Sabtu, 02 Juni 2012

Pancasila dalam Kontestasi Ideologi


Pancasila dalam Kontestasi Ideologi
Munawir Aziz ; Mahasiswa Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta
SUMBER :  KORAN TEMPO, 1 Juni 2012


Refleksi ideologi kebangsaan saat ini berlangsung saat Indonesia sedang berkabung. Kemerdekaan negeri yang berumur 66 tahun hanya dipenuhi dengan janji-janji palsu, penyelewengan kekuasaan, hingga perebutan proyek yang berujung korupsi. Langit Indonesia tak lagi lantang mengabarkan pidato Sukarno, renungan Hatta, perdebatan Syahrir, hingga fatwa Hasyim Asy’ari maupun bimbingan Ahmad Dahlan.

Langit Indonesia justru semakin sering mengabarkan ihwal kemurungan: kekerasan atas nama agama, sengketa etnis, korupsi elite pejabat, hingga musibah yang tiada akhir. Nama Indonesia menjadi penuh dengan keringat dan air mata. Keringat rakyat kecil yang bekerja penuh waktu, diselingi tawa canda penguasa yang sibuk membagi harta. Air mata anak-anak yang diterjang bencana, tak jelas sekolah dan masa depannya, berbenturan dengan birokrat yang doyan bersafari dan menghabiskan uang negara.

Semua ini sangat kontras dengan semangat kemerdekaan, reformasi, serta latar belakang ideologi Pancasila. Pada 1908, Boedi Oetomo didirikan untuk menjadi cambuk perjuangan pemuda guna mengusung cita-cita keindonesiaan. Sumpah Pemuda 1928 merupakan titik selanjutnya untuk menyebut traktat kebangkitan pemuda Indonesia. Peran organisasi kemasyarakatan, semisal Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, juga tidak bisa dipandang sebelah mata, yang juga mendukung kebangkitan nasional dari sisi keagamaan. Selanjutnya, 17 Agustus 1945 merupakan tahapan selanjutnya untuk mencipta sejarah bangsa: ikrar kemerdekaan Indonesia.

Namun deretan momentum bersejarah dalam kamus revolusi Indonesia hari ini menjadi catatan historis yang berjarak. Dalam artian, pemuda dan masyarakat Indonesia sudah mulai melupakan peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah keindonesiaan kita. Hal ini disebabkan oleh menumpuknya keluhan, mandeknya harapan, dan menipisnya optimisme untuk melihat Indonesia masa depan.

Keindonesiaan kita

Indonesia sekarang merupakan Indonesia dengan segudang masalah dan lambatnya pemerintah. Indonesia seakan hanya dikangkangi oleh pejabat bermental preman dan konglomerat yang lupa akan nasib rakyat. Padahal, pada 1 Juni 1945, Sukarno berpidato lantang menggagas konsep dasar negara bahwa Indonesia didirikan tak hanya untuk satu golongan, namun Indonesia buat Indonesia, untuk semua!

Sukarno berujar lantang: "Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia semua buat semua!"

Pada sidang BPUPK, 29 Mei-1 Juni 1945, diputuskan konsep dasar falsafah negara, yang selama ini kita kenal sebagai Pancasila. Pada hari bersejarah itulah, diputuskan sebuah konsep dan landasan falsafi bernegara dan berbangsa. Pancasila lahir dari perumusan dan perdebatan panjang, yang disarikan dari sejarah panjang keindonesiaan, jauh menelusup pada akar kebudayaan Nusantara, dengan merangkum keyakinan agama, pandangan sosial, etika politik, dan mimpi masa depan untuk merdeka.

Sukarno mengajukan lima prinsip yang menjadi titik persetujuan (common denominator) segenap elemen bangsa. Pertama, kebangkitan Indonesia. Kedua, internasionalisme atau perikemanusiaan. Ketiga, mufakat atau demokrasi. Keempat, kesejahteraan sosial. Kelima, ketuhanan yang berkebudayaan. Kelima, prinsip inilah yang disebut Bung Karno sebagai "Pancasila". Yakni, "Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi."

"Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan Gotong Royong. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong," ucap Sukarno.

Indonesia Bangkit

Momentum reformasi pada 1998, sebagai titik balik peradaban politik dan kebudayaan Indonesia, yang membuka ruang lengsernya Soeharto dari tampuk kuasa, juga membawa implikasi terbukanya keran informasi, kebebasan berpendapat, dan tumbuh kelompok dengan ragam ideologi dan kepentingan yang berbeda dengan kultur masyarakat Indonesia.

Pada ranah agama, menguatnya fundamentalisme di satu sisi, dan liberalisme di sisi lain, juga menjadi tantangan bagi konsep keagamaan moderat yang berpihak pada tradisi Nusantara. Ranah politik dan ekonomi Indonesia juga mengalami guncangan, hukum tertikam dan rakyat menjerit menjadi korban. Pada titik inilah nilai-nilai keindonesiaan mendapat tantangan dan kritik. Tragedi September 1965 merupakan cobaan dahsyat bagi masyarakat Indonesia dan nilai Pancasila yang baru satu dekade dirumuskan. Namun perdebatan mendasar pada awal perumusan Pancasila merupakan tantangan dan tonggak penting tentang impian masa depan Indonesia.

Merefleksikan substansi Pancasila di tengah negeri yang dikepung egoisme, korupsi, dan kekerasan di berbagai ranah perlu agar kita bisa kembali pada nilai-nilai dasar keindonesiaan. Menyegarkan kembali tafsir kita atas ideologi negara dengan merujuk nilai-nilai keindonesiaan merupakan peristiwa penting. Refleksi moral dan mental atas tujuan kemerdekaan Indonesia perlu ditampilkan untuk melawan penyelewengan kekuasaan, kekerasan atas nama agama, kelompok maupun etnis. Indonesia perlu segera diselamatkan agar tak larut dalam kebangkrutan. Indonesia butuh tenaga dan pikiran dari generasi terbaiknya untuk tetap menyalakan api semangat dan membuka pintu masa depan negara-bangsa. Anda semua, dan termasuk saya, yang wajib menjawabnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar