Merentang
Jalan Digitalisasi Sekolah Wahyu Widodo ; Kandidat Doktor Psikologi Pendidikan
Universitas Negeri Malang; Dosen Ilmu Pendidikan di Universitas Tribhuwana
Tunggadewi |
KOMPAS ,12 Agustus 2021
Kemendikbudristek
sedang memacu digitalisasi sekolah melalui pengadaan perangkat elektronik dan
pengembangan platform pembelajaran. Tak kurang dari Rp 17,4 triliun akan
digelontorkan hingga tahun 2024 untuk mewujudkan program itu. Perlu
diingat bahwa digitalisasi sekolah merupakan usaha yang kompleks dan dinamis.
Kompleks apabila ditinjau dari berlapisnya faktor yang berkorelasi dengan
suksesnya digitalisasi sekolah. Sedangkan, dinamis apabila dilihat dari
transformasi di ruang digital yang begitu cepat. Demikian
juga, sesungguhnya digitalisasi sekolah tidak cukup hanya dengan penyediaan
“tools”. Namun, lebih dari itu, perlu
pemahaman mengenai kondisi masing-masing sekolah sehingga setiap
perangkat yang disediakan mampu didayagunakan secara tepat dan bernilai
tambah pada peningkatan kualitas pembelajaran dan layanan sekolah. Mengingat
besarnya anggaran dan kompleksnya digitalisasi, maka seyogyanya ada arah
prioritas di masing-masing daerah. Hal itu perlu dirumuskan secara seksama
agar apa yang telah diinvestasikan oleh pemerintah dapat terkonversi dengan
tingginya kecakapan dan kuatnya ekosistem digital di kalangan komunitas
belajar. Untuk menentukannya, perlu kiranya menengok kembali gambaran lanskap
digital di sekolah selama ini. Kesenjangan digital Terhitung
sejak Maret 2020, sektor pendidikan melewati berbagai jalan terjal akibat
pandemi. Kondisi yang tidak menguntungkan bagi pendidikan itu, memaksa adanya
perubahan model pembelajaran dari tatap muka ke pembelajaran daring yang
lebih bertumpu pada teknologi digital. Akibatnya,
sebagian sekolah mengalami “guncangan” bahkan beberapa siswanya “terpental”
dari akses pembelajaran. Gambaran seperti itu lebih dikenali sebagai fenomena
kesenjangan digital, yakni ketidaksetaraan akan kapabilitas yang dimiliki
oleh siswa untuk mengakses dan memanfaatkan teknologi digital yang tersedia. Rupanya
ada tiga faktor utama yang menjadi penyebabnya, yakni faktor geografis,
ekonomi, dan sosial. Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Wakatobi, sebuah
daerah pariwisata bawah laut yang terletak di kepulauan kecil di Sulawesi
Tenggara, mengungkapkan bahwa pemanfaaatan perangkat digital mandeg akibat
minimnya infrastruktur teknologi informasi di daerah itu (Hidayat, 2014).
Setali tiga uang, hingga kini keadaan serupa juga masih jamak ditemui di
wilayah lain terutama di daerah Indonesia timur. Tidak
hanya di daerah yang secara geografis terpencil, di perkotaan pun kesenjangan
digital masih terjadi. Namun, bukan dikarenakan minimnya infrastruktur,
melainkan karena tidak terjangkaunya biaya untuk mengakses perangkat maupun
konektivitasnya. Demikian juga, siswa belum sepenuhnya terdukung secara
sosial baik oleh lingkungan keluarga maupun komunitas belajar. Arah digitalisasi Meminjam
istilah yang dicetuskan oleh Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, kiranya
tidaklah berlebihan apabila program digitalisasi sekolah di Indonesia
disiapkan untuk mewujudkan sekolah 5.0, yakni komunitas belajar yang mampu
memfaatkan teknologi digital guna mewujudkan pembelajaran yang menyejahterakan
siswa (student well-being) maupun
komunitasnya (school well-being). Untuk
menuju sekolah 5.0 perlu adanya pemetaan berdasarkan tingkat kesiapan sekolah
mengintegrasikan teknologi digital secara keorganisasian. Sebelumnya, hal itu
perlu dilihat dari sudut pandang yang jernih, bahwa pemetaaan tidak
dimaksudkan untuk menyegregasi sekolah, namun lebih ke arah memberikan
perlakuan digital secara tepat. Tahapan
yang akan dilalui sekolah dapatlah disusun menjadi tiga fase, yakni fase digitasi, digitalisasi,
dan transformasi. Pertama, digitasi, yakni perlakuan digital pada sekolah
yang difokuskan kepada pengubahan perangkat analog menjadi sumber daya
digital. Sekolah pada fase ini ditandai dengan kemampuan sekolah dalam
memfungsikan perangkat digital yang masih terbatas pada upaya mempermudah
akses materi pembelajaran. Misalnya, sekolah yang sebelumnya mengkoleksi buku
cetak maka diubah ke dalam format digital sehingga mudah disebarluaskan
kepada siswa. Kedua,
digitalisasi. Pada fase ini sekolah telah memiliki kapabilitas untuk
memanfaatkan perangkat digital guna mendiversifikasi layanan pembelajaran.
Indikasi sekolah telah terdigitalisasi dapat ditilik dari tersedianya
Learning Management System (LMS) berbasis sekolah. Misalnya, sekolah telah
mampu mengorganisasikan dan menyebarluaskan konten pembelajaran secara padu
dan berkelanjutan melalui perangkat digital. Ketiga,
transformasi. Pada fase ini, sekolah secara keorganisasian telah siap untuk
memfungsikan perangkat digital untuk meningkatkan iklim pedagogi serta
pengambilan kebijakan berdasakan manajemen berbasis data. Misalnya, sekolah
telah mampu merancang perangkat digital berbasis big data sehingga setiap
siswa memiliki akses untuk mengukur kemampuan dirinya dan pada akhirnya
berkesempatan mengembangkan regulasi diri secara berkelanjutan. Penguatan aktor kunci Selain
pemetaan, dukungan pada sumber daya manusia selayaknya diacuhkan, teristimewa
pada guru. Kompetensi guru perlu dikembangkan secara gradual dengan basis
sumber daya digital dan tetap berorientasi pada terwujudnya resiliensi
perilaku belajar siswa. Untuk
mencapai itu, tidak cukup dengan pelatihan yang bersifat “hit and run”, namun
perlu dirawat melalui komunitas guru secara inklusif dan berkesinambungan.
Selain itu, guru juga didorong untuk berani mengorkestrasikan pembelajaran
melalui model pembelajaran abad ke-21, misalnya pembelajaran melalui flipped classroom. Dapat
diprediksikan bahwa ketika konten pembelajaran yang menarik dengan mudah
diproduksi dan disebarkan oleh guru untuk diterima oleh siswa, maka mengisi
pembelajaran dengan menyampaikan materi pembelajaran di kelas melalui ceramah
akan terlihat sia-sia. Karena itu, sintaks pembelajaran perlu dibalik
sehingga siswa dapat mempelajari konten di mana pun sebelum pembelajaran di mulai,
sedangkan saat di kelas siswa mendiskusikannya dengan fasilitasi guru. Hal
demikian bukanlah sesuatu yang baru, namun nyatanya sampai saat ini belum
terlihat nyata di kelas-kelas. Berkaca
dari uraian di atas, pemerintah sudah semestinya menyusun indikator kesiapan
sekolah dalam mewujudkan digitalisasi. Dengan begitu, pemerintah memiliki
basis data yang kuat guna menyusun peta jalan digitalisasi secara presisi. Pelajaran
dari apa yang terjadi di Jerman sebagaimana diwartakan oleh Jeans Thurau di
kanal berita dw.com mengingatkan bahwa pembelian laptop saja tidak cukup
untuk mewujudkan digitalisasi sekolah. Negara di peringkat atas dalam survei
PISA itu pun juga mengalami “kelambanan” digitalisasi sekolah selama pandemi
yang disebabkan oleh ketidakberdayaan guru dalam mendayagunakan perangkat
digital. Karena
itu, meskipun proses digitalisasi sekolah akan terjal, tatkala jalan sudah
direntang, maka selayaknya dilalui dengan penuh optimisme kemajuan bahwa
digitalisasi sekolah akan menjadi tumpuan untuk mendobrak cul-de-sac pendidikan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar