Minggu, 09 Desember 2012

Andi dan Elegi Kekuasaan


Andi dan Elegi Kekuasaan
Gun Gun Heryanto ;   Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute,  
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta       
SINDO, 08 Desember 2012


Satu lagi politisi Partai Demokrat tersandung kasus hukum. Andi Alifian Mallarangeng resmi menjadi tersangka KPK dalam kasus Hambalang. Dia akan menjalani hari-hari berat dan terjal yang tak semata dirasakan dirinya, melainkan juga keluarga bahkan partai tempat dia bernaung saat ini. 

Mendapat label sebagai tersangka kejahatan yang masuk kategori top hate crime tentu bukan semata mengubah citra kekinian Andi dari positif ke negatif, melainkan juga bisa mengoyak reputasi cemerlang yang sudah lama membentang dalam karier politik dan profesionalnya. Kekuasaan untuk kesekian kalinya menjadi elegi atau nyanyian yang mengandung ratapan dan ungkapan dukacita, terutama bagi mereka yang tak mau atau tak mampu mengendalikan kuasa di genggamannya. 

Imparsialitas KPK 

Jika pun harus ada pihak yang patut diapresiasi dalam penetapan Andi sebagai tersangka, maka KPK-lah yang patut mendapatkannya. Sejarah telah ditorehkan KPK, karena baru kali ini sejak lembaga ad hocuntuk penumpasan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) berupa korupsi ini berdiri di Indonesia, ada seorang menteri aktif yang ditetapkan sebagai tersangka. Paling tidak, upaya ini menunjukkan secara gamblang niat baik KPK untuk tidak melakukan obstruction of juctice. 

Dalam konteks penegakan hukum, obstruction of juctice menyebabkan pengadilan dan pertanggungjawaban pidana hanya berlaku pada orangorang korup, tetapi tak berkuasa. Sementara mereka para ”Al Capone” yang memiliki kuasa atau pengaruh atas kekuasaan politik dan hukum tetap tak tersentuh, meski sejumlah data telah menunjuk hidung mereka sebagai pelaku bahkan otak tindakan korupsi. 

Mereka inilah yang kerap dilabeli sebagai The Untouchable. Sudah terlalu lama publik skeptis dengan reputasi para penegak hukum sehingga proses-proses hukum yang sekarang berjalan di KPK seolah menjadi ”oase” dalam pemberantasan korupsi. Kasus simulator SIM yang melibatkan perwira tinggi dari Polri, penanganan kasus suap Hartati Murdaya dan kini kasus Hambalang yang sudah menyentuh Andi,menjadi indikator menggeliatnya KPK.

Indonesia cukup lama menyia-nyiakan kesempatan good governance dan clean government pasca-reformasi bergulir 1998. Tumbangnya otoritarianisme Orde Baru sukses melahirkan sejumlah perangkat hukum guna meminimalisasi tindakan korupsi. Perang melawan korupsi telah dimasukkan ke dalam TAP MPR Nomor XI/MPR/ 1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. 

Secara legal formalistik Indonesia turut menyetujui United Nations Convention Against Corruption pada tahun 2003, melalui Undang-Undang Nomor 7/2006 dan menyatakan bahwa korupsi merupakan ancaman terhadap demokrasi yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas bangsa Indonesia. Sebelum itu, karena praktik korupsi yang merajalela, Indonesia juga dengan gagah berani melahirkan UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Tentu kelahiran KPK bukan karena alasan biasa, lembaga ini diharapkan mampu melakukan cara-cara luar biasa untuk membatasi pergerakan,modus, jaringan dan lain-lain dari sebuah kejahatan luar biasa yang dianggap sudah meluas dan sistematis. Karenanya diperlukan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan yang juga luar biasa. Dalam membangun reputasi kelembagaan sangat penting bagi KPK untuk menunjukkan imparsialitas sekaligus profesionalitas mereka dalam bekerja, termasuk saat mereka harus berhadap-hadapan dengan orang yang sedang dalam kekuasaan seperti dalam kasus Hambalang. 

Dampak Politis 

Penetapan tersangka tentu buka akhir cerita bagi Andi. Dalam negara hukum, Andi masih memiliki peluang melakukan pembelaan-pembelaan. Tapi juga tak bisa dinafikan, proses panjang di domain hukum yang akan dijalani Andi tak lagi bisa terhindar dari anasir politik yang melingkupinya. Andi adalah Menteri Pemuda dan Olahraga Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II (22 Oktober 2009-7 Desember 2012), dia juga menjadi orang yang sangat dekat dengan SBY sejak menjadi juru bicara kepresidenan (21 Oktober 2004- 22 Oktober 2009). 

Integrasi vertikal Andi ke kekuasaan bisa dibilang berjalan mulus.Dimulai dari kampus, menjadi anggota KPU,staf ahli Menteri Negara Otonomi Daerah, sempat mendirikan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan bersama Profesor Ryaas Rasyid pada 2002, hingga akhirnya terlibat dalam pemenangan SBY dan menjadi bagian dari partai Demokrat. Setelah kalah dari Anas Urbaningrum di Kongres Bandung pada 2010, Andi pun diposisikan sebagai sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat. 

Sayang karier mengkilat Andi kini harus terjun bebas, bahkan berada di titik nadir citra politiknya. Sudah konsekuensi dalam rimba politik, saat aktor terjerembap ke kubangan kasus korupsi, karier yang dibina sejak lama akan porak-poranda seketika. Paling tidak ada tiga dampak politis yang bisa menjadi bola liar setelah Andi ditetapkan sebagai tersangka. Pertama, status Andi akan semakin membenamkan citra dan reputasi Partai Demokrat di mata khalayak. 

Meski Andi tidak sejak awal di PD, tetapi metamorfosis Andi menjadi elite PD menyebabkan partai pemenang pemilu ini turut berada di tengah pusaran prahara politik Andi.Untuk kesekian kalinya politisi muda potensial di tubuh PD terlibat kasus yang skala pemberitaannya luar biasa. Setelah Nazaruddin dan Angelina Sondakh, kini Andi menjadi bagian dari masalah dan pastinya turut menyumbang bingkai berita negatif bagi eksistensi PD yang sedang menyiapkan diri menuju kontestasi 2014. 

Kedua, bola liar kasus Andi juga akan menyumbang citra negatif bagi eksistensi pemerintahan SBY. Sejak memerintah SBY kerap mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan iktikad baik memimpin upayaupaya pemberantasan korupsi.Namun, justru aktor-aktor yang terlibat dalam sejumlah tindakan korupsi juga tidak sedikit berasal dari orang-orang dekat SBY sendiri.Tentu, ini menjadi tamparan sekaligus tantangan bagi SBY baik sebagai orang yang mengendalikan pemerintahan saat ini, maupun sebagai orang yang berada di puncak hierarki otoritas Partai Demokrat. 

Ketiga, penetapan Andi sebagai tersangka juga bisa menjadi pintu masuk pengembangan kasus ini ke anak tangga berikutnya. Lazimnya, modus korupsi politik itu tak pernah dilakukan oleh aktor tunggal, melainkan dilakukan oleh satu stelsel aktif secara “berjamaah”. Kerap muncul esprit de corps dari para pelaku korupsi politik dengan cara saling melindungi. Tetapi biasanya, pertahanan mereka akan bobol dengan sendirinya, jika kekitaan di antara mereka tercerai berai akibat skenario penyelamatan diri masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar