pemerintahannya sejak ia memegang tongkat
komando negeri ini sebagai presiden selama dua periode lewat pemilihan
langsung.
Namun, momentum untuk menjadikan bangsa ini
bangkit, baik di sektor ekonomi maupun politik, tidak dimanfaatkan dengan
baik. Negara lagi-lagi dinilai belum mampu mengelola dan menggarap berbagai
sumber daya alam yang dimiliki negeri ini. Indonesia kaya dengan sumber daya
alam (pertambangan untuk energi). Tapi, bangsa ini selalu kedodoran mengelola
produksi dan distribusi bahan bakar minyak (BBM).
Pemerintah belum lama ini memperkirakan
cadangan minyak nasional akan habis dalam 20 tahun mendatang, yakni pada
2032, bila kebijakan pengetatan BBM bersubsidi tidak diterapkan. Alasan
pemerintah, hal itu dimungkinkan sebab konsumsi BBM bersubsidi rata-rata
meningkat 10% per tahun bila tidak ada penerapan pengetatan penggunaan BBM
bersubsidi. Peningkatan volume BBM bersubsidi, masih menurut versi pemerintah,
berisiko pada cadangan minyak yang akan cepat habis.
Buang Handuk
Jika memang faktanya demikian, bukankah itu
merupakan sinyal bahwa sesungguhnya pemerintahan sekarang sudah
berancang-ancang membuang handuk (tanda menyerah) karena tidak mampu mengelola
negara?
BBM adalah kekayaan rakyat Indonesia.
Sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 33, menikmati BBM (termasuk yang
disubsidi) adalah sebagai wujud dari ketentuan dari Pasal 33 ayat (3) UUD
1945 yang berbunyi, `Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat'.
Ayat (1) pasal itu menyebutkan perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, sedangkan ayat
(2) berbunyi, `Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara'.
Jelas bahwa BBM dan pengelolaannya,
pertama-tama, harus diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat. Oleh ebab itu,
ketersediaannya juga harus jelas. BBM itu kebutuh an rakyat, harganya juga
harus terjangkau oleh siapa pun. Distribusi dan harganya tidak boleh
dibeda-bedakan, seperti premium hanya untuk rakyat tidak mampu, sedangkan
orang kaya harus membeli jenis BBM yang harganya mahal. Dalam sebuah negara,
tidak boleh ada diskriminasi.
Karena itu, tidak ada alasan bagi negara untuk
menyatakan jika distribusi BBM bersubsidi tidak dikendalikan, cadangan BBM
akan habis. Soal beginian memang tidak masuk ranah pelanggaran hukum, tetapi
merupakan wujud ketidakmampuan pemerintah dalam menjalankan amanah
konstitusi. Sekali lagi, jika memang faktanya seperti itu (cadangan BBM
bersubsidi habis), itu pertanda pemerintah tengah bersiap-siap buang handuk
pada 2013 mendatang.
Mengelola BBM, sehingga bisa dinikmati siapa
pun, merupakan amanat Pasal 33 UUD 1945. Karena itu, sungguh aneh jika negara
kemudian `menuduh' orang kaya yang membeli BBM bersubsidi sebagai `penjahat'.
Membeli BBM bersubsidi adalah hak yang dijamin konstitusi. Bukankah kalangan
the haves itu juga rakyat, dan memiliki hak sama untuk memilih dan membeli
BBM yang diminati. Ini juga menjadi sinyal bahwa negara tidak mampu
menjalankan amanat konstitusi.
Apa pun situasinya, 2013 yang sebentar lagi
kita masuki ialah momentum lanjutan dari apa yang telah kita putuskan 14
tahun yang lalu (era reformasi). Sebelum 1998, negara dikritik karena
menganut sistem otoriter. Pemerintahan Orde Baru ketika itu membunuh
bibit-bibit ekonomi, sosial, budaya, dan juga politik. Semuanya tersumbat.
Moral Hazard
Kita saksikan ada moral hazard di sana.
Kesuksesan ekonomi hanya mampir pada individu atau kelompok -kelompok
tertentu. Rezim otoriter menutup akses siapa pun. Maka, ketika rezim tersebut
tumbang, demokrasi menjadi pilihan, karena semuanya muak terhadap sistem yang
diberlakukan.
Kekuatan ekonomi pada masa itu hanya berpusat
di Jakarta. Ketimpangan ekonomi begitu sangat mencolok di daerah. Pembangunan
ekonomi sangat proteksionis kepada kelompok-kelompok tertentu dan sangat
masif. Mereka atau kekuatan-kekuatan ekonomi yang sudah telanjur eksis tak
boleh diganggu.
Semua itu menjadikan ekonomi Indonesia tidak
efisien. Para pelaku ekonomi dimanja oleh penguasa. Maka itu, jangan heran
jika waktu itu pernah muncul istilah ekonomi pornografi sebab rezim ekonomi
Orde Baru sudah berusia 30 tahun, tapi tetap disusui.
Setelah rezim Orde Baru selesai, kita
merindukan semuanya berubah melalui jalan demokrasi. Agar perekonomian di
daerah bergairah, otonomi daerah dijadikan opsi. Reformasi diharapkan bisa
mengubah semuanya.
Hasilnya? Terjadi liberalisasi ekonomi.
Celakanya lagi, pemerintah tidak menyusun regulasi yang mampu menggerakkan
roda perekonomian yang ujung-ujungnya menyejahterakan rakyat. Di sektor
ketenagakerjaan, misalnya, sebagian besar masih diisi oleh SDM yang cuma
lulusan SMP/SMA.
Perusahaan asing masih mendominasi atau
menguasai (75%) dunia usaha di Indonesia. Ketidakadilan pendapatan tetap ada
di mana-mana. Ada 40 orang kaya di Indonesia yang kekayaannya senilai dengan
60% APBN. Roda perekonomian masih terkonsentrasi (45%) dan berputar di Pulau
Jawa dan Sumatra.
Bandingkan pada masa sebelum orde reformasi
bergulir, ketika 350 orang kaya di Indonesia menguasai perekonomian yang
setara dengan 70% APBN. Artinya, terjadi jurang pemisah yang luar biasa
dalam. Yang kaya semakin kaya dan miskin semakin miskin.
Di sisi lain, ikut dalam arus globalisasi
ekonomi adalah sebuah pilihan yang tidak bisa dihindari, dan negeri ini untuk
sementara hanya bisa dimanfaatkan sebagai pasar produk-produk negara lain.
Pertumbuhan ekonomi yang rata-rata 4%-6% memang baik, tapi ketahanan pangan
masih jeblok dan rentan. Cadangan beras di Bulog hanya 4% dari kebutuhan
nasional, sehingga sebagian besar beras yang kita konsumsi setiap hari adalah
impor. Bandingkan dengan Thailand yang `Bulog'-nya di sana mampu menyiapkan
stok pangan 20%, Brunei Darussalam (40%), dan Malaysia (30%).
Negara-negara tetangga itu tentu jauh lebih
siap jika sewaktu-waktu ada turbulensi ekonomi daripada kita. Demokrasi yang
dicanangkan saat reformasi digulirkan diharapkan mampu mengubah perekonomian
yang stagnan menjadi lebih dinamis.
Akan tetapi, demokrasi yang disebut-sebut
memberi kebebasan dan diharapkan mampu melahirkan kondisi yang lebih baik
tetap tidak bisa menolong. Yang terjadi sekarang adalah demokrasi minus
kesejahteraan. PDB memang naik, tapi sumbangan kenaikan PDB itu berasal dari
orang asing.
Istana Pasir
Karena kehidupan ekonomi belum mampu mengubah
kondisi bangsa, kerusakan moral ada di mana-mana. Korupsi adalah salah
satunya. Sesungguhnya, kita sekarang ini berada di dalam istana pasir, karena
kekayaan sumber daya alam yang kita miliki dikuasai segelintir orang.
Ketidakadilan politik dan ekonomi masih
terjadi mana-mana. Ada yang mengatakan, jika rakyat makmur, keadilan akan
datang dengan sendirinya. Sebuah pemikiran seperti ini jelas keliru. Sebab,
orang miskin di negeri ini tidak mungkin harus menunggu makmur dulu baru bisa
merasakan keadilan.
Demokrasi kelihatannya memang cantik, tapi
kenyataannya malah mendatangkan hal-hal buruk. Kenyataan itulah yang sekarang
sedang menimpa Indonesia dan akan berlanjut pada 2013. Penegakan demokrasi
diharapkan mampu diikuti dengan penegakan hukum. Namun, faktanya, para
penegak hukum yang diharapkan mampu menegakkan hukum itu justru malah menjadi
public enemy yang demikian
sempurna.
Untuk mencapai suatu demokrasi, ada
syarat-syarat yang harus terpenuhi, yaitu harus sejalan dengan meritokrasi
dan nomokrasi (penegakan hukum). Singkatnya, demokrasi butuh pemerintah
dengan otoritas yang kuat dan bukan dijalankan dengan otoriter.
Politik 2013
Suasana dan iklim politik yang bakal terjadi
pada 2013 juga setali tiga uang dengan sektor ekonomi. Dunia politik masih
dikuasai kelompok elite yang bersinggasana di partai politik. Sistem politik
tidak memungkinkan orangorang cerdas di negeri ini menjadi presiden karena
pencalonannya harus melalui partai politik yang sangat tertutup. Bahkan
saking tertutupnya, orang-orang partai sendiri sulit mencalonkan menjadi
presiden.
Pada 2013, dalam soal pencalonan presiden itu,
diperkirakan kebiasaan atau tradisi `diam-diam mengumumkan nama calon
presiden' setelah orang-orang (elite) partai mengadakan rapat tertutup masih
akan terjadi. Idealnya, pencalonan tokoh partai menjadi calon presiden lewat
konvensi seperti yang pernah dilakukan Partai Golkar.
Dengan konvensi, setiap kader partai punya
peluang mencalonkan diri sebagai presiden, sehingga sangat mungkin, jika
konvensi ini digelar PDIP misalnya, nantinya nama yang muncul bukan Megawati
Soekarnoputri. Begitu pula halnya dengan Partai Golkar, nama calon presiden
yang muncul bisa saja bukan Aburizal Bakrie.
Terlepas dari cibiran banyak orang, kehadiran
Rhoma Irama yang nekat mengklaim bahwa dirinya layak menjadi presiden untuk
hajatan Pemilu 2014 layak kita apresiasi. Sebab, cara-cara seperti itulah
yang sebenarnya kita harapkan jika kita memang berniat menghidupkan
demokrasi.
Sebagai anak bangsa, tidak ada yang salah dalam
niat `Raja Dangdut' itu untuk menggantikan SBY. Persyaratan untuk menjadi
presiden juga terpenuhi. Simak saja Pasal 6 UUD 1945/ Perubahan III ayat 1
yang menyebutkan, `Calon presiden dan calon wakil presiden harus seorang
warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati
negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden'.
Barangkali ganjalan akan datang dari Pasal 6A
(2), `Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum'.
Namun, perkembangan terakhir, Partai
Kebangkitan Bangsa memasukkan nama Rhoma sebagai kandidat capres. Bila memang
akhirnya dua niat bertemu, langkah Rhoma menggantikan SBY bisa saja
terlaksana.
Faktanya, kita memang mengalami kesulitan
mencari `kesatria piningit' lewat jalur formal. Jangan salahkan siapa-siapa
jika yang muncul akhirnya `kesatria bergitar'. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar