Perusak
atau Penyelamat?
Darwina Widjajanti ; Direktur Eksekutif Yayasan Pembangunan Berkelanjutan
Sumber : KOMPAS,
21 Juni 2012
Konferensi mengenai pembangunan berkelanjutan
kembali berlangsung di Rio de Janeiro, Brasil. Dua puluh tahun lalu, konsep itu
untuk pertama kalinya diluncurkan di tempat yang sama.
Keprihatinan muncul karena ternyata belum ada
perubahan signifikan terhadap keberlanjutan hidup manusia (human security). Meskipun berbagai inisiatif telah dilakukan sejak
gagasan tersebut didengungkan, pada kenyataannya justru Bumi sedang ”sakit
parah” dan bisa ”koma” jika tidak ada perubahan luar biasa (quantum leap) untuk menyelamatkannya.
Sebagai satu-satunya planet yang mendukung
kehidupan manusia dan tidak tergantikan, kematian Bumi berarti pula kematian
kehidupan manusia.
Beban Bertambah
Dalam Global
Environment Outlook 2012 yang diluncurkan Program PBB untuk Lingkungan (UNEP)
tepat sebelum Konferensi Rio+20 dimulai, disebutkan bahwa pertumbuhan penduduk
mencapai 26 persen sejak 1990. Berarti menjadi 7 miliar tahun 2010 dan akan
mencapai 9 miliar tahun 2050. Lebih dari setengah populasi tinggal di perkotaan
dan krisis air mengancam kehidupan manusia karena stok air global menurun dua
kali lipat (1960-2000). Akibatnya, 80 persen penduduk dunia hidup di wilayah
rawan air. Penduduk perkotaan di negara berkembang, 30-50 persen hidup di bawah
kelayakan dan rawan kebanjiran.
Di sisi lain, dalam dekade terakhir terjadi
peningkatan pendapatan pada sebagian penduduk sehingga terjadi kenaikan
konsumsi daging, ikan, dan makanan laut masing-masing 26 persen. Terjadilah
kenaikan ekstrasi sumber alam dari peternakan, perikanan, ataupun kelautan.
Penggunaan sumber daya alam (bahan bakar
fosil, bijih besi, dan industri mineral) naik lebih dari 40 persen menjadi
60.000 ton (1992-2005). Lebih dari 60 persen gas rumah kaca berasal dari
industri energi, manufaktur, dan kehutanan.
Suhu dunia dalam 10 tahun terpanas sejak
1880. Kenyataannya hanya kurang dari 1,5 persen area laut yang dilindungi,
hutan primer berkurang 300 juta hektar sejak 1990, dan naiknya sampah plastik
dari 116 juta ton tahun 1992 menjadi 265 juta ton tahun 2010.
Transformasi Bisnis
Terlihat dengan jelas bahwa kebutuhan akan
sumber daya alam makin meningkat seiring dengan naiknya jumlah penduduk, cara
operasi perusahaan, dan gaya hidup manusia. Sebaliknya, daya dukung alam
menurun kualitas dan kuantitasnya.
Laporan UNEP memperlihatkan Living Planet Index (kesehatan ekosistem
Bumi) menurun 12 persen secara global, atau 30 persen di wilayah Asia Pasifik.
Keamanan hidup manusia jelas terancam.
Dunia usaha yang melihat situasi ini bisa
memilih untuk menjalankan bisnis seperti biasa atau bersikap antisipatif dan
melakukan perubahan. Perusahaan juga akan mengalami situasi sulit karena krisis
air dan energi, langkanya lahan, dan tuntutan sosial untuk bertanggung jawab
atas limbah, dan polusi, serta ketidakpedulian sosial, pada era yang terbuka
seperti sekarang. Tanpa mengubah cara beroperasi dan manajemen, perusahaan akan
mati. Keuntungan sesaat jadi tidak berarti.
Cara baru yang harus dipertimbangkan adalah
bisnis yang bertanggung jawab, yang tidak hanya mementingkan laba. UN Global Compact dengan corporate sustainability leadership
telah menyiapkan kerangka aksi sebagai rujukan bagi pimpinan perusahaan untuk
melakukan strategi bisnis baru, keberlanjutan.
Sebenarnya telah ada rujukan bagi setiap
jenis usaha. Misalnya, equatorial principles
untuk perbankan dan principles for
responsible investment untuk pertanian Sustainable
Assesment of Food & Agricultural System.
Para pemimpin puncak perusahaan memang perlu
mempunyai wawasan dan komitmen sebagai warga dunia, untuk menyelamatkan kehidupan
dan memastikan bahwa manusia dapat melanjutkan kehidupan dengan satu planet
Bumi. Maka, misi tanggung jawab sosial dan lingkungan perlu masuk dalam
kebijakan perusahaan, baik dari segi manajemen, operasional, maupun
tindak-tanduk karyawan. Ini sejalan dengan pembangunan berkelanjutan yang
menuntut kesejahteraan ekonomi yang dibarengi keadilan sosial dan kelestarian
lingkungan. Setiap perusahaan punya peluang menyelamatkan perusahaan dan orang
lain dalam operasi bisnisnya.
Langkah Awal
Sejauh ini tanggung jawab sosial perusahaan
lebih dipahami oleh dunia usaha. Sayang, persepsinya menjadi parsial, cukup
dengan berbaik hati lewat kegiatan kedermawanan: mendirikan yayasan perusahaan,
mensponsori kegiatan amal, membantu korban bencana alam, ikut menanam pohon
bakau, tetapi perusahaan tetap beroperasi seperti biasa. Berton limbah
dialirkan ke sungai, berton ikan dikeruk dengan jaring pukat, membabat hutan,
dan menghasilkan produk yang tidak memedulikan keamanan. Padahal, bisnis
berkelanjutan menuntut perusahaan untuk bersikap benar, menerapkan etika
bisnis, menghargai sumber alam, dan terutama melebihi tanggung jawab sosial
perusahaan.
Apa yang dapat dilakukan perusahaan menuju ”perusahaan berkelanjutan”? Strategi
bisnis berkelanjutan dirumuskan dengan pertimbangan lingkungan dan sosial.
Pertimbangan lingkungan berarti menggunakan sumber alam seefisien mungkin (more with less) dengan menekan dampak
negatif pada alam (low waste, pollution,
carbon), memanfaatkan sumber alam setempat sebisa mungkin. Inovasi adalah kata
kunci.
Dari segi keadilan sosial, perusahaan
menghormati hak asasi manusia, termasuk hak buruh, melakukan perdagangan yang
adil, menghargai kapasitas, pengetahuan, dan budaya lokal yang dapat
dimanfaatkan, dan memiliki solidaritas tinggi kepada mereka yang kurang
beruntung. Dengan tata kelola yang baik, strategi bisnis dengan pertimbangan di
atas dapat diletakkan dalam ”rencana perjalanan keberlanjutan” (sustainability road map).
Mudah-mudahan kita bisa segera melihat cara
menghemat air, menggunakan energi secara murah dan mudah, menghilangkan sampah,
dan menciptakan industri bersih tanpa karbon. Dengan segala kemajuan teknologi
sekarang, semoga dunia usaha bisa menjadi penyelamat, bukan perusak dunia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar