Rabu, 06 Juni 2012

Masyarakat Ekonomi Asia Pasifik

Masyarakat Ekonomi Asia Pasifik
Muhammad Syarkawi Rauf ; Kepala Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Bisnis,
FE Unhas
SUMBER :  KOMPAS, 6 Juni 2012


Indonesia akan menjadi ketua Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) pada tahun 2013. Posisi yang sama pernah diberikan kepada Indonesia pada tahun 1994 yang kemudian menghasilkan ”Bogor Goals”. Posisi ini sangat strategis karena APEC beranggotakan 21 negara yang perekonomiannya heterogen dengan output sangat besar.

Negara-negara anggota APEC memiliki produk domestik bruto (PDB) sekitar 57 persen dari total PDB dunia. Lima negara dengan PDB terbesar adalah Amerika Serikat (AS), yakni sekitar 14,587 triliun dollar AS, disusul China 5,927 triliun dollar AS, Jepang 5,459 triliun dollar AS, Kanada 1,577 triliun dollar AS, Rusia 1,480 triliun dollar AS, dan Korea Selatan 1,014 triliun dollar AS (World Development Indicators, 2012).

Saat ini, perdagangan di antara negara-negara anggota APEC sendiri diperkirakan telah mencapai 49 persen dari total perdagangan dunia (APEC, 2011). Ekspor merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi negara-negara APEC di samping pasar domestiknya yang sangat besar. Sekitar 41 persen populasi dunia terdapat di kawasan APEC.

Inisiatif Indonesia

Sebagai ketua APEC tahun 2013, Pemerintah Indonesia dapat mengintroduksi inisiatif baru dalam pertemuan puncak APEC. Inisiatifnya harus sesuai dengan kepentingan nasional dan bersifat visioner. Sama seperti ”Bogor Goals” yang menyepakati kerangka waktu liberalisasi investasi dan perdagangan untuk negara maju tahun 2010 dan negara berkembang tahun 2020.

Salah satu isu utama yang dapat diusung Indonesia adalah pembentukan ”Masyarakat Ekonomi Asia Pasifik”. Kerangka implementasinya dilakukan secara bertahap, dimulai dari Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015 sebagai subgrup dari APEC dan setelahnya pada tahun 2030 menuju integrasi APEC secara lebih luas.

Hal yang sama dilakukan Pemerintah Rusia dalam posisinya sebagai ketua APEC tahun 2012. Waktu itu Rusia mengusung dua isu, yaitu memperkuat integrasi ekonominya dengan perekonomian Asia Pasifik dan pembangunan koridor transportasi darat untuk rute perdagangan Asia ke Eropa melalui Rusia.

Namun, Indonesia juga tidak boleh berharap terlalu banyak pada forum APEC karena sejumlah kelemahan terkait sifat kerja samanya yang menganut model keanggotaan terbuka, kesepakatan didasarkan konsensus, dan bersifat tidak mengikat. Efektivitas APEC semakin diragukan karena ketimpangan kemajuan dan perbedaan kepentingan ekonomi anggotanya.

Sesuai cara kerjanya, APEC adalah organisasi yang sangat longgar. Akibatnya, keputusan dalam forum APEC hanya diikuti secara sukarela oleh anggotanya berdasarkan kepentingan nasional masing-masing negara. Banyak keputusan APEC, seperti ”Bogor Goals”, tidak diimplementasikan karena tidak menguntungkan dari sisi kepentingan nasional.

Tidak bisa dihindari, perekat utama dalam forum APEC sangat ditentukan oleh hubungan ekonomi yang saling menguntungkan antar-anggotanya. Format ketergantungan ekonomi yang saling menguntungkan dapat dilakukan dalam dua pola, yaitu mengembangkan intra-industry trade dan inter-industry trade.

Perdagangan

Intra-industry trade adalah perdagangan dalam industri yang sama. Perdagangan dalam industri yang sama terjadi antarnegara yang memiliki kesamaan sumber daya (resources), mulai dari tenaga kerja, sumber daya alam (SDA), hingga teknologi.

Sementara inter-industry trade lebih mencerminkan keunggulan komparatif masing-masing negara, misalnya negara maju berkonsentrasi di teknologi tinggi dan negara berkembang di teknologi menengah (Krugman, 2001).

Sejak tahun 1980-an hingga saat ini, intra-industry trade dan inter-industry trade di Asia Pasifik terus mengalami perkembangan. Proses akselerasi terjadi pascaPlaza Accord, yakni kesepakatan yang dihasilkan pada pertemuan beberapa negara maju di Hotel Plaza New York tahun 1985 yang membuat dollar AS terdepresiasi terhadap yen Jepang.
Akibatnya, ekspor Jepang mengalami penurunan karena harganya menjadi lebih mahal dalam dollar AS.

Plaza Accord (1985) mendorong perusahaan Jepang merelokasi industrinya ke luar negeri, khususnya ke Asia Timur. Sehingga pada tahun 2003, rasio intra-industry trade di Asia Timur terhadap total perdagangannya sudah melampaui NAFTA yang hanya sekitar 45 persen dan setara dengan Uni Eropa yang sekitar 60 persen (Wakasugi, 2007).

Intra-industry trade Indonesia dengan Asia tahun 1980 hanya 37 persen dari total perdagangan sektor manufaktur. Dalam waktu 10 tahun, perdagangan dalam industri yang sama Indonesia dengan Asia meningkat menjadi 96 persen. Namun, intra-industry trade sektor manufaktur Indonesia dengan ASEAN baru mengalami peningkatan dalam 10 tahun terakhir.

Inter-industry trade Indonesia dengan negara lainnya yang terbesar secara berturut-turut adalah dengan Jepang, Amerika Serikat, dan China. Indonesia selama ini menjadi eksportir neto untuk produk pertanian (agroindustri) dan importir neto untuk produk sektor manufaktur berteknologi tinggi. Sementara dengan negara ASEAN relatif kecil karena kesamaan sumber daya antarnegara.

Akhirnya, pilihan Indonesia mengusung tema ”Masyarakat Ekonomi Asia Pasifik” dapat dilakukan dengan peta jalan berikut, yaitu prioritas pertama memberikan insentif kepada sektor swasta untuk mengembangkan intra-industry trade di ASEAN dan Asia Timur.

Langkah ini komplementer dengan visi Indonesia untuk menjadikan ASEAN sebagai basis produksi untuk ekspor ke negara maju. Prioritas kedua, mengembangkan inter-industry trade dengan negara-negara Amerika Utara dan Pasifik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar