Sabtu, 02 Juni 2012

Jakarta Episentrum Perubahan


Jakarta Episentrum Perubahan
Airlangga Pribadi ; Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga;
Kandidat PhD Asia Research Centre Murdoch University
SUMBER :  KOMPAS, 2 Juni 2012


Setelah memasuki 14 tahun era reformasi, membaca konstelasi politik di Indonesia tak dapat dilepaskan dari dinamika yang berlangsung di tingkat lokal. Hal ini mengingat di era demokrasi seluruh politik pada dasarnya adalah lokal.

Di sinilah Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta menjadi salah satu momen menentukan bagi proses demokrasi di Indonesia. Bukan karena posisinya lebih penting daripada daerah-daerah lain, relevansi Jakarta—dalam hal ini—adalah karena letaknya sebagai ibu kota Indonesia.

Maka, suatu perubahan politik dan pembangunan kota yang signifikan di Jakarta akan memberi efek menyebar bagi perubahan di tempat-tempat lain. Ibarat kita melempar sebongkah batu tepat di titik tengah sebuah kolam, maka gelombangnya akan menyebar sampai ke pinggir.

Globalisasi Berkeadilan

Problema politik, sosial, ekonomi, dan budaya begitu nyata terlihat di Ibu Kota, penanda wajah republik. Pada arena politik kita menyaksikan Jakarta menjadi contoh ketika demokrasi diselenggarakan tanpa tanggung jawab. Ketika demokrasi mensyaratkan hadirnya sebuah ruang publik yang bebas, kita menyaksikan peristiwa baru-baru ini di mana ruang publik tempat setiap orang mempertanggungjawabkan pikirannya di wilayah intelektual harus tergerus akibat tekanan kelompok sipil, tanpa hadirnya aparat yang semestinya menjaga keadaban.

Pada wilayah sosial, dinamika aktivitas sosial dan ekonomi yang semestinya terfasilitasi oleh hadirnya infrastruktur kota yang nyaman masih menghadapi problema kemacetan yang semakin akut. Pada wilayah ekonomi, apabila proses politik dimaknai sebagai hadirnya redistribusi aset sekaligus akses kepada wilayah ekonomi yang lebih baik, maka kondisi ibu kota negeri ini begitu memprihatinkan. Akselerasi perdagangan ekonomi yang semakin masif, tempat berputarnya 70 persen keuangan nasional, tidak dinikmati oleh sebagian besar warganya yang bekerja di sektor informal. Para pedagang kecil di pasar-pasar tradisional kian terdesak oleh kehadiran mal dan plaza yang menjulang.

Bayangkan, sejak 1985 sampai saat ini tercatat 153 pasar tradisional di Ibu Kota yang harus bersaing dengan merebaknya pasar-pasar modern, yang sampai tahun 2011 berjumlah 2.162 minimarket. Apalagi, laju pertumbuhan pasar yang tak seimbang ini diikuti situasi memprihatinkan atas kondisi tak terurus dan tak layak huni (Sugiyanto, 2011).

Bagaimana mungkin dapat membayangkan hadirnya sebuah kota besar yang memiliki kemandirian secara ekonomi, tempat setiap warga jadi tuan dan nyonya di kotanya sendiri, ketika ruang bagi akses setiap warga untuk mendapatkan bekal hidup yang layak dengan cara berdagang tidak mendapat perhatian dari pemerintahnya.

Pada konteks inilah, arena Pilkada DKI Jakarta menjadi momentum penting bagi sebuah titik awal perubahan di tingkat lokal Jakarta dan menyebar ke seluruh pelosok Tanah Air. Dinamika yang berlangsung dalam pengelolaan Kota Jakarta menjadi satu gambaran umum, bagaimana proses terintegrasinya sebuah kota besar di negara berkembang dalam pusaran deras globalisasi. Sebuah proses global yang membutuhkan keseimbangan antara memfasilitasi dinamika pasang naik ekonomi politik yang lebih terbuka, sekaligus memberikan kesejahteraan, keadilan, dan kemanfaatan bagi warganya.

Untuk memberi manfaat bagi warganya, globalisasi tak perlu ditolak. Namun, sang pemimpin sudah seharusnya punya siasat yang brilian menggiring globalisasi berkeadilan. Tepat di titik inilah kegagalan proses kepemimpinan pengelolaan pemerintahan di banyak kota negara berkembang, termasuk Jakarta.

Masih Ada Jalan

Meski Jakarta menghadapi berbagai persoalan karut-marut di level sosial, ekonomi, maupun politik, Ibu Kota kita tidak sedang menghadapi sebuah riwayat kota tanpa harapan. Pilkada DKI Jakarta beberapa saat lagi adalah jalan terang yang dapat membawa perubahan ke arah Jakarta yang lebih baik. Terkait dengan persoalan menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dan keadilan bagi warganya, ada baiknya Jakarta belajar pada contoh kota lain yang terbukti berhasil menyelesaikan persoalan ini.

Salah seorang jurnalis senior, Zaenuddin HM (2012), menulis profil kepala daerah Joko Widodo yang berhasil menata 12 pasar tradisional di Solo hingga tak kalah bersaing dengan pasar modern. Ia adalah figur yang berhasil menerjemahkan strategi globalisasi. Bahwa menjalankan redistribusi ekonomi tidak identik dengan melawan globalisasi, tetapi memberi perhatian dan membangun kapasitas warga agar mandiri secara ekonomi.

Kepiawaian kepemimpinan di Jakarta akan diuji dari kemampuan sang pemimpin untuk, pertama, mampu mengambil kebijakan-kebijakan yang berani menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan untuk menyelesaikan problem laten, seperti banjir dan kemacetan, dengan pengawasan atas program-programnya. Kedua, pada level demokrasi adalah kemampuan menganalisasi energi-energi positif warga dalam partisipasi politik demokratik. Sekaligus juga meredam setiap anasir-anasir destruktif yang tak dapat menerima kenyataan bahwa hidup berdemokrasi adalah hidup dalam kemerdekaan untuk berpendapat.

Kemampuan kepemimpinan Jakarta untuk melakukan transformasi kota yang lebih baik amat ditentukan oleh kemampuannya melawan korupsi. Di sanalah parameter pemerintahan yang bersih dan berwibawa atau aktivitas elite politiknya menjelma menjadi jejaring koneksi predatoris yang mengambil uang rakyat. Sayangnya, indeks persepsi korupsi di Indonesia Transparency International pada 2010, misalnya, fakta sosial menunjukkan Jakarta berada pada peringkat ke-38. Ini jauh di bawah tiga kota teratas pada tahun tersebut, yaitu Tegal, Denpasar, dan Solo.

Meski demikian, harapan masih terbuka pada Pilkada DKI Jakarta kali ini. Mencari pemimpin yang memiliki ketegasan dan teladan bukan seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Sebuah pengelolaan kota modern, seperti halnya memimpin negara, memerlukan hadirnya sebuah kepemimpinan yang tegas (arete) sekaligus memberi teladan (virtue) yang konkret.

Oleh karena itu, kembali memperjuangkan perubahan di Jakarta adalah mendesak. Sebab, Jakarta berpeluang menjadi episentrum perubahan yang memiliki efek sebar bagi arena politik lokal lainnya.

Pada akhirnya, seperti amanat Bung Karno, tolak ukur kedaulatan suatu republik dilihat dari kemampuan aktor-aktor di dalamnya untuk menciptakan kemandirian sosial ekonomi, kemerdekaan politik, dan memiliki kepribadian dalam berbudaya. Mari, kita lakukan gerakan ini dari Jakarta!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar