Meneguhkan
Pancasila dalam Kehidupan Beragama
Nusron Wahid ; Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor
SUMBER : KORAN
TEMPO, 1 Juni 2012
Negara
adalah semacam keru munan kepentingan, perjanjian, dan berbagai kesepakatan
untuk hidup bersama. Untuk itu, satu visi untuk menjadi pegangan sangat
dibutuhkan. Jika tidak demikian, kehidupan bersama tak bisa berjalan. Sebab,
dalam setiap kepala terdapat gagasan dan kepentingan yang berbeda-beda.
Demikian
pula dengan Pancasila, sebagai landasan dan visi bersama untuk kerumunan
masyarakat yang kita sebut “Indonesia“. Pancasila adalah satu komitmen untuk
meyakinkan diri kita bahwa kita adalah satu bangsa, atau berproses untuk
meyakinkan yang lain bahwa kebersamaan menjadi bangsa mesti dilanjutkan. Pancasila
adalah satu panduan untuk berproses bagi peneguhan komitmen kita, menjadi
“orang Indonesia“. Dengan demikian, bagi mereka yang keluar dari
prinsip-prinsip Pancasila, itu sama saja “melanggar“ komitmen hidup bersama
sebagai bangsa.
Lahirnya
komitmen ini tidaklah mudah karena berlangsung melalui proses panjang,
mengesampingkan ego, dan kepentingan individu maupun golongan demi sebuah
kepentingan yang lebih besar: bangsa Indonesia! Wahid Hasyim, Agus Salim,
Hatta, dan kelompok muslim lainnya sangat menyadari bahwa bangsa Indonesia
bukanlah kelompok muslim saja. Yang lantas, karena kearifan dan kerelaanhati
demi kepentingan orang banyak, mereka tak lagi memilih Islam sebagai panduan
bernegara. Demikian pula, kelompok nasionalis seperti Sukarno, mastermind Pancasila itu sendiri, pun
menyadari bahwa masyarakat Indonesia bukanlah masyarakat yang “sepi“ dari
nilai-nilai spiritualitas dan ketuhanan. Maka, unsur ketuhanan pun mesti
dihadirkan dalam visi keindonesiaan.
Spiritualitas,
kemanusiaan, keadilan, kebersamaan, dan penghargaan terhadap hak-hak setiap
individu menjadi kunci penting dalam Pancasila. Prinsip-prinsip dalam Pancasila
merupakan produk sejarah, hasil dari refleksi masyarakat Indonesia yang
beragam, sebagai kerumunan yang terdiri atas lebih dari 18 ribu pulau dan tentu
beragam etnis, kepercayaan, budaya, dan bahasa.
Antara Esa dan Eka
Wujud
kompromi Pancasila demi kehidupan bersama terlihat dari sila-sila yang ada.
Semangat spiritualitas dan ketuhanan yang dimiliki masyarakat Indonesia,
misalnya, terekam pada sila pertama,“Ketuhanan yang Maha Esa“. Kata “esa“ pada
sila pertama dalam bahasa Sanskerta merujuk pada sesuatu “yang tak
terhingga“,“yang luar biasa“, bukan dalam satu. Para founding fathers tidak memilih kata “eka“, yang berarti satu atau
tunggal. Dalam bahasa keagamaan, maka akan menjadi Tuhan yang satu (monoteis). Kata esa dimaksudkan bahwa Tuhan mahabesar,
tak terbatas, dan mempunyai kekuatan jauh di luar kemampuan manusia. Ini
merupakan kesadaran penuh para pendiri bangsa bahwa, di balik ribuan pulau di
Indonesia ini, negeri ini dihuni oleh manusia yang beragam kepercayaannya, baik
mereka yang monoteis maupun kepercayaan-kepercayaan yang lahir dari hasil refleksi
kelokalan.
Dalam
sejarahnya pun, prinsip-prinsip ketuhanan ini tak bertentangan dengan
ideologi-ideologi yang lain. Sebagai orang penting Pancasila, Sukarno pernah
mencetuskan Nasakom (Nasionalisme, Islamisme, dan Komunisme). Demikian pula
dengan Wahid Hasyim, ia legowo untuk
menolak 16 kata dalam Piagam Jakarta. Sekali lagi, karena dia sadar bahwa
kehidupan berbangsa sangat beragam dan bukan untuk memaksakan yang lain untuk
mengikuti yang mayoritas, Islam. Dalam kehidupan sehari-hari pun, tokoh-tokoh
bangsa tersebut saling menghormati satu dengan yang lain. Tan Malaka yang tak
beragama, Wahid Hasyim yang Islamis, Sukarno yang nasionalis, Sjahrir yang
sosialis-humanis, akrab dan saling menghormati perbedaan satu dengan yang lain,
tak pernah di antara mereka melakukan usaha pemaksaan untuk mengikuti
kepercayaan tertentu, ataupun menjalankan agama tertentu.
Ketuhanan
yang terekam dalam Pancasila adalah bagaimana, dalam kehidupan bernegara,
nilai-nilai ketuhanan menjadi sumber inspirasi batin, bukan memaksakan
kepercayaan nilai ketuhanan satu kelompok untuk diikuti orang lain. Nilainilai
ketuhanan itu bukan pula untuk diimplementasikan menjadi undang-undang atau
aturan yang mengatur orang banyak, hingga mempunyai kekuatan untuk memaksa
seseorang untuk berkeyakinan atau mengikuti ajaran agama tertentu. Sebab, agama
dan keyakinan bersifat refleksi individual yang sangat beragam. Agama adalah
proses eksistensialis setiap individu dalam menemukan hubungan dirinya dengan
apa yang diyakini sebagai yang luar biasa atau “esa“, dan oleh karenanya tidak
bisa dipaksakan.
Ujian bagi Pancasila
Penyelewengan
Pancasila dalam kehidupan bernegara pun pernah terjadi.Yang paling gamblang
adalah saat masa Orde baru. Politik Orde Baru melakukan penyeragaman pikiran
dengan membombardir struktur kognitif, indoktrinasi ideologi, penertiban cara
pandang, dan sistem imajinasi dengan memberi tafsir secara sepihak pada
Pancasila. Kehadiran Orde Baru dilandasi oleh “tekad suci“ untuk melakukan
penyeragaman terhadap segala bentuk penyimpangan yang dilakukan rezim
sebelumnya. Semua pernik-pernik yang bertentangan dipinggirkan sedemikian
mungkin. Semua kelompok yang membahayakan dan mengancam kekuasaan dihardik dan
dipinggirkan demi kepentingan kekuasaan.
Setelah
reformasi bergulir, Pancasila pun mempunyai harapan untuk hidup kembali.
Prinsip-prinsip kehidupan bersama yang menghargai antara satu kepercayaan/agama
dan kepercayaan lain pun mempunyai harapan baru. Kehidupan bersama yang
didasari nilai-nilai humanisme, kebersamaan, dan keadilan secara perlahan
diraih oleh masyarakat Indonesia. Meski begitu, untuk kesekian kalinya
Pancasila pun diuji kembali. Reformasi juga melahirkan kelompok yang merasa
eksepsionalis, memegang kebenaran absolut untuk diimplementasikan pada
undang-undang yang mengatur orang banyak.
Mereka
ini adalah kelompok yang dewasa ini berusaha keras untuk mengimplementasikan
hukum-hukum agama menjadi undang-undang formal. Mereka adalah kelompok yang
bersikap eksklusif dan fundamentalis yang paling merasa benar. Banyak di antara
kelompok ini tengah memaksa orang lain dengan melakukan aksi kekerasan hingga
meresahkan kehidupan bersama. Lebih jauh lagi, tak sedikit di antara mereka
diam-diam tengah memperjuangkan untuk mengganti Pancasila sebagai dasar prinsip
kehidupan bersama dengan ajaran agama tertentu. Ini tentu saja mengganggu
kehidupan berdemokrasi di Indonesia dan nilai-nilai Pancasila: ketuhanan,
humanisme, keadilan, dan hak-hak sebagai manusia yang tengah menjadi harapan
bagi masyarakat Indonesia.
Dus,
implementasi Pancasila sebagai visi berbangsa adalah kebutuhan yang mendasar,
sebagai sebuah bentuk komitmen masyarakat Indonesia untuk menjadi bangsa, yaitu
bangsa dengan kerumunan masyarakat yang beradab, saling menghargai satu dengan
yang lain, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, saling menahan ego
kepentingan individu dan kelompok demi kepentingan bersama dalam spirit
kebersamaan sebagai wujud atas lemahnya manusia di bawah kemegahan Tuhan yang
tak terbatas, esa. Semoga! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar