Birokrasi
Ramping dan Kaya Fungsi
Muhtadi ; Pengajar
di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Sumber : SUARA
KARYA, 21 Juni 2012
Pada tahun 2011, belanja pegawai lebih dari Rp 212 triliun dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) senilai lebih dari Rp 1.500
triliun. Dari jumlah itu masih ditambah lagi berkisar Rp 18 triliun untuk biaya
perjalanan dinas dan fasilitas lainnya.
Di daerah, hampir sebagian besar belanja Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) dialokasikan untuk kepentingan pegawai. Menurut Direktur
Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Yuswandi Temenggung, secara
rata-rata, belanja pegawai sebesar 51 persen dari keseluruhan APBD
kabupaten/kota di Indonesia. Bahkan, ada daerah yang menggunakan 77 persen APBD
untuk gaji dan honor. (Kompas, 03/05/2012)
Pada tahun 2012 jumlah pegawai negeri sipil (PNS) mencapai 4,7 juta jiwa.
Birokrasi menjadi penting dalam sebuah negara modern. Birokrasi
hadir sebagai pilar penting dalam menggerakan mesin pemerintahan. Dalam suatu
negara, birokrasi adalah ibarat urat nadinya. Apabila birokrasinya gemuk dan
lamban berakibat tidak maksimalnya mereka dalam melaksanakan tugas dan fungsi.
Tentu hal ini akan menjadi problem dan beban bagi sebuah negara modern.
Di negeri ini, untuk mengatasi kelambanan birokrasi dalam
pelayanannya diluncurkan program perlunya reformasi birokrasi. Reformasi ini
bertujuan agar birokrasi dapat lincah, responsif dan berkinerja tinggi dalam
menunaikan tugas pelayanan terhadap masyarakat. Tapi, kenyataannya, reformasi
birokrasi seperti jalan di tempat, belum menghasilkan tata pemerintahan dan
birokrasi yang ideal sesuai cita-cita bersama.
Tidak KKN
Idealnya, birokrasi adalah ramping tetapi kaya dengan fungsi.
Birokrasi yang ramping akan mempercepat pencapaian pembangunan, bukan
sebaliknya menjadi beban pembangunan. Untuk itu, birokrasi yang gemuk dan
lamban bergerak untuk bekerja dan berkarya bagi pembangunan masyarakat harus
segera direformasi. Masalahnya, hal itu sudah tidak sesuai lagi bagi misi awal
birokrasi itu sendiri.
Dalam rangka mewujudkan birokrasi ramping dan kaya fungsi
sekaligus mendukung reformasi birokrasi, setidaknya ada dua hal yang harus
dilakukan.
Pertama, secara internal bahwa perekrutan pegawai negeri sipil
harus didasarkan pada kebutuhan prioritas pegawai di pemerintah pusat dan
daerah. Untuk itulah, harus ada analisis kebutuhan tentang jabatan yang
diperlukan, sebelum formasinya ditentukan. Analisis kebutuhan harus dilakukan
secara akurat, detail dan aplikatif. Selain itu, perekrutannya pun perlu
selektif dan tidak berdasarkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Dalam konteks ini, pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN & RB) harus
memberdayakan para tenaga analis jabatan yang di tingkat pusat maupun di daerah
untuk menunaikan tugas analisis kebutuhan pegawai secara benar dan sahih.
Analisis kebutuhan pegawai ini didasarkan pada kebutuhan pemerintah pusat dan
daerah, bukannya karena kepentingan politik atau yang lainnya. Analisis
kebutuhan pegawai ini diharapkan dapat merekrut profil PNS yang profesional, pengabdi,
pelayan yang memiliki komitmen dan dedikasi tinggi untuk percepatan gerak
pembangunan.
Kedua, secara eksternal, dunia pendidikan kita harus mampu
mengubah pola pikir masyarakat dari menjadi karyawan (termasuk PNS) kepada
wirausaha. Institusi pendidikan belum mampu merubah pola pikir ini yang
diindikasikan masih kecil jumlah lulusan mereka yang bercita-cita untuk
berwirausaha sendiri.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Radjasa menyebutkan, jumlah
wirausaha yang ada saat ini masih sekitar 1,56 persen dari jumlah penduduk.
Padahal, idealnya minimal dua persen atau sekitar empat jutaan wirausaha. (Kompas, 29/4/12) Bandingkan dengan
Singapura 7 persen dan Malaysia 6 persen jumlah wirausahanya.
Dalam konteks ini, institusi pendidikan dalam muatan kurikulum dan
sistem pengajarannya harus menanamkan kewirausahaan baik secara nilai
(kreativitas, ketekunan, kegigihan, visioner dan senang dengan tantangan)
maupun teknis (baca: ketrampilan teknis untuk bidang tertentu). Institusi
pendidikan diharapkan menjadi tempat persemaian benih-benih jiwa wirausaha,
sehingga ketika mereka lulus bukannya mencari kerja tapi menciptakan lapangan
kerja.
Dengan banyaknya angkatan lulusan perguruan tinggi yang lebih
memasuki dunai wirausaha, diharapkan tidak banyak orang yang mengantri menjadi
pegawai negeri sipil. Sekarang ini, menjadi PNS menjadi pilihan utama, karena
adanya kenyamanan secara jabatan maupun finansial. Masyarakat kita senang
berada pada zona kenyamanan dalam kedudukan dan finansial itu dan jawabannya
menjadi PNS.
Dengan dua hal ini, bahwa birokrasi kita menjadi ideal; ramping
dan kaya fungsi, karena PNS yang terpilih adalah individu-individu yang
profesional. Menjadi PNS bukan pilihan utama, karena dengan menjadi
wirausahawan lebih menjanjikan masa depan yang lebih baik. Di sisi lain,
pemerintah dan pihak swasta (baca; pelaku usaha) perlu memfasilitasi kebijakan,
akses pendanaan dan insentif perpajakan bagi wirausaha-wirausaha tersebut. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar