Kamis, 21 Juni 2012

Ancaman Baru Demokrasi Mesir


Ancaman Baru Demokrasi Mesir
Ibnu Burdah ;  Pemerhati Masalah Timteng dan Dunia Islam,
Dosen Fakultas Adab dan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sumber :  SUARA MERDEKA, 21 Juni 2012


"Mereka seperti tak sadar bahwa revolusi yang mereka perjuangkan  belum aman dari perlawanan keras anasir-anasir lama"

PROSES transisi Mesir menuju terbentuknya pemerintahan sipil demokratis yang stabil sepertinya tak bisa berjalan mulus sebagaimana diharapkan. Parlemen yang merupakan hasil proses panjang demokrasi setelah kejatuhan Mubarak, malah dibubarkan. Kendati teks keputusan MK berbunyi ”membatalkan sepertiga anggota parlemen”, jubir lembaga itu, Samiy Mahir menyatakan bahwa keputusan itu berarti pembubaran lembaga secara keseluruhan.

Penyerahan otoritas legislatif ke Dewan Militer segera ditolak rakyat Mesir, terutama Ikhwan yang memandang hal itu sebagai kudeta terhadap kekuasaan rakyat. Langkah MK seirama dengan Dewan militer dan pemerintah transisi di bawah Kamal Janzuri. Tafsir yang muncul adalah anasir rezim lama memainkan jurus terakhir untuk mengadang proses transisi menuju demokrasi.

Kemenangan Mursi dalam putaran final pilpres juga tidak akan kebal dari gangguan tersebut. Faktanya, konstitusi pelengkap yang baru-baru diumumkan Dewan Militer membuat pemerintahan Mursi yang segera dibentuk tidak dilengkapi dengan tangan dan kaki. Kewenangan presiden pada bidang keamanan dan pertahanan dirampas secara paksa, dan kebijakan mengenai isu-isu penting pun dikebiri.

Celakanya, kekuatan pendukung revolusi begitu Mubarak jatuh, mulai terpecah. Perpecahan itu kini makin tajam seiring dengan rivalitas dalam isu-isu fundamental masa depan Mesir dan perjalanan mereka menuju parlemen dan kursi kepresidenan. Kelompok liberal dan Islamis, dua pilar utama prorevolusi, hampir tidak pernah lepas dari kontestasi dan rivalitas, terutama mengenai isu konstitusi baru.

Meskipun upaya menjembatani perbedaan keduanya terus dilakukan dan Ikhwan berulang kali menyatakan komitmennya pada pemerintahan demokratis-sipil bukan agama, kelompok liberal tetap mencurigai hidden agenda dari penguasa parlemen hasil pemilu itu. Keputusan MK untuk membubarkan parlemen hasil pemilu, bahkan terkesan tidak ditolak oleh kelompok liberal padahal keputusan itu jelas menganulir proses demokrasi amat mahal yang mereka perjuangkan.

Terpecah-Belah

Kelompok liberal hanya merespons keputusan lain MK, yaitu pembatalan UU isolasi politik yang berimplikasi terhadap keabsahan Syafiq maju ke putaran final pilpres dengan harapan calon mereka dapat maju ke putaran final melawan Mursi.

Kebersamaan kedua kelompok ini sebenarnya amat penting demi menjaga keberlangsungan proses perubahan menuju Mesir baru.

Pasalnya, kelompok liberal, terutama pemudanya, memiliki saham paling besar dalam proses penjatuhan Hosni Mubarak.

Adapun, Ihwan adalah kelompok paling diuntungkan dengan jatuhnya Mubarak sekaligus dipercaya sebagian besar rakyat Mesir untuk memegang mandat parlemen dan pemerintahan. Mulai saling mendekatnya kekuatan politik Islamis, liberal, dan nasionalis untuk merespons konstitusi Dewan Militer adalah harapan baru bagi terpeliharanya cita-cita revolusi rakyat Mesir.

Selama ini mereka seperti tak sadar bahwa revolusi yang mereka perjuangkan sama sekali belum aman dari perlawanan keras anasir-anasir lama. Me-reka sepertinya juga masih sulit merapatkan barisan, baik di jalanan maupun pada tingkat elitenya untuk menghadapi ancaman tersebut.

Perebutan kekuasaan membuat mereka terlena, padahal musuh-musuh revolusi terus mengonsolidasikan kekuatan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar