Sengketa Laut
China Selatan
Makarim Wibisono ; Direktur Eksekutif ASEAN Foundation
|
KOMPAS,
11 Desember 2012
Ketika Perdana Menteri
Kamboja Hun Sen menyatakan adanya konsensus dalam KTT ASEAN di Phnom Penh,
bulan lalu, untuk tidak menginternasionalisasi sengketa Laut China Selatan,
Presiden Filipina langsung membantahnya.
Presiden Benigno Aquino
III menegaskan bahwa negaranya berhak mempertahankan kepentingan nasionalnya.
Caranya dapat dengan membawa masalah ini ke peradilan internasional atau ke
negara tertentu yang memang dikehendakinya.
Tampaknya Vietnam juga
kurang puas dengan cara Kamboja menghadapi sengketa Laut China Selatan (LCS)
di KTT ASEAN. Insiden ini menunjukkan belum terjadi proses peredaan
ketegangan antara China dan ASEAN, khususnya Filipina dan Vietnam, yang
merasa memiliki sebagian wilayah perairan itu.
Peningkatan Ketegangan
Mengapa Filipina dan
Vietnam bereaksi terhadap manuver China menekan Kamboja sebagai ketua ASEAN?
Filipina dan Vietnam khawatir melihat perilaku China yang semakin asertif di
LCS belakangan ini.
Filipina berulang-ulang
memprotes ulah kapal perang China yang meluncurkan tembakan peringatan kepada
nelayan Filipina yang menangkap ikan di dekat Pulau Paracel dan Spratly.
Kapal perang China juga dianggap menghalangi kapal Filipina yang sedang
mengeksplorasi kandungan minyak di perairan itu.
Vietnam juga menghadapi
hal serupa, baik yang dialami para nelayannya maupun kapal-kapal eksplorasi
mineralnya. Hal yang lebih menggelisahkan lagi karena AL China telah menanam
patok- patok yang menggambarkan tanda-tanda kepemilikan di Pulau Paracel dan
Spratly, yang sebenarnya masih dituntut sebagai wilayah Filipina dan Vietnam.
Apalagi setelah Beijing membentuk pemerintahan daerah yang berlokasi di
wilayah sengketa.
Sebenarnya bukan hanya
Filipina dan Vietnam yang menuntut perairan LCS sebagai wilayahnya. Malaysia,
Brunei, dan Taiwan juga memperhitungkan melimpahnya cadangan minyak, gas
bumi, dan kekayaan alam lain yang ada di sana.
Filipina, Brunei, dan
Malaysia mengklaim gugusan Pulau Spratly ke selatan sebagai miliknya dan
tumpang tindih dengan posisi China. Vietnam sebaliknya mengklaim gugusan
Pulau Paracel ke utara yang sekarang dikuasai China sebagai miliknya.
Pada saat-saat harga
minyak bumi membubung tinggi, Vietnam dan Filipina tergerak untuk aktif
bergiat mencari potensi off-shore-nya.
Sementara Malaysia dan Brunei masih tetap sibuk mengeksploitasi tambang di
wilayah tradisionalnya. Oleh karena itu, Vietnam dan Filipina sering
berhadapan langsung dengan reaksi China di lapangan.
Sebaliknya, China
menangkap gejala meningkatnya sikap asertif Filipina dan Vietnam. Filipina
telah mendeklarasikan perairan LCS dengan nama baru, yaitu Laut Filipina
Barat. Di samping itu, Presiden Aquino selalu memasukkan masalah Laut Cina
Selatan dalam agenda pembicaraan bilateral dengan koleganya di ASEAN, yang
memiliki kepentingan yang sama dan mengajak mengambil langkah bersama
menghadapi China.
Sebagai negara adidaya, AS
menaruh perhatian besar terhadap sengketa LCS. Prinsip AS, armadanya harus
dapat bebas berlalu lintas tanpa halangan di semua penjuru dunia. Apalagi di
LCS karena AS merasa sebagai residence power di Asia lantaran keberadaan
Armada Ketujuh- nya. Oleh karena itu, latihan perang bersama antara AL AS dan
AL Vietnam kerap dilakukan dan kerja sama AL AS dengan AL Filipina terus
ditingkatkan. Maksudnya untuk menunjukkan kehadiran AS di kawasan sebagai
kekuatan penyeimbang dari berkembangnya kekuatan dan pengaruh China belakangan
ini.
Posisi China di LCS
Bagi China, keseluruhan
pulau dan perairan di LCS adalah milik leluhurnya sehingga merupakan wilayah
kedaulatannya. Posisi China diungkapkan secara jelas oleh kantor berita
Hsinhua ketika menyambut kedatangan Presiden Aquino di Beijing awal September
2011.
Diungkapkan bahwa takaran
hubungan baik secara bilateral, menurut China, ditentukan oleh komitmen
menyelesaikan sengketa LCS secara damai. Hsinhua menegaskan, LCS merupakan
kepentingan utama dalam politik luar negeri China yang setara kedudukannya
dengan masalah Taiwan, Laut China Timur, dan Tibet. Ini berarti China siap
menggunakan angkatan bersenjatanya dalam mempertahankan kepentingan utama
tersebut.
Dalam kesempatan lain,
Hsinhua juga mengungkapkan, China bersedia menyampingkan perbedaannya dan
melakukan pengembangan bersama atas kandungan minyak dan gas serta kekayaan
alam lain di dasar lautnya. Meski demikian, China tetap berpegang pada
prinsip bahwa wilayah sengketa merupakan bagian dari kedaulatannya. Oleh
karena itu, China menginginkan penyelesaian sengketa dilakukan secara
langsung dan bilateral.
Dalam konteks ini,
Filipina senantiasa mengangkat masalah LCS ke KTT ASEAN dan KTT Asia Timur
atau mekanisme kolektif lainnya. Erlinda Basilio, Wakil Menteri Luar Negeri Filipina, pernah menyatakan Presiden
Filipina akan mencari dukungan untuk mendeliniasi pulau-pulau di LCS. Dengan
begitu negara-negara yang mengklaim memiliki LCS dapat mengubah wilayah
sengketa itu menjadi zone of peace, freedom, friendship and cooperation
sehingga proyek-proyek bersama dapat mulai dikerjakan di wilayah sengketa.
Dalam hal ini Filipina
bermanuver dengan penuh percaya diri karena merasa AS akan mendukungnya.
Kenyataannya, memang AS dan China akan terus bersaing menanamkan pengaruhnya
di Asia Tenggara.
Oleh karena itu, ASEAN
perlu berikhtiar menghindarkan agar kompetisi AS-China di Asia Tenggara
jangan memecah keutuhan ASEAN dan jangan berkembang menjadi konfrontasi yang
membahayakan stabilitas kawasan. ASEAN perlu berupaya keras untuk mentransformasi
persaingan itu ke dalam pola kerja sama AS-China-ASEAN yang bermanfaat.●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar