Sabtu, 02 Juni 2012

Meneguhkan Pancasila dalam Kehidupan Beragama

Meneguhkan Pancasila dalam Kehidupan Beragama
Nusron Wahid ; Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor
SUMBER :  KORAN TEMPO, 1 Juni 2012


Negara adalah semacam keru munan kepentingan, perjanjian, dan berbagai kesepakatan untuk hidup bersama. Untuk itu, satu visi untuk menjadi pegangan sangat dibutuhkan. Jika tidak demikian, kehidupan bersama tak bisa berjalan. Sebab, dalam setiap kepala terdapat gagasan dan kepentingan yang berbeda-beda.

Demikian pula dengan Pancasila, sebagai landasan dan visi bersama untuk kerumunan masyarakat yang kita sebut “Indonesia“. Pancasila adalah satu komitmen untuk meyakinkan diri kita bahwa kita adalah satu bangsa, atau berproses untuk meyakinkan yang lain bahwa kebersamaan menjadi bangsa mesti dilanjutkan. Pancasila adalah satu panduan untuk berproses bagi peneguhan komitmen kita, menjadi “orang Indonesia“. Dengan demikian, bagi mereka yang keluar dari prinsip-prinsip Pancasila, itu sama saja “melanggar“ komitmen hidup bersama sebagai bangsa.

Lahirnya komitmen ini tidaklah mudah karena berlangsung melalui proses panjang, mengesampingkan ego, dan kepentingan individu maupun golongan demi sebuah kepentingan yang lebih besar: bangsa Indonesia! Wahid Hasyim, Agus Salim, Hatta, dan kelompok muslim lainnya sangat menyadari bahwa bangsa Indonesia bukanlah kelompok muslim saja. Yang lantas, karena kearifan dan kerelaanhati demi kepentingan orang banyak, mereka tak lagi memilih Islam sebagai panduan bernegara. Demikian pula, kelompok nasionalis seperti Sukarno, mastermind Pancasila itu sendiri, pun menyadari bahwa masyarakat Indonesia bukanlah masyarakat yang “sepi“ dari nilai-nilai spiritualitas dan ketuhanan. Maka, unsur ketuhanan pun mesti dihadirkan dalam visi keindonesiaan.

Spiritualitas, kemanusiaan, keadilan, kebersamaan, dan penghargaan terhadap hak-hak setiap individu menjadi kunci penting dalam Pancasila. Prinsip-prinsip dalam Pancasila merupakan produk sejarah, hasil dari refleksi masyarakat Indonesia yang beragam, sebagai kerumunan yang terdiri atas lebih dari 18 ribu pulau dan tentu beragam etnis, kepercayaan, budaya, dan bahasa.

Antara Esa dan Eka

Wujud kompromi Pancasila demi kehidupan bersama terlihat dari sila-sila yang ada. Semangat spiritualitas dan ketuhanan yang dimiliki masyarakat Indonesia, misalnya, terekam pada sila pertama,“Ketuhanan yang Maha Esa“. Kata “esa“ pada sila pertama dalam bahasa Sanskerta merujuk pada sesuatu “yang tak terhingga“,“yang luar biasa“, bukan dalam satu. Para founding fathers tidak memilih kata “eka“, yang berarti satu atau tunggal. Dalam bahasa keagamaan, maka akan menjadi Tuhan yang satu (monoteis).  Kata esa dimaksudkan bahwa Tuhan mahabesar, tak terbatas, dan mempunyai kekuatan jauh di luar kemampuan manusia. Ini merupakan kesadaran penuh para pendiri bangsa bahwa, di balik ribuan pulau di Indonesia ini, negeri ini dihuni oleh manusia yang beragam kepercayaannya, baik mereka yang monoteis maupun kepercayaan-kepercayaan yang lahir dari hasil refleksi kelokalan.

Dalam sejarahnya pun, prinsip-prinsip ketuhanan ini tak bertentangan dengan ideologi-ideologi yang lain. Sebagai orang penting Pancasila, Sukarno pernah mencetuskan Nasakom (Nasionalisme, Islamisme, dan Komunisme). Demikian pula dengan Wahid Hasyim, ia legowo untuk menolak 16 kata dalam Piagam Jakarta. Sekali lagi, karena dia sadar bahwa kehidupan berbangsa sangat beragam dan bukan untuk memaksakan yang lain untuk mengikuti yang mayoritas, Islam. Dalam kehidupan sehari-hari pun, tokoh-tokoh bangsa tersebut saling menghormati satu dengan yang lain. Tan Malaka yang tak beragama, Wahid Hasyim yang Islamis, Sukarno yang nasionalis, Sjahrir yang sosialis-humanis, akrab dan saling menghormati perbedaan satu dengan yang lain, tak pernah di antara mereka melakukan usaha pemaksaan untuk mengikuti kepercayaan tertentu, ataupun menjalankan agama tertentu.

Ketuhanan yang terekam dalam Pancasila adalah bagaimana, dalam kehidupan bernegara, nilai-nilai ketuhanan menjadi sumber inspirasi batin, bukan memaksakan kepercayaan nilai ketuhanan satu kelompok untuk diikuti orang lain. Nilainilai ketuhanan itu bukan pula untuk diimplementasikan menjadi undang-undang atau aturan yang mengatur orang banyak, hingga mempunyai kekuatan untuk memaksa seseorang untuk berkeyakinan atau mengikuti ajaran agama tertentu. Sebab, agama dan keyakinan bersifat refleksi individual yang sangat beragam. Agama adalah proses eksistensialis setiap individu dalam menemukan hubungan dirinya dengan apa yang diyakini sebagai yang luar biasa atau “esa“, dan oleh karenanya tidak bisa dipaksakan.

Ujian bagi Pancasila

Penyelewengan Pancasila dalam kehidupan bernegara pun pernah terjadi.Yang paling gamblang adalah saat masa Orde baru. Politik Orde Baru melakukan penyeragaman pikiran dengan membombardir struktur kognitif, indoktrinasi ideologi, penertiban cara pandang, dan sistem imajinasi dengan memberi tafsir secara sepihak pada Pancasila. Kehadiran Orde Baru dilandasi oleh “tekad suci“ untuk melakukan penyeragaman terhadap segala bentuk penyimpangan yang dilakukan rezim sebelumnya. Semua pernik-pernik yang bertentangan dipinggirkan sedemikian mungkin. Semua kelompok yang membahayakan dan mengancam kekuasaan dihardik dan dipinggirkan demi kepentingan kekuasaan.

Setelah reformasi bergulir, Pancasila pun mempunyai harapan untuk hidup kembali. Prinsip-prinsip kehidupan bersama yang menghargai antara satu kepercayaan/agama dan kepercayaan lain pun mempunyai harapan baru. Kehidupan bersama yang didasari nilai-nilai humanisme, kebersamaan, dan keadilan secara perlahan diraih oleh masyarakat Indonesia. Meski begitu, untuk kesekian kalinya Pancasila pun diuji kembali. Reformasi juga melahirkan kelompok yang merasa eksepsionalis, memegang kebenaran absolut untuk diimplementasikan pada undang-undang yang mengatur orang banyak.

Mereka ini adalah kelompok yang dewasa ini berusaha keras untuk mengimplementasikan hukum-hukum agama menjadi undang-undang formal. Mereka adalah kelompok yang bersikap eksklusif dan fundamentalis yang paling merasa benar. Banyak di antara kelompok ini tengah memaksa orang lain dengan melakukan aksi kekerasan hingga meresahkan kehidupan bersama. Lebih jauh lagi, tak sedikit di antara mereka diam-diam tengah memperjuangkan untuk mengganti Pancasila sebagai dasar prinsip kehidupan bersama dengan ajaran agama tertentu. Ini tentu saja mengganggu kehidupan berdemokrasi di Indonesia dan nilai-nilai Pancasila: ketuhanan, humanisme, keadilan, dan hak-hak sebagai manusia yang tengah menjadi harapan bagi masyarakat Indonesia.

Dus, implementasi Pancasila sebagai visi berbangsa adalah kebutuhan yang mendasar, sebagai sebuah bentuk komitmen masyarakat Indonesia untuk menjadi bangsa, yaitu bangsa dengan kerumunan masyarakat yang beradab, saling menghargai satu dengan yang lain, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, saling menahan ego kepentingan individu dan kelompok demi kepentingan bersama dalam spirit kebersamaan sebagai wujud atas lemahnya manusia di bawah kemegahan Tuhan yang tak terbatas, esa. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar