Senin, 18 Juni 2012

Komodifikasi Kekerasan

Komodifikasi Kekerasan
Novri Susan ; Sosiolog Konflik Universitas Airlangga, Surabaya,
Penulis Buku Negara Gagal Mengelola Konflik (2012)
Sumber :  KORAN TEMPO, 18 Juni 2012


Kekerasan dalam bentuk penembakan misterius, yang belum secara pasti diketahui pelakunya, telah merenggut nyawa beberapa warga sipil di Jayapura, Papua, sejak awal Juni lalu. Apa pun alasannya, pembunuhan warga sipil adalah praktek kriminal yang harus diberi sanksi oleh sistem hukum di Indonesia. Tesis fundamental yang mengkhawatirkan dari fenomena ketidakpastian siapa pelaku di balik praktek kekerasan tersebut adalah terkonstruksinya kekerasan sebagai bagian dari komoditas pasar gelap politik tertentu. Praktek kekerasan ditawarkan sebagai jasa yang dihargai dengan kekayaan material untuk kepentingan tersembunyi yang sering diuntungkan oleh efek kekerasan dalam masyarakat. Kekerasan sebagai komoditas di pasar gelap politik tersebut bukan tidak mungkin beredar dalam masyarakat Papua kontemporer.

Komodifikasi Kekerasan

Dalam masyarakat global, kekerasan sebagai komoditas sering terjadi di wilayah yang rentan konflik kekerasan, seperti di Irak, Afganistan, dan Somalia. Tumbuh subur para pebisnis kekerasan (warlord) yang bersedia membunuh secara massal atau menciptakan kerusuhan sosial di bawah kontrak kerja dengan jumlah bayaran tertentu. Bagi para warlord, kepentingan ekonomi menjadi prioritas, sedangkan kepentingan di balik praktek kekerasan selalu bersifat politis dan kompleks. Pada sebagian kasus, terbentuk juga kelompok terorganisasi dan terbuka yang menawarkan jasa kekerasan dalam bentuk Private Military Companies (PMCs). Di belahan dunia Timur Tengah, Afrika, dan Asia, PMCs beredar, baik legal maupun ilegal, atau pasar gelap bisnis kekerasan.

Kekerasan yang secara bersinambung direproduksi melalui alasan apa pun dalam masyarakat, seperti fanatisme keagamaan, etnisitas, primordialisme kelompok, dan perlawanan separatisme, akan dipahami sebagai bagian dari kebutuhan bersosial. Praktek kekerasan jadi memiliki fungsi seperti halnya praktek membersihkan bangunan dan taman-taman kota. Dalam masyarakat awam, praktek kekerasan cenderung dimanifestasikan ke dalam cara-cara menyelesaikan permasalahan antar-individu atau kelompok. Akibatnya, dinamika relasi sosial antar-individu, etnis, dan keagamaan sering rentan terhadap praktek kekerasan. Seperti halnya dalam masyarakat multietnis di Papua yang tidak sepi dari hal tersebut. Adapun bagi kelompok sosial tertentu, praktek kekerasan kemudian diolah sebagai jasa yang bisa ditawarkan kepada siapa pun yang memiliki modal ekonomi. Tuntutan pemenuhan biaya hidup dan kesulitan pekerjaan sering disebut sebagai salah satu faktor kuat pembentukan kelompok penjual jasa praktek kekerasan.

Tujuan penggunaan jasa praktek kekerasan oleh para user (pengguna) ditipologikan menjadi dua. Pertama, tujuan terbuka, yang terkait dengan keamanan kehidupan privasi, aktivitas ekonomi, dan keamanan politik tertentu. Jasa kekerasan dibeli dari kelompok terorganisasi yang terbuka dan legal. Tipologi bisnis kekerasan yang pertama ini sebenarnya cukup umum dalam sistem hukum di mana pun, termasuk Indonesia dengan istilah "jasa keamanan". Menurut laporan streetdirectory.com, ada lebih dari 576 perusahaan jasa keamanan di Indonesia. Di daerah rentan konflik kekerasan, berbagai perusahaan perkebunan dan pertambangan sering memanfaatkan tenaga jasa keamanan. Istilah yang dipakai dalam beberapa kasus di daerah Indonesia adalah pamswakarsa. Baik penjual jasa kekerasan maupun user kekerasan dalam tipologi ini cenderung terbuka.

Kedua, tujuan tertutup, yang terkait dengan kepentingan yang tak terbaca secara jelas. Tipologi tujuan tertutup penggunaan praktek kekerasan ini yang sedang terjadi di Papua dalam bentuk penembakan warga sipil. Dalam kasus ini, tidak ada satu pun kelompok yang mengaku sebagai pelaku. Organisasi Papua Merdeka, yang dituding sebagai pelaku praktek kekerasan, telah menyatakan penolakannya sebagai dalang di balik penembakan tersebut. Tujuan tertutup praktek kekerasan ini, seperti teror bom, penembakan orang-orang sipil, dan kerusuhan massal, cenderung menciptakan "realitas hipotetis", yaitu kondisi yang serba tidak pasti jawabannya. Realitas hipotetis mampu menciptakan tekanan terhadap mental publik, efek negatif pada produktivitas ekonomi kelompok tertentu dan masyarakat luas, serta silang prasangka yang berlanjut pada ketidakpastian keamanan kolektif. Penjual jasa praktek kekerasan dan user sama-sama tidak jelas identitasnya.

Cerdas Konteks

Atas berlangsungnya praktek kekerasan dengan tujuan tertutup, seperti yang terjadi di Papua selama Juni tersebut, negara merupakan kelembagaan politik yang paling bertanggung jawab mencari resolusinya. Tentu saja upaya tersebut mesti berbasiskan pemecahan masalah dengan pengarusutamaan pendekatan keamanan manusia (human security), pendekatan yang tidak memperparah realitas hipotetis dan jatuhnya korban-korban baru. Artinya, opsi operasi militer dan sejenisnya perlu dikesampingkan terlebih dulu tanpa mengurangi jaminan keamanan negara terhadap warga sipil.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai representasi negara mengeluarkan instruksi komprehensif untuk pemulihan keamanan kepada Panglima TNI dan Kepala Kepolisian RI. Namun, sayang, penekanan keamanan yang diamanatkan kepada TNI dan Polri telah mereduksi makna komprehensif yang semestinya terkonsep secara lebih cerdas, mendalam, dan serius. Konsekuensi instruksi Yudhoyono adalah kemungkinan bagi militer meningkatkan operasi keamanan yang berbiaya besar dan berisiko memperparah ketidakamanan manusia di Papua. Maka gagasan penambahan jumlah aparat keamanan, seperti juga yang diusulkan elite Dewan Perwakilan Rakyat, Priyo Budi Santoso (Tempo.co, 7 Juni 2012), adalah kesalahan besar jika direalisasi.

Nalar kekuasaan perlu hati-hati terhadap kondisi realitas hipotetis di Papua saat ini. Kesalahan langkah dalam kebijakan penanganan hanya akan menciptakan konsekuensi destruktif pada level domestik Papua dan nasional Indonesia. Dalam kondisi ini, upaya menciptakan keamanan adalah dengan memperkuat kerja intelijen dan penegakan hukum secara efektif dan efisien. Secara simultan, negara harus segera menangani konteks tumbuh-kembangnya praktek kekerasan yang mungkin telah dijadikan lahan bisnis di Papua, yaitu konteks ketidakadilan dalam hampir seluruh arena hidup di Papua, baik ekonomi, politik, maupun kebudayaan. Karena itu, negara, melalui aparat pemerintahannya, berkewajiban membebaskan Papua dari ketidakadilan agar praktek kekerasan dengan alasan apa pun bisa dihapuskan.

Selain tata kelola keamanan berbasis penegakan hukum demokrasi, komodifikasi praktek kekerasan, di Papua khususnya, hanya mungkin direduksi pada level yang signifikan ketika negara berhasil membebaskan rakyatnya dari segala ketidakadilan. Sementara itu, menghapus ketidakadilan dalam konteks masyarakat Papua hanya bisa direalisasi oleh komitmen politik negara dalam menyerap aspirasi rakyat. Pertanyaannya, sudahkah negara sungguh-sungguh menyerap aspirasi rakyat Papua melalui dialog dan negosiasi yang berkualitas. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar