Senin, 18 Juni 2012

Derivatif yang Produktif


Derivatif yang Produktif
Setiawan Budi Utomo ; Pejabat di Bank Indonesia,
Sekretaris Working Group Perbankan Syariah
Sumber :  REPUBLIKA, 18 Juni 2012


Transaksi derivatif dalam pasar keuangan acap kali diidentikkan dan dikonotasikan sebagai perilaku spekulatif yang memicu ketidakstabilan keuangan karena implikasinya pada perekonomian yang cenderung bubble di mana penggelembungan tidak berkorelasi dengan pertumbuhan produktivitas sektor riil. Persepsi umum mengenai derivatif tersebut mungkin sah-sah saja karena secara teori maupun praktik yang lazim memang demikian.

Derivatif dalam dunia keuangan di kenal sebagai kontrak bilateral atau perjanjian penukaran pembayaran yang nilainya diturunkan atau berasal dari produk yang menjadi ‘acuan pokok’. Kekhawatiran mengenai dampak transaksi derivatif yang umumnya cenderung spekulatif dan kontraproduktif sudah lama disampaikan banyak pihak. Pada 1995-an, misalnya, majalah terkemuka Amerika, Newsweek, menulis tentang bahaya transaksi ini.

Kekhawatiran Newsweek adalah perkembangan kuantitas dan kualitas transaksi yang tidak terkira, jauh me lampaui nilai transaksi riil (ini bisa terjadi karena sebuah derivasi dapat di transaksikan berulang-ulang oleh banyak orang dan dengan berbagai jenis transaksi tanpa batas). Dengan tren yang tidak berubah, perekonomian berpotensi kolaps.

Kondisi demikian memicu depresi besar yang berdampak luas. Jika fenomena Depresi Besar (Great Depression) tahun 1930-an saja, di mana perekonomian belum sebesar dan terintegrasi seperti sekarang, telah memicu Perang Dunia II, boleh jadi depresi besar berikutnya akan memicu Perang Dunia III. Keuangan global telah mencatat beberapa kali terjadinya krisis atau depresi ekonomi akibat ulah para spekulan selain peristiwa Depresi Besar.

Transaksi derivatif selalu menggiurkan karena menjanjikan hasil yang sangat fantastis meski di balik risikonya yang tinggi sebagaimana prinsip high risk high return. Misalnya saja, bagaimana Bill Gates hanya dalam waktu satu bulan, antara Agustus 2007 dan September 2007, mendapat tambahan kekayaan sebesar 3,29 miliar dolar (sekitar Rp 32 triliun) tanpa kerja karena harga saham Microsoft naik 6,58 dolar per saham di bursa saham New York. George Soros, yang oleh PM Malaysia Mahathir Mohammad dituduh sebagai spekulan penyebab krisis moneter 1997, dikabarkan mendapat keuntungan hingga 900 juta dolar AS karena aksi borong dolarnya meski Soros sebenarnya hanyalah seorang highly paid professional atau front runner dari para pemilik modal sebenarnya.

Transaksi derivatif yang cendrung spekulatif dan kontraproduktif lebih merupakan praktik zero sum game dan tidak menciptakan nilai tambah apa pun. Keuntungan salah satu pihak merupakan kerugian pihak yang lain. Transaksi derivatif menjadi sangat berbahaya jika sifatnya spekulatif (untuk mencari keuntungan) dan hal ini sudah dilarang oleh Bank Indonesia.

Delegasi Indonesia di forum Industry Briefing on Islamic Hedging & Liquidity Management Instruments, Morning Pre-Conference Day, 3rd Annual World Islamic Banking Conference: Asia Summit (WIBC Asia 2012), pada 4 Juni 2012 mengusulkan dan mendorong diratifikasinya oleh pasar keuangan syariah internasional lima pilar penting untuk terciptanya instrumen derivatif yang produktif. Yaitu, (1) struktur transaksi yang hanya boleh dimasukkan dalam Tahawwut Master Agreement (TMA) untuk tujuan lindung nilai, (2) transaksi untuk tujuan spekulasi tidak boleh dimasukkan TMA, (3) transaksi harus merupakan transaksi yang sesungguhnya, (4) underlying assets yang dipergunakan instrumen hedging harus halal, dan (5) tidak boleh adanya pembebanan bunga (riba).

Di Indonesia telah tersedia aturan mengenai transaksi derivatif, yaitu dalam Peraturan Bank Indonesia, antara lain PBI No 7/31/PBI/2005, PBI No 10/ 38/PBI/2008 yang diperbarui dengan PBI No 11/14/PBI/2009. Menurut peraturan ini, bank dapat melakukan transaksi derivatif, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah. Dalam transaksi derivatif, bank wajib melakukan mark to market dan menerapkan manajemen risiko sesuai ketentuan yang berlaku.

Bank hanya dapat melakukan transaksi derivatif yang merupakan turunan dari nilai tukar, suku bunga, dan/atau gabungan nilai tukar dan suku bunga. Transaksi dimaksud diperkenankan sepanjang bukan merupakan produk yang menggabungkan antara dua atau lebih instrumen keuangan yang terkait dengan transaksi valuta asing terhadap rupiah.

Bank juga dilarang memelihara posisi atas transaksi derivatif yang dilakukan oleh pihak terkait dengan bank serta dilarang memberikan fasilitas kredit dan atau cerukan (overdraft) untuk keperluan transaksi derivatif kepada nasabah, termasuk pemenuhan margin deposit dalam rangka transaksi margin trading. Bank juga dilarang melakukan margin trading valuta asing terhadap rupiah, baik untuk kepentingan sendiri maupun nasabah.

Dalam kaitan stance, Departemen Perbankan Syariah yang sebelumnya Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonsia berdasarkan opini Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) telah mengeluarkan surat kepada industri perbankan syariah mengenai persyaratan produk hedging syariah. Sementara itu, DSN-MUI juga cenderung mengatur kesyariahan instrumen derivatif yang produktif terbatas untuk tujuan hedging.

Bahkan dalam kaitan penggunaan instrumen hedging syariah, skema yang berbasis komoditas murabahah atau pun tawarruq cenderung lebih berhati-hati secara syariah demi kemaslahatan ekonomi dengan memberikan batasan yang relatif cukup ketat.

Rumusan mengenai fatwa, kebijakan regulasi, dan akuntansi syariah terkait lindung nilai syariah saat ini sedang dalam finalisasi Working Group Perbankan Syariah antara DSN-MUI, Bank Indonesia, dan Dewan Standar Akuntansi Syariah Ikatan Akuntan Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar