Apa
dan Siapa Gagal?
Yulian Aldrin Pasha ; Juru
Bicara Kepresidenan
Sumber
: KOMPAS, 25 Juni 2012
Membaca headline ”Kita Tak Ingin Negara Gagal” (Kompas, 21 Juni 2012) mengundang
konotasi positif dan negatif. Positif karena ada sentimen penolakan dan
ketidaksetujuan kita menjadi negara gagal. Berarti kita harus mengambil langkah
antisipatif agar tidak gagal.
Konotasi negatif karena terkandung makna
bahwa kita diproyeksikan atau setidaknya ada indikasi kecenderungan menuju
negara gagal. Harian ini telah memberikan deskripsi disertai ulasan tentang
tajuk, sementara tulisan ini lebih sebagai cover
both side.
Dalam publikasi The Fund for Peace atas Failed
States Index (FSI) 2012 ditampilkan peringkat dan kategorisasi lebih dari
177 negara. Somalia is number one
karena paling lengkap ”menunya” dengan determinasi, pemerintah tidak pernah
hadir di Somalia (Kompas, 22 Juni 2012). Dan memang demikian adanya. Bagi saya,
dua pertanyaan dasar masih belum terjawab. Pertama, apa arti dan batasan
istilah ”state failure”? Kedua,
bagaimana kesahihan metodologi dari sebuah perangkat lunak (software) yang disebut CAST software.
Terminologi state failure sampai saat ini masih belum terlalu jelas. Noam
Chomsky dalam Failed States: The Abuse of
Power and the Assault on Democracy (2006) telah memberikan deskripsi luas
minus definisi dan batasannya yang pasti. FSI sejak 2005 hingga 2012 hanya
menyebutkan kategorisasi, tetapi tidak secara terang menulis kata ”failed states”.
Failed
states secara umum mengetengahkan suatu gambaran kondisi di
mana terjadi ketiadaan pemerintahan dan hukum, kekacauan meluas, serta
kelangkaan kebutuhan paling mendasar (pangan dan sandang serta rasa aman).
Secara akademis, temuan FSI ini kontributif
sekaligus berbahaya bila ternyata hanya bermuatan persepsi konotatif.
Terus
terang, saya masih belum mampu menemukan hint,
bagaimana data (raw data) diproses dalam tahapan selanjutnya. Terkesan, FSI
mengandalkan pada peranti CAST software
dengan menetapkan tiga indikator; sosial, politik, dan ekonomi, lantas masing-masing
indikator di-breakdown dalam 14
sub-indikator.
Saya bersetuju dengan indikator yang
diangkat. Pertanyaannya, ketika dilakukan proses assessment dengan quantitative
analysis and qualitative inputs berdasarkan major events, seberapa yakin proses tersebut dapat meminimalisasi digresi atau erotan dari data mentah yang dikumpulkan? Apakah setiap indikator
yang di-rated dalam skala 1 sampai 10
sebagai indikasi stabil, dan skala di atas 10 disebut berisiko collapse and violence tersebut, tanpa
distorsi? Yang terpenting, siapa yang mengolahnya dan apakah seluruh tahapan
proses itu dilakukan oleh mesin (software)
sehingga pasti bebas nilai (value-free),
serta merepresentasikan keadaan konkretnya?
Menyebut Somalia dan Sudan masuk dalam
peringkat Top Ten sejak 2005 dapat
dimengerti. Kondisi yang hampir merata di kedua negara itu di mana terjadi
kelangkaan makanan, kelaparan meluas, kekacauan serius (social disorder), perang suku, hukum sirna, dan pemerintah sama
sekali tidak berdaya.
Lantas, apakah kriteria very high alert untuk Somalia itu bermakna sama dengan gagal,
nyaris gagal, hampir gagal, atau waspada gagal? Ini juga belum terjawab.
Merujuk pada FSI 2012, Indonesia bersama Gambia yang dikategorikan very high warning pada ranking 63 dengan
skor 80,6 juga masih ”abu-abu” pengertian warning-nya.
Dalam kategori high warning, (satu
tingkat lebih baik daripada Indonesia) ada China dan India (ranking 76 dan 78).
Mereka hebat dan dunia mengakui the Rise
of China and India. Sebagian Eropa dan AS justru melihat potensi dan
eksistensi kedua negara itu sebagai adidaya baru; secara ekonomi dan demokrasi.
Namun, kedua negara itu juga dapat ”peringatan
keras”. Bagaimana reaksi China dan India atas temuan index ini?
Saya tidak melihat alasan negara kita
keadaannya diilustrasikan sama dengan Somalia, Kongo, Sudan, Zimbabwe, atau
beberapa negara underdeveloped. Kita
justru mendapat tempat terhormat di dunia internasional dan keberadaan
Indonesia di G-20 secara de facto
merupakan pengakuan dunia terhadap negara ini sebagai emerging economy, ekonomi terbesar di Asia Tenggara.
Tahun 2012 Indonesia mendapat pengakuan dari Standard & Poor’s sebagai negara
dengan investment-grade dan Moody’s
juga membukukan rating Baa3. Kedua
lembaga kredibel tersebut memberikan penilaian setara dengan sustainable, bila meminjam kriteria The Fund for Peace. Melihat ini, jelas
ada kontradiksi penilaian atas posisi dan keadaan Indonesia.
Peringkatisasi dan kategorisasi The Fund for Peace memang perlu disikapi
dengan tidak berlebihan. Kita sadar bahwa beberapa temuan dan simpulan FSI ada
benarnya. Bahwa intoleransi dalam kehidupan beragama tidak boleh dibiarkan, dan
pemerintah bersama dengan seluruh komponen bangsa harus terus berupaya menjaga
serta meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan yang damai, rukun, serta
harmoni dalam berbangsa dan bernegara.
Percepatan pembenahan sarana umum seperti
transportasi dan infrastruktur perhubungan, pendidikan, kesehatan, dan yang
lain terus diupayakan melalui berbagai skema kebijakan. Reformasi birokrasi dan
pemberantasan korupsi perlu lebih diakselerasikan. Di sisi lain, pemerintah
menjamin kebebasan pers sebagai bagian dari kehidupan demokrasi. Faktanya,
demokrasi kita surplus, ekonomi kita tidak morat-marit, dan komunitas media
massa serta LSM berperan dinamis dalam memberikan penilaian obyektif dan
mengangkat realitas.
Akhirnya, biarlah mereka menilai Indonesia
dari perspektif mereka. Publikasi konkordansi semacam ini memang punya ”nilai jual tinggi” dan menarik untuk
dibahas karena penuh warna dan seksi. Namun, kita tidak perlu menanggapi
terlalu serius, kecuali lebih bersemangat untuk bekerja, melakukan pembenahan
dan perbaikan di berbagai bidang. Satu hal pasti, kita tahu bahwa negara kita
tidak gagal, dan kita tak ingin negara gagal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar