Senin, 25 Juni 2012

Matinya Partai dan Politik Multikultur


Matinya Partai dan Politik Multikultur
Arya Budi ;  Peneliti Bidang Politik Srinarjo Syndicate
Sumber :  KOMPAS, 25 Juni 2012


Salah satu fenomena yang muncul yang mewarnai situasi sosial kemasyarakatan dalam negeri akhir-akhir ini adalah kuatnya pengaruh kelompok identitas dalam gerakan massa, dalam proses pengambilan keputusan pemerintah.

Kelompok identitas ini menjelma sebagai kelompok penekan yang kuat. Sementara parpol tak memainkan peran apa pun dalam isu-isu sosial krusial: kebebasan menjalankan agama dan beribadah (konflik Gereja Yasmin dan kasus Ahmadiyah), kebebasan berekspresi (kasus Lady Gaga), serta kebebasan berpikir dan berbicara (kasus Irshad Manji).

Parpol sangat hirau dengan isu publik dan sirkulasi elite (baca: pemilu), tetapi gagal mengambil peran dalam fungsi agregasi kepentingan dan representasi cleavage sosial dalam kehidupan politik sehari-hari. Parpol terpasung oleh dirinya sendiri karena ruang demokrasi yang dia perankan panggung pemilu. Parpol mati fungsi dalam ruang demokrasi ekstra-pemilu, demokrasi yang tidak berurusan dengan perebutan kekuasaan negara, tetapi lebih pada tiga relasi kuasa: identitas, komunitas, dan mayoritas.

Artinya, selain akibat pemasungan diri sendiri, matinya parpol dalam kehidupan demokrasi sosial dewasa ini disebabkan oleh tiga ”TAS”: kerawanan negara dalam politik identitas, menguatnya komunitas sebagai aktor baru, serta kuatnya bola liar opini publik di bawah logika apa dan siapa yang mayoritas.

Politik Identitas

Telah menjadi asumsi umum, setiap orang yang jadi warga negara Indonesia akan lebih senang memperkenalkan diri sebagai anggota Muhammadiyah, NU, FPI, fans club Lady Gaga, anggota JIL, atau identifikasi diri sejenis dibandingkan dengan menyebut dirinya anggota parpol, simpatisan, atau penggembira pemilu. Hanya anggota yang duduk di jajaran pengurus (pusat dan daerah) yang mengidentifikasi diri sebagai bagian dari parpol tertentu. Setiap orang yang mempunyai irisan identitas dalam aktor perantara demokrasi secara kolektif cenderung melihat diri di luar parpol (sekali lagi, kecuali pengurus parpol). Asumsi sederhana ini yang menggeser parpol kian jauh dari politik keseharian serta mendekatkan kelompok penekan dan kelompok kepentingan dalam politik multikultural.

Dalam pemilu, kita memahaminya sebagai mekanisme bergantian ”diperintah dan memerintah” dalam kesetaraan numerik, one man one vote but not one value. Kita memperlakukannya sebagai regularitas dalam demokrasi. Dalam regularitas ini, elite tetaplah elite, sementara rakyat berubah jadi massa.

Massa adalah kumpulan manusia yang tak berkehendak karena dibuat kenyang oleh food and game, dengan kenaikan gaji dan uang per tahun. Atau kehendaknya mati karena dinumerasi untuk suara politisi. Logika inilah yang jadi alasan mengapa warga negara lebih mengidentifikasi dirinya sebagai anggota ormas karena dengan menjadi bagian sebuah gerakan ormas, massa jadi rakyat yang berkehendak. Sementara mengidentifikasi diri sebagai anggota parpol jelas tak bermakna apa pun di luar tanggal pemungutan suara.

Pertarungan Aliran

Rakyat yang berkehendak ini tersegmentasi jadi sekawanan dalam ruang-ruang demokrasi sosial setiap harinya. Dibiarkan bertumbukan dalam panggung deliberasi identitas. Kini ada empat aliran dalam politik identitas jika melihat beberapa kasus multikulturalisme beberapa minggu ini: agama, nasionalis, liberalis, dan oportunis. Pemetaan politik aliran oleh para Indonesianis, seperti Geertz, Feith, dan Castle, tak bisa berlaku lagi. Aliran agama adalah mereka yang berkepentingan untuk memengaruhi kebijakan dan keputusan publik berdasarkan preferensi dasar agama.

Aliran nasionalis adalah kelompok politik yang melihat fenomena politik berdasarkan prinsip-prinsip ideal dasar negara dan romantisme masa kemerdekaan. Aliran liberalis bukan berarti pandangan yang menyimpang dari konteks agama, melainkan aliran ini lebih menekankan upaya penerimaan atas semua bentuk perbedaan sehingga alasan aliran ini menerima bentuk baru adalah karena kebebasan ekspresi, bukan alasan fakta demografi nasional yang plural. Terakhir, aliran oportunis, aliran di mana parpol memilih memihak pendulum opini publik paling dominan. Aliran ini tidak meletakkan diri pada substansi deliberasi yang terjadi, tetapi lebih ke alasan elektoral.

Politik multikultural mempertarungkan relasi kuasa atas empat aliran ini. Dan, peserta dominan dalam panggung pertarungan adalah kelompok kepentingan. Negara rawan dalam peta baru politik identitas ini, dalam arti pembiaran pertarungan aliran dalam berbagai bentuk (termasuk kekerasan) adalah hal paling aman untuk menghindari klaim negara berideologi. Lebih baik membiarkan pertarungan berlangsung daripada mengeluarkan otoritas koersif yang berakibat negara jadi musuh bersama layaknya era 14 tahun terakhir. Hasilnya: negara tak hadir. Negara bukan wasit yang memisah ketika aturan main dihancurkan, tetapi penonton yang menikmati kebrutalan rezim mayoritas dalam demokrasi.

Demokratisasi di Indonesia seolah menyetujui tesis Joseph Schumpeter (1987) sekaligus mematahkan kesimpulannya. Teorinya tentang demokrasi realistis—bahwa tak ada kehendak umum (baca: rakyat), yang ada kehendak mayoritas—menjadi benar jika melihat Indonesia kini. Namun, fakta negeri ini juga mematahkan tesisnya di sisi lain, yakni tak ada pemerintahan oleh rakyat dalam demokrasi, tetapi pemerintahan oleh politisi.

Kini di Indonesia tak ada pemerintahan oleh rakyat dan oleh politisi. Karena politisi pun menjalankan perintah dari pemerintahan negeri lain. Sementara rakyat tak punya kuasa memerintah karena dua hal: dirinya telah jadi massa dan juga untuk menyebut rakyat di Indonesia bukanlah hal tunggal. Singkat kata, yang ada adalah pemerintahan oleh sekawanan (mob ruling). Kelompok penekan dan kelompok kepentingan adalah entitas demos yang terfragmentasi karena jelas permintaan dan penawaran setiap kawanan terhadap negara beda dengan kawanan demos lainnya.

Yang terjadi kemudian, kawanan (ormas atau kelompok kepentingan) ini jadi pilar penting demokrasi karena penciptaan opini publik jadi demikian kuat dimainkan kelompok kepentingan. Sementara itu, banyak studi menunjukkan, dalam sistem demokrasi, opini publik berpengaruh penting dalam pengambilan keputusan negara (Burstein 2010, Erikson et al.2002).

Dalam sejarah trajektori demokrasi, kita kembali diingatkan oleh kisah kematian filsuf Yunani, Socrates (469-399 SM), era demokrasi Athena. Socrates dikenal masyarakat Yunani kuno sebagai pengajar dan pencetus kebebasan berpikir dan berbicara, tetapi akhirnya dia mati sebagai ”martir” pertama demokrasi. Menurut Plato dalam Apologi, vonis hukuman mati Socrates dengan minum racun adalah putusan 500 juri dalam pengadilan Athena waktu itu. Sekalipun Socrates kalah tipis, era itu sudah menunjukkan wajah demokrasi sebagai hasil kuasa mayoritas.

Demokrasi yang terjadi saat ini jadi pembentukan wajah yang brutal, pemerintahan oleh kawanan, mob ruling. Prinsip mayoritas bukan soal kesetaraan numerik dalam pemilu, tetapi kita perlu berhati-hati melihat dan bersinggungan dengannya jika berada di luar lembaga-lembaga demokrasi: ruang-ruang sosial yang rentan terhadap pluralitas. Soekarno mengatakan, kita harus punya demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Namun, kok, sepertinya demokrasi kita belum cukup. Kita perlu menambahkan kebutuhan berdemokrasi sosial setelah ber-Indonesia sejauh ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar